Jumat, 28 Oktober 2016

KONFLIK BATHIN DAN JIWA YANG DINGIN DI “KAFE”




KARYA YULI NUGRAHANI
Sepenggal Catatan Penikmat, oleh: Fendi Kachonk

Salah Satu Cabang Cemara Kumcer Yuli Nugrahani


Aku sendiri tidak akan tahan, berdiri atau menunggu. Bahkan mungkin akan banyak gugatan bila membaca cerpen Yuli Nugrahani ini. Ada rasa sebel, geram yang pelan-pelan melahirkan pemberontakan. Entahlah! Aku tak habis pikir bila aku adalah pelaku. Mungkin memang akan terus diiris-iris oleh kesunyian itu. Bagaimana tidak? Aku membayangkan tiga tahun tidak bertemu dengan seseorang yang bisa setiap detik aku ingat, senyumnya, bahkan setiap hal yang dibencipun darinya akan jadi tempat untuk pulangnya rindu ke dalam dada.
Suasananya terbangun dengan manis, romansa ruangan yang akrab dan kita pernah ada dalam ruangan tersebut. Oleh karena itu judul cerpen Yuli Nugrahani di Bukunya “salah satu cabang cemara” yang paling saya sukai begitu hidup, “KAFE”. Dengan judul kafe ini saja, aku sendiri telah ditarik ke dalam suasananya. Tak perlu lagi banyak susunan kata untuk membangun suasananya. Bagian dari tema dan judul ini begitu akrab begitu dekat diri sendiri. Suasana kafe, musik yang mengalun pelan, kopi entah juga makanan yang seoalah jadi teman yang baik.
Selanjutnya, aku ingin menceritakan pengalamanku pribadi ketika cerpen “Kafe” karya Yuli Nugrahani ini dibacakan dengan penuh perasaan oleh seorang teman dari Forum Belajar Sastra (FBS) dan Komunitas Kampoeng Jerami waktu peluncuran dua buku terbitan Komunitas Kampoeng Jerami. Fia, panggilan akrab temanku membaca dengan perasaannya. Dan, ah seisi forum begitu terhantar pada keheningan dan cara membacanya Fia cukup ritmis, mengaluri ruang dan aku sendiri merasakan haru yang luar biasa. Buku itu aku berikan ke Fia pada waktu itu aku memintanya memilih sendiri cerpen yang disukai. Sebentar saja Fia langsung diam di pojok ruang dan aku melupakannya. Sampai pada detik-detik ia akan membacakan cerpen ini, Fia mendekatiku. “Kak, aku suka baca cerpen berjudul “Kafe” ini, jadi aku akan baca ini”
Mungkin, karena berbagai alasan, Kafe cerpen Karya Yuli Nugrahani nuasanya sangat dingin, sangat kental sekali suasananya, dingin itu mungkin bagian yang dimaksudkan sebagai bangunan tematik dari Cerpen “Kafe” yang menceritakan dua orang yang lama tak bertemu dan perpisahannya juga tanpa ada alasan: tiba-tiba hilang, tiba-tiba kembali setelah tiga tahun lamanya. Seperti penggalan cerita di bawah ini:

Tiga tahun berlalu tanpa kuketahui penyebab hilangnya komunikasiku dengan Nad. Dua hal yang kupikirkan : Nad sudah mati atau Nad sangat membenciku. Dua alasan yang sama-sama tak bisa kuterima. Tanpa penjelasan dan permintaan maaf seperlunya, kehadiran Nad menyentak perasaanku. Seperti jin keluar dari botolnya, Nad datang begitu saja setelah menyampaikan pesan singkat lewat ponsel beberapa hari lalu :
Pesan pertama, “Aku ingin ketemu.”
Pesan kedua,”Aku rindu. Andai kau membolehkannya.”
Pesan ketiga,”Six Cafe, 12 Okt jam 19. ”
Usai aku membaca tiga pesan berturutan itu aku langsung meneleponnya, tapi tak bersaut. SMS balasanku tidak dijawab. Jadi aku datang pada hari dan jam sesuai pesannya, dan memutuskan menikmati kegelisahan-kegelisahan yang muncul karena keputusan itu. Mungkin itu hanya SMS seorang penipu, tapi aku tak boleh kehilangan harapan untuk kembali berjumpa Nad. Selama tiga tahun aku sudah melakukan segala upaya tanpa hasil untuk menemuinya kembali. Dan kini harapan itu menyeruak seperti sulur-sulur sirih yang tumbuh di antara batu.
Sungguh, Nad benar-benar datang pada tempat, hari dan jam yang dia bilang.
“Aku mendapat kecelakaan malam itu. Kesalahpahaman yang berbuntut panjang. Aku tidak puny kesalahan apa pun kecuali tidak menghubungimu.”

Nah, begitulah, sepenggal kisah tentang dua orang yang lama saling berpisah tanpa alasan dalam cerpen ini. Meski hakikatnya tak ada yang tanpa sebab dan tanpa alasan. Tapi, kata tanpa alasan itu aku maksudkan adalah ketika ruang komunikasi yang lama terbangun dan tiba-tiba hilang, tiba-tiba datang. Menjadi menarik untuk aku masuki sebagai kejelian dari cara dan teknik menulisnya Yuli Nugrahani di buku “salah satu cabang cemara” kumpulan cerpennya dan salah satu yang paling aku suka adalah “kafe”. Sebab, alasanku begitu banyak cerpen yang semua memainkan peran-peran keluar, tapi dalam cerpen-cerpennya Yuli lebih berperan ke dalam jiwa. Yang aku akan pertegas sebagai sesuatu kekayaan dalam cerpen-cerpennya Yuli Nugrahani lebih menajamkan pada konflik bathin.
Aku mesti menganggap perlu membicarakan ketika buku ini diluncurkan bersamaan dengan pertemuan rutinnya “Forum Belajar Sastra” Komunitas Kampoeng Jerami ketika tiba-tiba Fia begitu menikmati, begitu memahami, mungkin aku mendapatkan Fia selaku pembaca sangat menikmati bahkan aku melihat Fia seolah-seolah membicarakan dirinya sendiri. Iya, Fia adalah pelaku di cerpen itu dan walhasil alunan gitar yang mengiringi pembacaan cerpen itu serasa sangat serasi dan melahirkan kedinginan sebagaimana dinginnya perbincangan seorang “aku dan Nad” dalam cerpen kafe karya Yuli Nugrahani.

Nad pasti melihat rasa tidak percaya yang terpancar dari mataku. Dia tidak berusaha memahami dan menjawab penasaran itu. Dia mengabaikan perasaanku sama sekali (atau pura-pura mengabaikan?) walau matanya tak putus melihatku sejak mata kami bertemu, sejak tubuhnya muncul di depan pintu kafe beberapa menit yang lalu. Dia berbicara dengan nada biasa seolah kami baru saja terpisah selama beberapa jam. Seolah sebuah kecelakaan yang menimpanya entah apapun seperti tergambar dalam kalimatnya, hanyalah peristiwa biasa saja.
Nad menyalamiku (masih dengan menatapku) lalu duduk dan mulai mengulang kisah-kisah yang pernah kami alami sebelum tiga tahun perpisahan. Kisah yang aku tahu karena memang kami terlibat bersama-sama di dalamnya. Aku tak perlu mendengarnya sungguh-sungguh karena aku juga masih mengingatnya.
Jadi aku memperhatikan wajahnya yang bergerak, berkerinyut mengikuti gerak mulutnya dan segala ekspresi yang ditampilkannya. (Suaranya hanya terpotong sebentar oleh datangnya pelayan yang mengantar pesanan kami.) Dan setiap detil baru yang kudapatkan pada wajahnya, membuat sebulir air mata matang di ujung mataku. (Dia tidak melihatnya, atau pura-pura tidak melihatnya.)

Dari penggalan di atas, betapa sangat kuatnya. Mungkin ini yang dianggap kepura-puraan yang sungguh amat menyiksa. Rindu ddan banyaknya pertanyaan tapi semua tak bisa diungkapkan secara harfiah. Bagi “Aku dan Nad” dalam cerpen “Kafe” karya Yuli Nugrahani seoalah pertemuan bahasa itu telah larung dalam gerak, dalam tatapan, dalam sesekali obrolan yang sebenarnya tidak mengarah pada tujuan yang sesungguhnya. Atau bisa dibilang “Konflik Bathin” ini akan jadi “karekteristik seorang Yuli Nugrahani” dalam cerpen-cerpennya.
Entahlah! Keunikan dan ketajaman memainkan konflik bathin ini, aku kira patut dapat apresiasi. Kenapa? Seorang penulis bisa sangat mampu menggambarkan dengan mudah dalam bentuk tulisan, bisa saja kata-katanya lepas dan sangat sarkas. Tapi, tidak dalam cerpen “Kafe” ini. Dalam cerpen ini: dingin dan pertempuran bathin yang sama-sama ditutup-tutupi mampu menjadi satu kekuatan tersendiri dalam menarik perhatian pembacanya.
Jadi, pada suatu jeda, tanpa sadar (atau mungkin justru itu satu-satunya keingintahuanku saat ingin bertemu dengannya) aku bertanya dengan nada rendah, “Nad, mengapa kau tak menghubungiku selama ini?” Ada nada terburu-buru dalam suaraku.
Nad terdiam, menyentuh jemari tangan kiriku, menekannya beberapa kali seperti sebuah pijitan refleksi. Kukunya nyaris menyakitiku tapi aku tak peduli. Aku senang disentuh olehnya entah dengan cara apapun. Bahkan aku lebih suka bila dia mencubitku, menamparku atau menyakitiku dengan tubuhnya asalkan dia lakukan dengan nyata, karena saat itulah aku tahu bahwa aku sedang bersamanya.
Dia mencondongkan tubuhnya.
“Tiga tahun aku tak bisa kemana-mana bahkan untuk menemuimu. Kini aku bebas, walau sebentar, aku bebas. Tapi setelah ini aku masih harus melakukan beberapa pekerjaan yang tertunda. Aku rindu padamu, jadi aku menemuimu. Percayalah.”
Dia melihat jam di dinding kafe dengan ujung mata.
“Kau akan pergi lagi.” Suaraku terdengar aneh mengambang pada ruang di antara kami.
“Tapi percayalah. Aku sama sekali tidak bersalah. Aku masuk dalam situasi ini karena kesalahan. Kesalahpahaman. Kecelakaan. Tepatnya kau bisa sebut sebagai kecelakaan.”

Akhirnya, ketajaman konflik bathin itu mesti dipindah-pindah dari obrolan yang satu ke obrolan yang lain. Sampai, ketika lama waktu bergulir dan seolah ini disengaja untuk menghabiskan pertemuan hanya untuk hal-hal yang lain. Atau semacam itulah ketika komunikasi berjeda sekian tahun, butuh cara lagi untuk saling mengenal, saling (pura-pura) menjadi orang yang asing. Padahal senyatanya, kerinduan dan sekian banyak pertanyaan tak akan tuntas hanya sekali bertemu di Kafe itu. Namun, bagi, “aku dan Nad” dalam cerpen “Kafe” ini seolah saling memerankan kepribadian yang tak mudah untuk terus terang, tak mudah blak-blakan. Dan dari sinilah konflik sejatinya lahir jadi konflik bathin di cerpen “kafe” ini.
Dari awal sampai akhir cerpen ini sangat kuat memainkan konflik bathinnya. Tetapi, di samping keunikan “konflik bathin dan dingin” di Kafe, Yuli Nugrahani juga memiliki ciri khas yang lainnya. Semisal ia tak menentukan ending yang jelas. Dan, itu juga diperjelas oleh pengantarnya dalam buku “salah satu cabang cemara”.

Kafe bercerita tentang seorang ‘aku’ yang berada dalam penantian dan perpisahan. Si ‘aku’ sangat merindukan Nad, namun Nad bukan orang yang mudah untuk ditunggu. Keinginan untuk bertemu Nad menjadi batu sandungan bagi langkah si ‘aku’. Menjadi sumber kegelisahan sekaligus menjadi bahan pengharapan. Pada suatu waktu nanti, batu ini mungkin akan benar-benar melukai atau mungkin malah menjadi batu pijakan bagi lompatan hidup ‘aku’. Sekejap perjumpaan mereka telah menjadi sarana untuk mengambil keputusan di masa mendatang, jika diperlukan.
Saya tidak menentukan akhir yang pasti dan jelas dalam cerpen ini. Dengan cara begitu cerpen ini menjadi sindiran bagi saya sendiri yang sering kali menciptakan ‘batu-batu’ dari penantian dan perpisahan yang muncul dalam hidup. Saya yakin bahwa saya mendapatkan hikmahnya ketika saya sudah menuliskan Kafe dengan sadar. Demikian saya berharap pembaca bisa mengambil suatu pengalaman saat membaca cerpen ini.

Aku mengutip dari tulisan pengantarnya Yuli Nugrahani. Meski menurutku itu tak begitu penting. Sebab, pada tulisan-tulisannya memang Yuli Nugrahani tak ingin menutup dari segala alur ceritanya. Yuli menurutku juga tak ingin membunuh pembaca di tulisannya. Tapi, tulisannya mengajak pembaca untuk menentukan dan memilih sendiri akhir dari segala alur atau konflik dalam cerpen-cerpennya. Bukankah itu juga bisa kita baca bersama di karya-karya Borges. Pembaca dibiarkan merdeka menafsir, menghentikan atau melanjutkan segala alur dalam cerpen-cerpen tersebut. Aku pun ingin menuntaskan segala pengalamanku dan keterlibatanku dari semenjak membaca cerpen “kafe” ini.

“Bayar kopiku, ya. Jika nanti kita ketemu, aku akan menggantinya. Jika tidak, kau harus belajar mengiklaskannya.”
Nad menghabiskan kopi yang tersisa di cangkirnya, lalu meletakkan kembali cangkir itu di pinggir meja dekat siku kiriku.
“Aku harus pergi. Kau tak perlu memasukkan hal-hal ini dalam hati.”
Nad menggeser kursinya dengan tergesa. Memakai topinya (sejak kapan Nad suka pakai topi?) Lalu sebelum aku sempat mengatakan apapun dia sudah menyelinap di antara pintu yang kebetulan terbuka karena sepasang anak muda sedang memasuki kafe. Dia mendapat sedikit gerutu dari anak muda yang terkena ayunan tangannya, tapi dia lurus melangkah keluar, tidak menoleh lagi.
Nad kembali menghilang. Dia tidak meninggalkan apapun untuk kukenang, bahkan tidak memberiku sebuah cerita yang masuk akal sebagai tanda bahwa dia pernah mengunjungiku di awal tahun ini, atau bahkan tidak ada sekedar lambaian tangan.
Aku menggeser cangkirnya hingga berdampingan dengan cangkir kopiku yang masih penuh. Mungkin ada baiknya aku mengira bahwa dia sudah mati dan mulai mencari cara untuk melupakannya. Aku mulai tidak tahan dengan ketidakjelasan yang dia munculkan.
Ruang kosong dalam hatiku mulai terbuka, menganga, dan terasa nyeri.
Di luar, gerimis turun memukuli kanopi kafe. *** (2016)

Catatan ini, juga tanpa akhir yang jelas. Biarkan “Aku dan Nad” memenuhi nasibnya di pembaca. Bisa jadi “Aku dan Nad” bertemu kembali. Atau Bisa jadi semuanya sama-sama hidup klimaks di tulisan yang anti klimaks. Begitulah hidup, selalu berputar pada porosnya. Mungkin pada bagian tertentu masih akan ada cerita lain “aku dan Nad”.

Salam.





1 komentar:

udoplhbaccari mengatakan...

Casino Kings Resort - JTA Hub
Casino Kings Resort features an 11-table casino with a non-smoking poker room, along with 정읍 출장마사지 a fitness center and a bar. Guests also have a 거제 출장안마 private shuttle that  거제 출장안마 Rating: 5 여수 출장샵 · 세종특별자치 출장샵 ‎1 vote