Rabu, 17 Agustus 2016

SALAH SATU CABANG CEMARA

Setelah penerbitan kumpulan cerpen Daun-daun Hitam pada tahun 2014, saya berniat menerbitkan buku kumpulan cerpen yang berikutnya, dalam waktu dekat. Tentu menyenangkan jika dapat menerbitkan buku cerpen secara periodik. Ternyata niat itu tak mudah dijalankan karena ada hal-hal lain yang tiba-tiba harus menjadi prioritas, naik turunnya semangat dan juga adanya kelalaian-kelalaian saya dalam proses.

Awal tahun 2016 saya mulai mengumpulkan cerpen-cerpen yang pernah dimuat di media, saat cerpen saya yang pertama dalam tahun ini dimuat di Lampung Post pada Januari 2016. Cerpen berjudul Kafe itulah yang saya letakkan pada bagian pertama dalam kumpulan cerpen ini.

Kafe bercerita tentang seorang ‘aku’ yang berada dalam penantian dan perpisahan. Si ‘aku’ sangat merindukan Nad, namun Nad bukan orang yang mudah untuk ditunggu. Keinginan untuk bertemu Nad menjadi batu sandungan bagi langkah si ‘aku’. Menjadi sumber kegelisahan sekaligus menjadi bahan pengharapan. Pada suatu waktu nanti, batu ini mungkin akan benar-benar melukai atau mungkin malah menjadi batu pijakan bagi lompatan hidup ‘aku’. Sekejap perjumpaan mereka telah menjadi sarana untuk mengambil keputusan di masa mendatang, jika diperlukan.

Saya tidak menentukan akhir yang pasti dan jelas dalam cerpen ini. Dengan cara begitu cerpen ini menjadi sindiran bagi saya sendiri yang sering kali menciptakan ‘batu-batu’ dari penantian dan perpisahan yang muncul dalam hidup. Saya yakin bahwa saya mendapatkan hikmahnya ketika saya sudah menuliskan Kafe dengan sadar. Demikian saya berharap pembaca bisa mengambil suatu pengalaman saat membaca cerpen ini.

Cerpen-cerpen lain saya susun secara acak tanpa peduli urutan kronologis pembuatannya. Pembaca dapat melihat cerpen-cerpen yang ada dalam buku ini ditulis antara tahun 2006 sampai 2016 dengan beragam tema. Hampir semuanya pernah dimuat di media, jurnal maupun antologi bersama penulis lain.

Saya mesti berterimakasih secara khusus kepada Fendi Kachonk dan Yulizar Fadli, dua sahabat yang rela hati menjadi pembaca awal, mempertanyakan, mengkritisi maupun mengoreksi naskah-naskah dalam buku ini. Saya mesti minta maaf karena sering kali keras kepala menanggapi kritikan.

Terimakasih pada Ari Pahala Hutabarat dan Yanusa Nugroho, yang senantiasa menjadi penyemangat dalam perjalanan kepenulisan. Walau saya tidak membangun komunikasi intensif, sepercik-sepercik kalimat berkali-kali menjadi kobaran spirit. 

Saya mencatat nama-nama yang terlibat secara langsung dalam buku ini. Devin Nodestyo yang sabar mendengarkan dan membuat desain buku melampaui imajinasi saya. Kiki Rahmatika yang menyediakan foto diri saat menari The Dark Side dipakai sebagai bahan sampul. Ahmad Oddy Widyantoro, sang fotografer. Umirah Ramata yang membantu proses penerbitan. Teman-teman Komunitas Kampoeng Jerami dan Komunitas Berkat Yakin.

Istimewa untuk para lelakiku : Hendro, Albert dan Bernard. Terimakasih atas segala cinta dan pengertian.

Saya menjadi berkobar-kobar karena keterlibatan semua orang-orang yang sudah saya sebutkan namanya maupun yang lainnya. Berikut ini adalah tulisan pendek Yanusa Nugroho yang dikirimkan ke saya seusai membaca kumpulan cerpen itu : 

Sekumpulan cerita yang ada di buku ini memberikan 'percikan' kehidupan yang sederhana namun jujur menghadapi keseharian. Tujuh belas cerpen yang ada di buku ini, tidak bermuluk-muluk dalam filsafat atau 'isme' tertentu, yang membuat kita mengernyitkan dahi; tidak. Semuanya memang berkisah tentang keseharian. Secara keseluruhan, saya seperti diingatkan akan sebuah 'lirik lagu' yang diciptakan oleh seniman Slamet Gundono (almarhum). Dia pernah menciptakan lagu--dalam bahasa Jawa, tentu saja, berjudul 'Julung Sungsang', nah, di lagu itulah ada kalimat-kalimat yang nuansanya menggiring saya pada sekumpulan cerita ini. “…wukune, wuku Julung Sungsang, ..ana simbok dodolan rugi nang pasar../ wukune-wuku Julung Sungsang, ana kebo lumpuh nang dalan../wukune wuku Julung Sungsang, ana bocah cilik mati nang dalan...” Ada suasana duka, pedih, namun sekaligus disadari bahwa itulah situasi yang tak mungkin kita hindari, yang terbaca di dalam ke-17 cerita ini. Inilah 'dongeng' kita hari ini.” Terimakasih Pak Yanusa.

Setelah ini, hidup terus mengalir membentuk kisah-kisah yang lain.

Yuli Nugrahani