Perpustakaan Umum Mojokerto, Bedah Buku Surat dari Timur
Minggu, 16 Oktober 2016. Tempatnya di Perpustakaan Umum Mojokerto, setelah sehari sebelumnya saya main ke kawan-kawan Gubuk Tulis Malang dengan sangat gembira. Saya dan kawan-kawan (Ramsi dan Amin) teman seperjalanan yang ramai, yang mau menemaniku untuk urusan "Surat dari Timur" buku ketiga yang aku terbitkan lewat Komunitas Kampoeng Jerami ini seolah mengulang lagi sebuah perjalanan, kisah-kisah dan cerita-cerita satu tahun sebelumnya. Iya, tahun 2015, saya memang meluncurkan buku "Tanah Silam" yang juga dibincangkan di Kafe Pustaka Malang lalu ke Mojokerto dan kini seolah kembali pada masa itu maka saya tak menggunakan kata "datang" ke Mojokerto. Dan karena itulah, saya merasa "pulang" ke rumah sendiri. Entah apa karena nilai historis atau hanya tarikan ingatan yang memang seolah begitu adanya.
Kebahagiaan yang perlu saya ingat dan penghormatan yang luar biasa adalah ketika sambutan Ketua Dewan Kesenian Mojokerto yang tak lain dan tak bukan adalah Kepala Perpustakaan Umum di Mojokerto. Jemputan, sarapan pagi di Saung dan keceriaan dalam perbincangan yang santai membawa saya pada semangat baru, pada ruang dan cita-cita yang kini makin muda lagi. Iya, begitulah, di samping kebahagiaan yang lain yang serupa disediakan begitu banyak pada kami. Gegap gempita pertanyaan, serta tawa yang lepas, dan kami juga diijinkan untuk menyanyi, membaca puisi dan melagukan kenangan pada seluruh jiwa yang datang pada saat itu.
Dosen Sastra UIM Ach Fatoni Menyampaikan Ulasannya
Menjadi sangat pantas kalau hari ini, saya menuliskan ribuan terima kasih kepada Pak Indra, Kawan-kawan Serikat Buku, kawan-kawan RBAF dan Dosen Sastra Mas Fatoni yang jadi teman saat diserang pertanyaan yang bertubi-tubi. Ah, luar biasa, saya merasa selalu punya energi luar biasa di tengah-tengah kalian, memiliki hal yang lebih entah apa semua itu. Semuanya seoalah lepas, seolah tak ada sekat, hanya getar-getar yang membuat ruangan Perpus itu menjadi sangat karib kepadaku.
Terima kasih kepada seluruh kawan-kawan. Saya akan datang lagi, semoga pintu senantiasa terbuka untuk kami yang selalu akan datang ke tempat-tempat yang hangat dan penuh penghayatan. Haaaahhh...lega rasanya, Surat dari Timur telah beberapa kali dibincangkan, dinyanyikan, dibacakan, bahkan segalanya adalah hadiah bagi diri saya secara pribadi.
Seluruh Guru dan Kawan yang hadir untuk Surat dari Timur
Nah, Saya mencintai Mojokerto karena selalu ada ruang dan proses belajar, berikut adalah oleh-oleh yang dituliskan oleh Dosen Sastra UIM dan Pendiri RBAF (rumah budaya ahmad fatoni) :
Surat
Cinta dari Pesisir[1]
Oleh
Akhmad Fatoni[2]
“Puisi
seperti sebuah alat untuk melihat sesuatu yang kecil,
sesuatu
yang seolah tak ada tetapi mereka juga hidup bersama saya.”
(Fendi Kachonk)
Sebagai
pembuka, saya mengutip pernyataan penyair dalam pengantar buku ini, Surat dari
Timur. Di mana ia menyatakan (semacam kredo penyair) tentang puisi bagi dirinya.
Tentu ketika kita ingin mendiskusikan hal itu, merupakan persoalan yang rumit.
Bagaimana tidak: seolah tidak ada, tetapi hidup di antara kita. Memang
begitulah seyogyanya puisi, seolah mudah tetapi jika serius menekuninya adalah
sesuatu yang rumit. Sama halnya dengan cinta, sesuatu yang mudah tetapi juga
rumit. Dan itulah kenapa saya memilih diksi “cinta” sebagai fokus dalam judul
tulisan ini.
Rumi, Cinta, dan Sejarah
Buku
kumpulan puisi Surat dari Timur karya Fendi Kachonk ini memuat 84 puisi yang
terbagi ke dalam empat bagian. Masing-masing bagian memuat 20 puisi, kecuali
bagian empat yang memuat 22 puisi. Lantas kenapa buku puisi ini diberi judul
Surat dari Timur (selanjutnya dibaca SDT)? Tentu hal yang paling mendekati
maksudnya, hanyalah penyair yang akan menjawabnya sendiri (dan itu pun jika
penyairnya berkenan). Namun sebagai seorang pembaca, maka saya akan memberi
tafsiran. Setelah melakukan pembacaan berulang-ulang kumpulan puisi dalam SDT,
maka temuan itu adalah yang saya gunakan sebagai subjudul ini: Rumi, Cinta, dan
Sejarah.
Rumi atau Jalaluddin Rumi adalah
penyair dari Timur Tengah, yang kecintaannya terhadap puisi sudah didengar di
hampir seluruh pelosok dunia, termasuk Indonesia. Dan si penyair, merasa telah
mendapatkan surat dari Rumi, melalui sajaknya “Surat dari Timur” yang juga
dijadikan judul buku ini. Sebuah imajinasi yang dalam. Membuat saya teringat
akan penyair dari Batam, Hasan Aspahani. Jika Fendi Kachong merasa mendapatkan
surat dari Jalaludin Rumi, lain halnya dengan Hasan Aspahani. Ia merasa
mendapatkan surat dari Rainer Maria Rilke (penyair Austrian, terkenal sebagai
penyair bahasa Jerman terbesar abad 20). Atas dasar itulah, keterpengaruhan
Fendi Kachonk begitu besar akan Rumi. Hal itu terbukti dari 90 persen sajak dalam
buku SDT berbentuk naratif, seperti pola rumi yang selalu dalam sajaknya
terdapat kisah. Meskipun ada beberapa sajak Fendi Kachonk yang liris, namun sajak
lirisnya kalah kuat dengan sajak naratifnya.
Keterpengaruhan Fendi Kachonk tidak
hanya pada bentuk naratif, tetapi juga kekuatan cinta dalam sajak-sajaknya seperti halnya Rumi. Bentuk khas itu
tercermin dalam hampir semua sajaknya bisa ditemui subjek dan objek: aku,
kau, atau kita. Salah satu lingkaran itu bisa terbaca melalui sajak: Surat dari Timur, Untuk Mei, Surat dari
Kampung, Surat Bulan Juli, Gerimis Airmata, Surat Hujan, dan Surat kepada Penyair. Lingkaran tersebut
itulah yang membiaskan Rumi, Cinta, dan Sejarah. Namun Rumi secara tersirat,
sedangkan dalam lingkaran tersebut lebih jelas mendetailkan Cinta dan Sejarah.
Dan lingkaran terakhir dikukuhkan, dengan kecintaan tentang puisi melalui sajak
Surat kepada Penyair.
Surat
kepada Penyair terdapat di bagian keempat, hal itu menyiratkan bagaimana
tentang dunia kepenyairan. Salah satunya perihal sunyi, sepi, luka, dan tentang
diri Fendi Kachong sendiri sebagai sosok penyair. Salah satunya tokoh-tokoh
yang menarik perhatian penyair, kisah sunyi dalam luka dan linang airmata, juga
romantisme dengan objek tentang masa lalu (baca sejarah). Sejarah yang disoal
dalam SDT memang bukanlah sejarah universal, tetapi sejarah personal: tentang
kampung dan kisah masa kecil.
“Jalan
ini kian kehilangan kehijauannya
cuma
kelokan yang setia dengan sudut desa
di
tanah yang juga kehilangan humusnya
seperti
rindu yang tak tuntas diurus
(Surat
dari Kampung)
Dalam sajak Surat dari Kampung, selain menyampaikan
tentang kampung sebagai penyimpan kenangan masa lalu, juga sebagai ciri khas
Fendi Kachonk selalu memuat romansa. Hal itu tidak hanya dalam sajak ini saja,
tetapi hampir semua sajak-sajaknya dalam buku ini.
Kekuatan romansa itu pulalah yang
mampu mengolah kepedihan menjadi sebuah ritmis yang begitu mengiris. Juga
pelibatan emosional melalui subjek dan objek yang mampu mengikat psikologi
pembaca. Tentunya, hal itulah yang mampu membuat SDT akan larut dalam tas,
meja, dan ingatan pembaca. Begitulah seharusnya pecinta, menyampaikan kegaiban
dari cinta yang misterius. Dan kiranya, kamu yang sedang jatuh cinta larutnya
dalam buku Fendi Kachonk ini. Sebagai wujud apresiatif yang kekal, maka
apresiasi dengan mengoleksi buku ketiga ini, sehingga engkau bisa mengobati
kerinduan dengan membaca Surat Cinta dari Pesisir. Tabik. *
[1]
Tulisan ini dipaparkan dalam bedah buku Surat
dari Timur Kumpulan Puisi Fendi Kachonk di acara Terminal Sastra #29,
Minggu, 16 Oktober 2016, bertempat di Kantor Perpustakaan Arsip dan Dokumentasi
Kabupaten Mojokerto.
[2]
Penyair, Cerpenis, Pendiri RBAF, dan Dosen Sastra Universitas Islam Majapahit
(Unim) Mojokerto.
Terakhir kali, Terima kasih kawan-kawan, seluruh guru, teman dan saudara. Di sini kita berkumpul, menyanyikan lagu, puisi Surat dari Timur, semoga pada kesempatan yang lain semua masih sama dalam lindungan cinta, semangat untuk terus berbagi kegembiraan.
Salam.
Fendi Kachonk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar