Jumat, 28 Oktober 2016

Puisi Dalam Perspektif Musikalitas

Ramsi (Musisi dalam aksi)

Pada hari minggu kemaren tanggal 02 Oktober 2016, di acara rutinitasnya Masyarakat Santri Pesisiran (MSP) yang kebetulan saat itu mengusung tema "Bincang Buku Puisi Surat Dari Timur Karya Fendi Kachonk" dan saya yang diberi kesempatan untuk tampil di acara tersebut, sengaja membawakan musikalisasi puisi yang puisi-puisinya saya adopsi dari buku "Surat Dari Timur" karyanya Fendi Kachonk. Salah satu yang saya ambil dari buku tersebut ialah puisi yang berjudul "Menjadi Malam" saya ingin mengupas sedikit puisi ini dari cara dan jarak pandang yang berbeda yaitu bukan dari teori-teori sastra tapi dari dimensi musikalitas.

MENJADI MALAM
Sepertinya setiap suara akan pergi
menjadi nada di setiap dinding nyeri
yang kehilangan setiap iramanya;
Sepertinya kecemasan selalu begini
memaku dingin gerak kelambu kamar
menari-nari seperti bayangan lilin.
Yang tahu-tahu sujud ke dada hening
hanya ingatan tentang embun di pagi hari
disambut nyanyian burung; tarian ilalang.
Tapi menjadi malam tak begitu mudah
dia tempat kerinduan saat langit hitam;
bintang kembali jadi obor kepulangan.
Moncek, 2016

Sebelum saya masuk pada dimensi musikalitas saya ingin masuk dulu pada sebuah ruang-ruang dalam puisi di atas yaitu malam. Malam tidak akan lepas dari kehingan dan kesunyia seperti di bait pertama dalam puisi di atas yaitu "Sepertinya setiap suara akan pergi" sesuatu yang di dengar pada saat siang hari akan pergi bersama matahari dan kemudian akan masuk pada waktu malam yang sebagian di antara waktu itu ada waktu yang istijabah, di mana seorang hamba akan bersujud kepada tuhannya, seorang kekasih tengah merindukan kekasihnya, di waktu malam juga yang tidak terlihat akan terlihat, yang tidak terpikirkan akan terpikirkan dan suara-suara dalam diri yang tidak terdengar akan terdengar seperti suara napas, suara tasbih yang telah melewati satu putaran bahkan suara hati yang sedang berdzikir.
Sungguh betapa istimewanya malam yang telah menyimpan berjuta-juta kemesraan bagi seorang perindu seperti di bait terakhir dalam puisi di atas. Tapi di bait terakhir pula dikatakan bahwa "menjadi malam tak begitu mudah" kalimat tersebut mengungkapkan begitu sulitnya menguasai malam karena rata-rata orang-orang termasuk saya dikuasai oleh malam, dengan kata lain ketika dikuasai malam maka saya akan menjadikan malam sebagai waktu untuk terlelap sampai pagi.
Berikutnya saya akan masuk pada esensi pembahasan yaitu "Puisi Dalam Perspektif Musikalitas" di dalam teori puisi ada istilah rima yang masih terdiri dari banyak macam sub, diantaranya rima pengulangan di awal kalimat, ada juga di akhir kalimat dsb. Sebagian para pakar esais Puisi-puisinya Fendi Kachonk dianggap tidak mengandung rima dan hal itu membuat saya penasaran ingin mendalaminya tapi dari sisi yang berbeda yaitu dari sisi musikalitasnya.
Di dalam teori musik ada istilah beat, birama dan juga bar, birama adalah pola yang melingkupi bar misalkan dalam birama 4/4, di dalam satu bar atau ruang terdiri dari empat beat atau empat ketukan. Saya mencoba bereksperimen dan mengkolaborasikan teori ini dengan bait-bait puisi, puisi yang mengandung rima sangat mudah masuk pada birama karena bait-baitnya sangat teratur sehingga tidak ada kata atau kalimat yang dipaksakan masuk pada intonasi nada dan baet dalam bar, seakan rima dalam dunia puisi dan birama dalam dunia musik sangatlah berdekatan.
Saya menemukan pola di beberapa puisinya Fendi Kachonk yang mungkin secara teori puisi tidak mengandung rima tapi ketika ditinjau dari sisi musik mengandung birama. Ketika puisi masuk pada wilayah musikalitas atau lebih tepatnya ketika puisi dilagukan dan setiap kata sampai kalimatnya mampu mencapai intonasi harmonis yang seakan tidak ada kata yang nuansanya dipaksakan di dalam ketukan tiap-tiap barnya. Maka puisi sudah mengandung rima dan saya menemukannya di puisi-puisinya Fendi Kachonk.


Tidak ada komentar: