Senin, 24 Oktober 2016

PULANG KE MOJOKERTO UNTUK SURAT DARI TIMUR

Perpustakaan Umum Mojokerto, Bedah Buku Surat dari Timur


Minggu, 16 Oktober 2016. Tempatnya di Perpustakaan Umum Mojokerto, setelah sehari sebelumnya saya main ke kawan-kawan Gubuk Tulis Malang dengan sangat gembira. Saya dan kawan-kawan (Ramsi dan Amin) teman seperjalanan yang ramai, yang mau menemaniku untuk urusan "Surat dari Timur" buku ketiga yang aku terbitkan lewat Komunitas Kampoeng Jerami ini seolah mengulang lagi sebuah perjalanan, kisah-kisah dan cerita-cerita satu tahun sebelumnya. Iya, tahun 2015, saya memang meluncurkan buku "Tanah Silam" yang juga dibincangkan di Kafe Pustaka Malang lalu ke Mojokerto dan kini seolah kembali pada masa itu maka saya tak menggunakan kata "datang" ke Mojokerto. Dan karena itulah, saya merasa "pulang" ke rumah sendiri. Entah apa karena nilai historis atau hanya tarikan ingatan yang memang seolah begitu adanya.

Kebahagiaan yang perlu saya ingat dan penghormatan yang luar biasa adalah ketika sambutan Ketua Dewan Kesenian Mojokerto yang tak lain dan tak bukan adalah Kepala Perpustakaan Umum di Mojokerto. Jemputan, sarapan pagi di Saung dan keceriaan dalam perbincangan yang santai membawa saya pada semangat baru, pada ruang dan cita-cita yang kini makin muda lagi. Iya, begitulah, di samping kebahagiaan yang lain yang serupa disediakan begitu banyak pada kami. Gegap gempita pertanyaan, serta tawa yang lepas, dan kami juga diijinkan untuk menyanyi, membaca puisi dan melagukan kenangan pada seluruh jiwa yang datang pada saat itu.


Dosen Sastra UIM Ach Fatoni Menyampaikan Ulasannya


Menjadi sangat pantas kalau hari ini, saya menuliskan ribuan terima kasih kepada Pak Indra, Kawan-kawan Serikat Buku, kawan-kawan RBAF dan Dosen Sastra Mas Fatoni yang jadi teman saat diserang pertanyaan yang bertubi-tubi. Ah, luar biasa, saya merasa selalu punya energi luar biasa di tengah-tengah kalian, memiliki hal yang lebih entah apa semua itu. Semuanya seoalah lepas, seolah tak ada sekat, hanya getar-getar yang membuat ruangan Perpus itu menjadi sangat karib kepadaku.

Terima kasih kepada seluruh kawan-kawan. Saya akan datang lagi, semoga pintu senantiasa terbuka untuk kami yang selalu akan datang ke tempat-tempat yang hangat dan penuh penghayatan. Haaaahhh...lega rasanya, Surat dari Timur telah beberapa kali dibincangkan, dinyanyikan, dibacakan, bahkan segalanya adalah hadiah bagi diri saya secara pribadi.
Seluruh Guru dan Kawan yang hadir untuk Surat dari Timur


Nah, Saya mencintai Mojokerto karena selalu ada ruang dan proses belajar, berikut adalah oleh-oleh yang dituliskan oleh Dosen Sastra UIM dan Pendiri RBAF (rumah budaya ahmad fatoni) :



Surat Cinta dari Pesisir[1]
Oleh Akhmad Fatoni[2]

“Puisi seperti sebuah alat untuk melihat sesuatu yang kecil,
sesuatu yang seolah tak ada tetapi mereka juga hidup bersama saya.”
(Fendi Kachonk)

Sebagai pembuka, saya mengutip pernyataan penyair dalam pengantar buku ini, Surat dari Timur. Di mana ia menyatakan (semacam kredo penyair) tentang puisi bagi dirinya. Tentu ketika kita ingin mendiskusikan hal itu, merupakan persoalan yang rumit. Bagaimana tidak: seolah tidak ada, tetapi hidup di antara kita. Memang begitulah seyogyanya puisi, seolah mudah tetapi jika serius menekuninya adalah sesuatu yang rumit. Sama halnya dengan cinta, sesuatu yang mudah tetapi juga rumit. Dan itulah kenapa saya memilih diksi “cinta” sebagai fokus dalam judul tulisan ini.

Rumi, Cinta, dan Sejarah
Buku kumpulan puisi Surat dari Timur karya Fendi Kachonk ini memuat 84 puisi yang terbagi ke dalam empat bagian. Masing-masing bagian memuat 20 puisi, kecuali bagian empat yang memuat 22 puisi. Lantas kenapa buku puisi ini diberi judul Surat dari Timur (selanjutnya dibaca SDT)? Tentu hal yang paling mendekati maksudnya, hanyalah penyair yang akan menjawabnya sendiri (dan itu pun jika penyairnya berkenan). Namun sebagai seorang pembaca, maka saya akan memberi tafsiran. Setelah melakukan pembacaan berulang-ulang kumpulan puisi dalam SDT, maka temuan itu adalah yang saya gunakan sebagai subjudul ini: Rumi, Cinta, dan Sejarah.
            Rumi atau Jalaluddin Rumi adalah penyair dari Timur Tengah, yang kecintaannya terhadap puisi sudah didengar di hampir seluruh pelosok dunia, termasuk Indonesia. Dan si penyair, merasa telah mendapatkan surat dari Rumi, melalui sajaknya “Surat dari Timur” yang juga dijadikan judul buku ini. Sebuah imajinasi yang dalam. Membuat saya teringat akan penyair dari Batam, Hasan Aspahani. Jika Fendi Kachong merasa mendapatkan surat dari Jalaludin Rumi, lain halnya dengan Hasan Aspahani. Ia merasa mendapatkan surat dari Rainer Maria Rilke (penyair Austrian, terkenal sebagai penyair bahasa Jerman terbesar abad 20). Atas dasar itulah, keterpengaruhan Fendi Kachonk begitu besar akan Rumi. Hal itu terbukti dari 90 persen sajak dalam buku SDT berbentuk naratif, seperti pola rumi yang selalu dalam sajaknya terdapat kisah. Meskipun ada beberapa sajak Fendi Kachonk yang liris, namun sajak lirisnya kalah kuat dengan sajak naratifnya.
            Keterpengaruhan Fendi Kachonk tidak hanya pada bentuk naratif, tetapi juga kekuatan cinta dalam sajak-sajaknya seperti halnya Rumi. Bentuk khas itu tercermin dalam hampir semua sajaknya bisa ditemui subjek dan objek: aku, kau, atau kita. Salah satu lingkaran itu bisa terbaca melalui sajak: Surat dari Timur, Untuk Mei, Surat dari Kampung, Surat Bulan Juli, Gerimis Airmata, Surat Hujan, dan Surat kepada Penyair. Lingkaran tersebut itulah yang membiaskan Rumi, Cinta, dan Sejarah. Namun Rumi secara tersirat, sedangkan dalam lingkaran tersebut lebih jelas mendetailkan Cinta dan Sejarah. Dan lingkaran terakhir dikukuhkan, dengan kecintaan tentang puisi melalui sajak Surat kepada Penyair.
            Surat kepada Penyair terdapat di bagian keempat, hal itu menyiratkan bagaimana tentang dunia kepenyairan. Salah satunya perihal sunyi, sepi, luka, dan tentang diri Fendi Kachong sendiri sebagai sosok penyair. Salah satunya tokoh-tokoh yang menarik perhatian penyair, kisah sunyi dalam luka dan linang airmata, juga romantisme dengan objek tentang masa lalu (baca sejarah). Sejarah yang disoal dalam SDT memang bukanlah sejarah universal, tetapi sejarah personal: tentang kampung dan kisah masa kecil. 

            “Jalan ini kian kehilangan kehijauannya
            cuma kelokan yang setia dengan sudut desa
            di tanah yang juga kehilangan humusnya
            seperti rindu yang tak tuntas diurus
           
            (Surat dari Kampung)

Dalam sajak Surat dari Kampung, selain menyampaikan tentang kampung sebagai penyimpan kenangan masa lalu, juga sebagai ciri khas Fendi Kachonk selalu memuat romansa. Hal itu tidak hanya dalam sajak ini saja, tetapi hampir semua sajak-sajaknya dalam buku ini.
            Kekuatan romansa itu pulalah yang mampu mengolah kepedihan menjadi sebuah ritmis yang begitu mengiris. Juga pelibatan emosional melalui subjek dan objek yang mampu mengikat psikologi pembaca. Tentunya, hal itulah yang mampu membuat SDT akan larut dalam tas, meja, dan ingatan pembaca. Begitulah seharusnya pecinta, menyampaikan kegaiban dari cinta yang misterius. Dan kiranya, kamu yang sedang jatuh cinta larutnya dalam buku Fendi Kachonk ini. Sebagai wujud apresiatif yang kekal, maka apresiasi dengan mengoleksi buku ketiga ini, sehingga engkau bisa mengobati kerinduan dengan membaca Surat Cinta dari Pesisir. Tabik. *




[1] Tulisan ini dipaparkan dalam bedah buku Surat dari Timur Kumpulan Puisi Fendi Kachonk di acara Terminal Sastra #29, Minggu, 16 Oktober 2016, bertempat di Kantor Perpustakaan Arsip dan Dokumentasi Kabupaten Mojokerto.
[2] Penyair, Cerpenis, Pendiri RBAF, dan Dosen Sastra Universitas Islam Majapahit (Unim) Mojokerto.


Terakhir kali, Terima kasih kawan-kawan, seluruh guru, teman dan saudara. Di sini kita berkumpul, menyanyikan lagu, puisi Surat dari Timur, semoga pada kesempatan yang lain semua masih sama dalam lindungan cinta, semangat untuk terus berbagi kegembiraan.

Salam.

Fendi Kachonk

Tidak ada komentar: