Mengimajinasikan
Yang Lain
Oleh Jamal D. Rahman
Membaca
buku puisi ini pertama-tama perhatian kita akan tertarik pada diksi yang
lain. Bukan saja karena frase yang lain merupakan judul buku (dan
itu saja sudah membetot perhatian kita), melainkan juga merupakan bagian judul
seluruh puisi. Dapat dipastikan bahwa frase yang lain akan muncul
berulangkali dalam seluruh puisi. Di satu sisi, hal itu menunjukkan bahwa diksi
yang lain dalam buku puisi Fendi Kachonk ini memiliki arti penting. Di
lain sisi, ia menunjukkan intensitas usaha sang penyair dalam memaknai,
menggali, mengimajinasikan, dan memperluas cakupan makna yang lain untuk
puisi-puisinya.
Dilihat
dari perjalanan kepenyairan Fendi Kachonk, ini merupakan perkembangan lebih
lanjut dari apa yang telah dia mulai sebelumnya. Dalam buku puisinya Surat
dari Timur (2016), dia sudah beberapa kali menggunakan diksi yang lain. Dalam
puisi “Seseorang yang Lain”, misalnya, penyair memainkan asosiasi yang
lain antara keterasingan dan kesunyian di satu sisi, antara kedangkalan dan
harapan baru yang buram di lain sisi.
Fendi menulis:
…
Seseorang yang lain, mengirimkan
pesan lewat tubuh yang lain
menjadi petapa asing di
kamar-kamar yang menyekap sunyi
tak bisa berlari dari bayang yang
lain karena tubuh
tempat orang melakoni kenyataan
sebagai sebuah hiburan
dari tubuh-tubuh yang siap menjadi
yang lain, meski dirinya
tak paham ke mana arah perubahan,
orang yang dilainkan.
Dalam puisinya yang lain, “Tangkai Kabut”, Fendi menggunakan diksi yang lain secara
lebih reflektif. Di situ, beberapa imaji tampak muram bahkan pedih, namun di
balik itu tampak suatu harapan. Paradoks ini seakan suatu keniscayaan, dimana
rasa sakit mesti dijalani sebagai suatu ritus menuju harapan yang menjanjikan
kenikmatan: tubuhku dikeruk demi kelahiran/ yang lain. Ibarat jagung, ia
harus merasakan sakitnya direbus atau digoreng, demi memberikan gizi
dan kenikmatan —sebagai kelahiran baru— bagi penyantapnya. Dalam puisi ini,
larik-larik Fendi terasa efektif lagi sugestif:
….
Di liku-liku jalan
yang tak menyemai kata-kata
seperti pasir,
tubuhku dikeruk demi kelahiran
yang lain
….
Usaha
Fendi Kachonk menggali makna dan mengimajinasikan yang lain tampak lebih
intens dalam buku puisi keempatnya ini. Intensitas usahanya dapat dilihat
antara lain dari kuantitas penggunaan frase yang lain dalam
puisi-puisinya. Buku ini memuat 50 puisi, yang masing-masing judulnya
menggunakan frase yang lain. Jadi, frase yang lain muncul
sebanyak 50 kali dalam judul puisi. Sementara itu, dalam tubuh seluruh puisi,
frase yang lain muncul sebanyak 40 kali. Maka, dalam seluruh puisi dalam
buku ini, frase yang lain muncul sebanyak 90 kali. Berkaitan dengan
jumlah penggunaan frase yang lain dalam seluruh puisi, ada empat angka
yang penting: 50, 40, dan 90.
Dilihat
dari numerologi, angka 50, 40, dan 90 memiliki daya tarik tersendiri,
sebagaimana angka-angka itu memiliki daya tarik —bahkan memiliki arti penting—
dalam berbagai tradisi dan budaya, dari zaman dahulu sampai sekarang, dari
tradisi Yunani sampai tradisi Indonesia, dari agama Yahudi sampai agama Islam.
Dalam Islam, bilangan-bilangan tersebut tentu saja mengandung dimensi relijius.
Angka-angka itu akan menarik jika dilihat terutama sebagai kelipatan: angka 50
merupakan kelipatan sepuluh dari angka 5; angka 40 merupakan kelipatan sepuluh
dari angka 4; angka 90 merupakan kelipatan sepuluh dari angka 9. Dengan
demikian, angka 50, 40, dan 90 masing-masing merupakan kelipatan sepuluh dari
angka 5, 4, dan 9.
Angka 5, 4, dan 9 digunakan dalam
berbagai konteks dan keperluan, yang tentu saja mengandung arti pentingnya
masing-masing dalam berbagai tradisi dan kebudayaan. Angka 5 berkaitan dengan
hal-hal yang sangat fundamental dan tentu saja berkaitan langsung dengan
kehidupan manusia. Lihat, misalnya:
pancaindera adalah 5 indera manusia; tangan dan kaki manusia masing-masing
memiliki 5 jari; Pancasila mengandung 5 sila; ada 5 rukun Islam; ada 5 shalat
wajib, dll. Dapat dikatakan bahwa angka 5 merupakan bilangan yang sentral dalam
kehidupan manusia.
Sementara itu, angka 4
pertama-tama dapat dipandang sebagai bilangan ganda dari anggota tubuh manusia
yang berpasangan (mata, telinga, tangan, dan kaki). Tapi yang lebih penting, ia
berkaitan dengan hal-hal di luar diri manusia namun menentukan pola hidup
manusia itu sendiri, bahkan secara langsung. Manusia selalu berada dalam 4
penjuru mata angin. Manusia berada di tengah alam yang mengandung 4 sifat,
yaitu panas, dingin, kering, dan lembab. Sementara itu, Al-Qur’an (At-Tawbah/9:
36) menyebut ada 4 bulan suci (arba`atun hurum), yaitu Dzul
Qa`dah, Dzul Hijjah, Muharrom, dan Rajab (menarik dicatat bahwa meskipun
Ramadan merupakan bulan yang paling istimewa dalam Islam, Al-Qur’an tidak
menyebutnya sebagai bulan suci). Bilangan 4 yang dalam Al-Qur’an mengandung
dimensi rohani itu diterjemahkan ke dalam sistem kerohanian Islam: ada 4
tahapan perjalanan rohani: syariat, tarekat, hakekat, dan ma’rifat;
diterjemahkan pula ke dalam sistem metafisika Islam: ada 4 alam, yaitu nasût
(alam manusia), malakût (alam malaikat), jabarût (alam
kekuasaan Tuhan), dan lahût (alam ketuhanan).
Adapun angka 9 merupakan bilangan
tertinggi. Dalam tradisi relijius Islam, angka 9 pertama-tama dikaitkan dengan
Tuhan sebagai ekspresi dimensi tertinggi dan sempurna Tuhan itu sendiri.
Demikianlah maka 99 asmaul husna merupakan kelipatan 11 dari bilangan 9. Dalam
konteks itu, angka 9 bukannya digandakan dalam kelipatan sepuluh, melainkan
dengan angka 1 (yaitu 11) sebagai angka yang paling dekat dengan bilangan Tuhan
yang Mahaesa. Namun dalam hubungannya dengan manusia, meskipun merupakan
bilangan tertinggi, bilangan 9 tidak berarti sempurna, melainkan nyaris
sempurna. Angka 9 melambangkan kedekatan pada kesempurnaan.
Dalam hubungannya dengan manusia,
bilangan lengkap dan sempurna adalah angka 10. Nilai sempurna satu mata
pelajaran di dunia pendidikan, misalnya, adalah 10 (atau kelipatan sepuluhnya,
100). Itulah sebabnya, kelipatan sepuluh sangat sering digunakan, sebagaimana
dapat kita lihat antara lain dalam penggunakan diksi yang lain dalam
buku ini. Angka 10 atau kelipatannya mengekspresikan cita, harapan, dan doa
akan kelengkapan dan kesempurnaan. Demikianlah maka kelipatan sepuluh dipandang
mengandung makna tertentu yang berkaitan dengan kesempurnaan. Tidak
mengherankan kalau Nabi Muhammad SAW menerima wahyu dalam usia 40 tahun,
kelipatan sepuluh dari angka 4. Dalam usia 40, Nabi Muhammad memiliki
kelengkapan, kematangan, dan kesiapan rohani untuk menerima wahyu.
Jumlah penggunaan diksi yang
lain dalam semua puisi dalam buku ini, yang seluruhnya berjumlah 90, boleh
ditambah lagi dengan jumlah penggunaan diksi yang lain dalam daftar isi
yang sebanyak 50. Maka jumlah total penggunaan diksi yang lain mulai
daftar isi sampai seluruh puisi adalah sebanyak 140. Ini punya daya tarik
tersendiri lagi. Angka 140 merupakan kelipatan dua puluh dari angka 7. Dalam berbagai
tradisi dan kosmologi, termasuk kosmologi relijius, angka 7 sangat sering
digunakan: ada bintang 7; ada minuman 7 Up; ada 7 hari; ada 7 lapis langit;
surat Al-Fatihah (surat pertama dalam Al-Qur’an) terdiri dari 7 ayat, yang
sering disebut sebagai 7 ayat yang paling sering dibaca (as-sab`u ‘l-matsânî);
thawaf mengelilingi ka’bah sebanyak 7 putaran; sa’i antara shafa dan marwa
sebanyak 7 kali; melempar jumroh sebanyak 7 kali lemparan, dll.
Dalam konteks puisi Fendi Kachonk,
disadari atau tidak oleh sang penyair, angka-angka penggunaan frase yang
lain dalam puisi-puisinya bukan saja menunjukkan intensitas usahanya dalam
memaknai dan mengimajinasikan yang lain. Lebih dari itu, ia
merefleksikan suatu spirit dan makna yang tertanam dalam-dalam di bawah kesadaran
struktur tradisi dan kebudayaan. Dikatakan dengan cara lain, lebih dari sekadar
mengekspresikan kesungguhan penyair dalam mengimajinasikan yang lain,
penggunaan frase yang lain dalam angka-angka tertentu sesungguhnya
mengandung makna tertentu pula. Memang, angka-angka itu lebih merupakan
kebetulan. Barangkali hanya angka 50 (puisi) yang
secara sadar dipilih penyair. Tapi
meskipun suatu kebetulan, bagaimanapun angka-angka itu bermakna dalam konteks
tradisi dan kebudayaan.
Dapat
diduga bahwa angka 50 (puisi) merupakan angka yang paling berarti bagi penyair,
khususnya dalam konteks isu (diksi) utama yang diusung buku puisi ini. Mungkin
saja penyair memilih bilangan 50 (puisi) hanya sebagai kelaziman atau angka
minimal jumlah puisi yang layak untuk sebuah buku kumpulan puisi. Bukan atas
dasar pertimbangan yang serius dan dalam. Tapi bagaimanapun, jauh di balik
angka tersebut terkandung suatu arti yang, langsung atau tidak, memberikan
suatu tenaga pada isu utama yang diusung buku puisi itu sendiri. Jika sebuah
isu dibicarakan, diekspresikan, dan diartikulasikan dalam 50 puisi, maka betapa
pentingnya isu tersebut sebagai renungan seorang penyair, terutama di mata
penyair sendiri.
Demikianlah
maka penggunaan diksi yang lain dalam kelipatan sepuluh adalah harapan
akan kesempurnaan, meskipun tentu disadari bahwa hal tersebut tak akan dicapai.
Sejurus dengan itu, bilangan 50 menyiratkan hal-hal yang sangat mendasar dan
fundamental sebagai persiapan atau prasyarat bagi kematangan yang
diartikulasikan dalam bilangan 40, guna mencapai angka tertinggi yang mendekati
kesempurnaan dalam bilangan 90. Ditambah lagi dengan bilangan 140 yang
merupakan kelipatan duapuluh dari angka 7, maka seluruh bilangan ini secara
tidak langsung mengekspresikan harapan dan usaha maksimal penyair dalam
mengimajinasikan yang lain.
Arti penting diksi yang lain dalam
puisi Fendi akan sangat terasa jika ia diletakkan dalam konteks pengkhususan
arti yang lain dalam wacana intelektual kita. Khususnya dalam wacana
politik identitas dan multikulturalisme, arti yang lain (the other)
disempitkan sedemikian rupa hingga hampir-hampir bermakna tunggal. Ia mengacu
pada orang, komunitas, tradisi, dan budaya yang dialienasi secara kultural dan
sosial. Yang lain didefinisikan sebagai sesuatu yang cenderung ditampik,
ditolak, dan tak dikehendaki baik secara sosial, budaya, maupun politik.
Maka dalam relasi sosial-budaya, yang
lain dipandang berada dalam posisi tidak beruntung bahkan dirugikan,
apalagi posisi-tawar mereka lemah dalam berbagai relasi-kuasa yang tidak
setara. Mereka bahkan cenderung didiskriminasi baik secara samar maupun
terang-terangan, baik secara halus maupun keras. Yang lain adalah
sesuatu yang tak dikehendaki. Dalam arti itu, frase yang lain seakan
terkerangkeng dalam konotasi-konotasi sosial-budaya yang kalah dan
terpinggirkan —yang karenanya tentu harus dibela— dalam berbagai relasi sosial,
budaya, dan politik.
Dalam konteks itu, puisi Fendi
Kachonk terasa membebaskan frase yang lain dari kerangkeng
konotasi-konotasi sosial, budaya, dan politik. Yakni dari kecenderungan
penyempitan artinya terutama dalam wacana intelektual politik identitas.
Puisi-puisinya mengekspresikan suatau gagasan bahwa yang lain mengandung
nuansa yang cukup kaya bahkan melimpah. Jika dalam wacana politik identitas,
asosiasi diksi yang lain
cenderung dipersempit dan
dibatasi, dalam puisi-puisi Fendi asosiasi diksi yang lain justru
diperluas sebagai bentangan yang tak berbatas. Demikianlah maka puisi-puisi
Fendi Kachonk adalah usaha menggali berbagai segi, nuansa, dan asosiasi frase yang
lain, sekaligus menampik kecenderungan penyempitan maknanya. Dengan
50 puisi banyaknya, usaha itu tentu cukup intens.
Puisi-puisi Fendi memperlihatkan
bahwa ada kalanya yang lain memang tak diinginkan, namun ada kalanya
pula yang lain justru diinginkan. Ada kalanya yang lain hanyalah
sesuatu yang berbeda dari apa yang ada atau pernah dialami —tanpa konotasi
merendahkan satu atas yang lain. Ada kalanya pula yang lain adalah
perasaan teralienasi atau terasing dari keadaan atau suasana tertentu.
Nuansa-nuansa itu kadang terasa jelas, namun kadang terasa samar-samar sebagai
denyaran-denyaran perasaan yang sugestif. Kadang terasa sendu bahkan pedih,
namun kadang terasa riang misalnya oleh keadaan yang menjanjikan harapan.
Jadinya,
puisi Fendi seakan bermain-main dengan diksi yang lain, kadang dengan
lincah, kadang dengan gugup. Bermain-main dengan diksi yang lain tentu
saja merupakan strategi untuk menggali berbagai segi, nuansa, dan konotasi yang
lain itu sendiri. Demikianlah maka
dalam bermain-main dengan diksi yang lain, puisi “Pagi yang Lain”
misalnya sampai pada asosiasi atau makna ganda yang kontradiktif. Kita baca
salah satu bait puisi tersebut:
Ini kali kesekian
menemukan pagi yang lain
di dinding menangkup dingin
merangkum derita dunia;
berbagi cara menelan air mata.
berbagi cara menelan air mata.
Bait
puisi di atas mengemukakan imaji yang muram dan sedih, suatu suasana pagi
ketika di dinding menangkup dingin/ merangkum derita dunia;/ berbagi cara menelan air mata.Di situ, Fendi bermain-main dengan diksi pagi yang lain, yang
dengan cara sedemikian rupa mengandung asosiasi ganda, ambigu, bahkan
bertentangan.
Pertama, pagi yang lain berarti pagi yang muram namun berbeda
dengan (dan bukan) pagi-pagi yang muram sebelumnya. Pagi kemaren atau
kemarennya lagi adalah pagi yang muram, dan pagi yang ditemukan kali ini adalah
pagi muram yang lain. Ada banyak pagi yang muram, namun yang ditemukan kali ini
adalah pagi muram yang lain, bukan pagi yang muram kemaren atau kemarennya
lagi. Di sini, asosiasi yang mucul adalah sejumlah pagi yang muram.
Kedua, pagi yang ditemukan adalah pagi yang berbeda dari pagi-pagi
sebelumnya. Jika pagi yang ditemukan itu adalah pagi yang muram, maka tentulah
pagi-pagi sebelumnya tidaklah muram. Karena pagi yang muram disebut pagi yang
lain, maka beberapa pagi sebelumnya tentulah pagi yang tidak muram, bahkan
mungkin pagi yang ceria. Ada banyak pagi, namun hanya pagi yang ditemukan kali
ini yang muram. Di sini, asosiasi yang muncul adalah sejumlah pagi yang tidak
muram, bahkan mungkin pagi yang ceria.
Sementara itu, dalam puisi “Semusim yang Lain”, permainan
diksi yang lain mengandung pergeseran makna dan asosiasi. Kita
baca petikan puisi tersebut:
….
Senyum embun itu aku lukis di jari manis saat musim-musim yang
lain menjadi kisah yang menyebalkan dan memilukan. Tapi masih teringat: malam
adalah pantai dan aroma pasir-pasir menerpa bayang bulan dengan malu-malu seolah
berkata: berputar seperti gasing dan baling-baling diterpa udara,
diayun-ayunkan oleh nasib. Tapi sepetak risalah perjalanan mestinya juga belum
menemui gang buntu. Pun bila redup, ibarat lilin dan lentera, aku menjadi sumbu
yang lain, jadi bara, jadi segala yang bisa membunuh ketakutan.
“Semusim,
berganti-ganti: laut yang tenang, gelombang yang pasang-surut, gerimis yang
liris. Aku melalui beberapa waktu: mendekap kemarau berpayung dingin dan
berselimut hujan. Di sini belum ada sirene kapal untuk memulangkan harapan.
Harus bergegas menuju barak kehidupan yang lain, meski akan sama akhir
ceritanya: ada sedih, ada duka, ada pelukan dan kecupan kematian.”
Perhatikan tiga kalimat (dalam puisi di atas), dimana
Fendi bermain-main dengan diksi yang lain, sebagai berikut:
(1) musim-musim yang lain menjadi kisah yang
menyebalkan dan memilukan.
(2) Pun bila redup, ibarat lilin dan lentera, aku menjadi sumbu yang
lain, jadi bara, jadi segala yang bisa membunuh ketakutan.
(3) Harus bergegas menuju barak kehidupan yang lain, meski akan sama
akhir ceritanya: ada sedih, ada duka, ada pelukan dan kecupan kematian.
Dalam tiga
kalimat tersebut, diksi yang lain digunakan dalam suatu permainan yang
mengandung konsekuensi pergeseran makna dan asosiasi. Musim yang lain
menjadi kisah yang menyebalkan tentu mengandung makna dan konotasi musim
yang tak diinginkan. Aku menjadi sumbu yang lain, jadi bara, jadi segala
yang bisa membunuh ketakutan mengandung makna dan konotasi sesuatu yang
diinginkan. Bergegas menuju barak kehidupan yang lain mengandung makna
dan konotasi sesuatu yang diinginkan. Dengan demikian, dalam permainan diksi yang
lain dalam puisi tersebut, terjadi pergeseran makna dan asosiasi, yaitu dari yang lain sebagai yang tak
diinginkan, ke yang lain sebagai yang diinginkan, lalu
bergeser lagi ke yang lain sebagai harapan (yang tentu
diinginkan).
Demikianlah membaca buku ini kita dapat menikmati hasil kerja
seorang penyair bermain-main dengan suatu diksi dalam puisi-puisinya, sebagai
strategi untuk menggali segi-segi tak terduga dari diksi itu sendiri. Tentu
juga sebagai renungan dari kerja kepenyairannya. Salam.
Kinabalu,
4 April 2017