Minggu, 25 Oktober 2015

Menarik Kisah dari Tanah Silam Fendi Kachonk



 Ditulis oleh Yuli Nugrahani, Lampung.
................................................................




Judul buku      : Tanah Silam, kumpulan puisi.
Penulis            : Fendi Kachonk
Lukisan cover : Hidayat Raharja
Penerbit          : Komunitas Kampoeng Jerami
Cetakan I        : Agustus 2015


Saya termasuk beruntung karena membaca Tanah Silam lebih dini dibanding orang-orang lain yaitu saat buku ini masih berupa manuskrip. Mungkin bukan orang yang pertama membacanya karena sebagian dari puisi-puisi Fendi dalam buku ini sudah pernah dipublikasikannya di berbagai media, dan mengingat bahwa Fendi mempunyai banyak sahabat, pastilah dia pernah meminta seseorang atau beberapa orang untuk membacanya.

Tapi menjadi orang yang tak tertinggal tentu sangat menyenangkan. Awalnya, saya membacanya dengan mengalir seperti biasa, seperti kebiasaan saya saat membaca puisi-puisi. Lalu saya sadar bahwa puisi-puisi itu belum selesai proses editingnya. Jadi lebih baik saya diamkan saja puisi-puisi hingga nanti fix, saat dianggap sudah selesai sebagai puisi. “Editingmu belum selesai, Fendi. Nanti kubaca lagi kalau sudah beres.” Kataku pada penulisnya, setengah menuduh setengah berharap.

Walau saya masih sering memalukan diri sendiri dengan kesalahan-kesalahan ketik, kelalaian editing, tapi saya selalu sok jika sudah mencela-cela karya orang. “Huruf besar dan kecil yang salah lengkap, spasi yang kelewatan, huruf yang dua kali tertulis, istilah yang salah,... bla, bla, bla...” Selalu ada pemakluman pada kesalahan-kesalahan, tapi saat editing dilakukan, kita harus benar-benar yakin dengan pengetikan kita. Mesti cermat tiap huruf, kata, kalimat, bait dan seluruh bentuk puisi. Setiap huruf, tanda baca dan kata kita letakkan dalam puisi dengan tujuan tertentu. Maka hal itu mesti disadari oleh penulisnya.

Saat Fendi sang penulis mengatakan puisi-puisi itu sudah selesai beberapa waktu kemudian, dia mengirimkan ulang, dan saya mulai membacanya dengan sungguh-sungguh. Fendi menawarkan beberapa tema dalam Tanah Silam ini. Yang menarik, saya merasakan puisi-puisi ini terasa begitu personal walau untuk beberapa puisi jelas Fendi menariknya dalam ranah sosial. Atau mungkin bukan menariknya dalam ranah sosial, tapi muncul dari situasi sosial. Atau bisa jadi, ini adalah bahasa bagi seseorang, seorang Fendi tepatnya, yang hidup secara personal, namun tidak lepas dari panca indera yang mengarah pada situasi sosial.

Baiklah, ini penangkapan saya yang tidak bermaksud memberikan penilaian layaknya kritikus atau apresiator sastra. Tulisan ini semata hasrat yang harus dicatat usai membaca Tanah Silam dan mengabadikan sebagian kecil yang bisa saya tangkap dari buku ini.

***

Di bagian awal saya ingin mengambil satu puisi dalam buku ini, berjudul Layang-layang Kertas. Hmmm, judul yang bisa kita bayangkan secara visual walau layang-layang tidak selalu dari kertas. Dulu masa saya masih kecil ada layang-layang yang dibuat dari daun gadung kering yang disambung-sambung, sekarang pun ada layang-layang dari plastik. Fendi memilih layang-layang kertas, bukan daun dan plastik. Ditimpanya layang-layang kertas itu dengan sisa hujan. Air. Tidak terlalu banyak karena hanya sisanya saja. Dari penggambaran ini pembaca bisa melihat setting waktu di bagian ini.

Lalu, pagi membawaku ke sini seperti layang-layang kertas merasakan sisa hujan. Bersembunyi dari kejaran dingin. Dan ternyata tak ada yang berubah. Pintu keluar dan bercak kenangan yang juga belum semuanya dihisap waktu.

Biasanya anak-anak atau orang dewasa bermain layang-layang saat siang hingga senja. Kali ini ditambah dengan sisa hujan. Tentulah layang-layang kertas yang telah kedinginan merasakan sisa hujan tidak segagah saat dalam kondisi kering. Layang-layang yang basah akan bertambah beratnya dan pemain yang layang-layangnya telah basah tidak lagi bisa melakukan permainan sebaik saat layang-layang itu kering.

Tapi permainan yang terganggu karena layang-layang basah adalah sesuatu yang wajar, yang memang selalu mungkin terjadi pada situasi seperti itu. Kewajaran yang biasa. Tak berubah dari masa ke masa selama masih memainkan layang-layang kertas. Pun ketika tidak ada matahari, tak ada angin, permainan layang-layang dari bahan apapun tidak akan bisa dilakukan. Sama dengan ingatan pada peristiwa-peristiwa, kenangan-kenangan masih berbentuk. Layang-layang basah pun masih berbentuk layang-layang. Masih sama, bahkan bercak basah dari sisa hujan, malah memberikan lukisan-lukisan pada permukaan layang-layang yang semakin tebal berat. Tidak bisa dimainkan lagi, tapi masih dipegang, terasa lebih berat dari biasanya.

Sejenak, aku terdiam diguncang bimbang dan kecemasan belum lepas dari kantung mata. Tak ada jemputan serta kalungan bunga. Tapi, tiap kejadian masih nakal menahan langkahku.

Fendi si penulis berada dalam pusaran itu. Dia rupanya sedang dalam perjalanan. Bisa jadi dia sebenarnya berharap lebih tentang adanya jemputan dan kalungan bunga yang menyambutnya di perhentian itu. Tapi semua itu tak terjadi dan tentu kekecewaanlah yang muncul. Walau tidak ada kata kecewa dalam bait ini, kita bisa membayangkan bagaimana kejadian-kejadian mengganggunya dan sebentar menahan perjalanannya dalam diam, dalam kebimbangan, mungkin juga dalam kesedihan.

Di satu sudut pendengaran, lagu Ska mengalun riang, mengajakku untuk tersenyum. Dan, tiba-tiba kumiliki energi kecil untuk kembali diterbangkan dari kota ke kota. 

Panca indera. Panca indera itulah yang membantu penulis, Fendi, untuk kembali mendapatkan kekuatan. Panca indera adalah alat yang dilengkapkan pada tubuh manusia karena manusia bukan hanya personal. Setiap manusia itu sosial, maka dia mempunyai mulut untuk bicara (pada orang lain), hidung untuk mencium bau (dari luar tubuhnya), kulit untuk merasakan segala hal (sebagai situasi di luar tubuhnya), lidah untuk merasakan benda-benda (yang ada di sekitarnya) dan telinga untuk mendengar (suara-suara dari makluk-makluk lainnya). Si penulis mendengar musik yang riang. Dia mengambil dari sekitarnya energi itu. Lalu dia tersenyum membagikan energi itu pada yang melihat senyumnya. Dia seorang personal, namun dia juga seorang sosial. Dia yakin energi sekecil apapun yang sudah ditangkapnya itu dapat diterbangkan kembali dari kota ke kota.

Secara khusus saya mengingat buku Titik Temu, antologi yang kami garap untuk hari Hak Asasi Manusia (HAM) yang terbit Desember tahun 2014. Dalam perjalanannya, buku itu bisa dianggap energi kecil, yang terbang dari satu kota ke kota lain. Sumenep, Jakarta, Bandung, Bengkulu, Malang dan sebagainya. Sebenarnya tidak hanya di kota-kota itu, tapi terbang menjumpai pembaca-pembaca di kota-kota lain di seluruh Indonesia maupun luar Indonesia.

Saya membayangkan kerja panca indera si penulis, telinga mendengar musik Ska dan bibir tersenyum sebagai bahasa non verbal. Dua dari panca indera yang bekerja. Saya teringat hal itu semacam geliat buku Titik Temu itu. Energi kecil, tapi terus berlipat ganda saat diterbangkan dari kota ke kota. Saat menjumpai banyak orang. Saat dikenang diingat.

"Puluhan orang berbanjar menyiapkan foto kenangannya untuk dipajang di dinding sebagai sisa perjalanan. Aku juga. Sebelum taliku putus. Melayang lalu hilang."

Ketika keseimbangan itu telah didapatnya, penulis kembali pada kesadaran situasinya, pada perjalanan yang tengah ditempuhnya. Kali ini dia mendapatkan satu kesadaran baru, bahwa setiap masa akan selalu ada kesempatan/peluang bagi orang-orang untuk berbaris (berbanjar, berderet) dalam sebuah foto kenangan. Ingat foto-foto yang kita buat saat kelulusan sekolah, reuni, perpisahan dan sebagainya. Saat mereka yang ada dalam foto itu sudah mati pun, gambar berbentuk barisan orang-orang dalam foto masih akan melanjutkan keabadiannya sebagai sisa perjalanan mereka. Bahkan dikisahkan kembali pada orang-orang lain, anak-anak, dan seterusnya.

Fendi menariknya kembali pada dirinya secara personal. Dia tidak akan bisa lari juga dari kepastian itu. Suatu ketika, peristiwa transenden akan sampai padanya, tali hidupnya, tali perjalanannya akan putus, melayang dan hilang. Saya membayangkan kesadaran yang ditulis di akhir puisi ini, pastilah membawa si penulis pada kegembiraan walau harus diakui agak sendu, haru, atau hening. Kesadaran itu punya andil untuk menghidupkan dirinya, lalu kembali pada perjalanan-perjalanannya, dan melangkah riang. Dan itu tepat, karena Fendi menulis puisi ini saat dia berada di stasiun kota (seperti ditulis di bagian akhir puisinya), entah kota mana, entah mau kemana.

Berikut ini puisi lengkapnya :

LAYANG-LAYANG KERTAS


Lalu, pagi membawaku ke sini seperti layang-layang kertas merasakan sisa hujan. bersembunyi dari kejaran dingin. Dan ternyata tak ada yang berubah. Pintu keluar dan bercak kenangan yang juga belum semuanya dihisap waktu.

Sejenak, aku terdiam diguncang bimbang dan kecemasan belum lepas dari kantung mata. Tak ada jemputan serta kalungan bunga. Tapi, tiap kejadian masih nakal menahan langkahku.

Di satu sudut pendengaran, lagu Ska mengalun riang, mengajakku untuk tersenyum. Dan, tiba-tiba kumiliki energi kecil untuk kembali diterbangkan dari kota ke kota. 

"Puluhan orang berbanjar menyiapkan foto kenangannya untuk dipajang di dinding sebagai sisa perjalanan. Aku juga. Sebelum taliku putus. Melayang lalu hilang."

Stasiun Kota, 21 Maret 2015

Puisi-puisi banyak yang bersifat demikian. Bahasa personal dalam situasi sosial. Siapa yang bisa lepas dari situasi sosial? Demikian pun puisi sebagai bahasa, sebagai alat komunikasi, terikat oleh hal itu.

Yang tidak biasa, puisi-puisi Fendi ini mengentalkan bahasa tidak untuk dirinya sendiri. Mungkin, bahasa personal dalam ranah sosial sudah biasa dipakai atau secara otomatis muncul dalam diri penyair-penyair. Yang tidak biasa dan tidak otomatis adalah ketika puisi itu mulai ditulis sehingga pesan-pesan mampu diperas oleh pembacanya saat membacanya.

Ada beberapa puisi Fendi yang meletakkan relasinya dengan orang lain sebagai dasar bagi penulisannya. Maka sapaan-sapaan pun mengalir dari sana untuk kemudian ketika dibaca oleh orang lain, pembaca itu akan merasa bahwa : “Puisi ini adalah milikku. Puisi ini adalah untukku.” Dan itulah keunggulan sebuah puisi, yaitu ketika dia mampu menyentuh setiap pembacanya. ****