Kamis, 25 Mei 2017

Buku Puisi Halaman yang Lain Fendi Kachonk

 Mengimajinasikan Yang Lain

Oleh Jamal D. Rahman


                Membaca buku puisi ini pertama-tama perhatian kita akan tertarik pada diksi yang lain. Bukan saja karena frase yang lain merupakan judul buku (dan itu saja sudah membetot perhatian kita), melainkan juga merupakan bagian judul seluruh puisi. Dapat dipastikan bahwa frase yang lain akan muncul berulangkali dalam seluruh puisi. Di satu sisi, hal itu menunjukkan bahwa diksi yang lain dalam buku puisi Fendi Kachonk ini memiliki arti penting. Di lain sisi, ia menunjukkan intensitas usaha sang penyair dalam memaknai, menggali, mengimajinasikan, dan memperluas cakupan makna yang lain untuk puisi-puisinya.
                Dilihat dari perjalanan kepenyairan Fendi Kachonk, ini merupakan perkembangan lebih lanjut dari apa yang telah dia mulai sebelumnya. Dalam buku puisinya Surat dari Timur (2016), dia sudah beberapa kali menggunakan diksi yang lain. Dalam puisi “Seseorang yang Lain”, misalnya, penyair memainkan asosiasi yang lain antara keterasingan dan kesunyian di satu sisi, antara kedangkalan dan harapan baru yang buram di lain sisi.

 Fendi menulis:
Seseorang yang lain, mengirimkan pesan lewat tubuh yang lain
menjadi petapa asing di kamar-kamar yang menyekap sunyi
tak bisa berlari dari bayang yang lain karena tubuh
tempat orang melakoni kenyataan sebagai sebuah hiburan
dari tubuh-tubuh yang siap menjadi yang lain, meski dirinya
tak paham ke mana arah perubahan, orang yang dilainkan.

Dalam puisinya yang lain, “Tangkai Kabut”, Fendi menggunakan diksi yang lain secara lebih reflektif. Di situ, beberapa imaji tampak muram bahkan pedih, namun di balik itu tampak suatu harapan. Paradoks ini seakan suatu keniscayaan, dimana rasa sakit mesti dijalani sebagai suatu ritus menuju harapan yang menjanjikan kenikmatan: tubuhku dikeruk demi kelahiran/ yang lain. Ibarat jagung, ia harus merasakan sakitnya direbus atau digoreng, demi memberikan gizi dan kenikmatan —sebagai kelahiran baru— bagi penyantapnya. Dalam puisi ini, larik-larik Fendi terasa efektif lagi sugestif:

….
Di liku-liku jalan
yang tak menyemai kata-kata
seperti pasir,
tubuhku dikeruk demi kelahiran
yang lain
…. 

Angka dan Bilangan
                Usaha Fendi Kachonk menggali makna dan mengimajinasikan yang lain tampak lebih intens dalam buku puisi keempatnya ini. Intensitas usahanya dapat dilihat antara lain dari kuantitas penggunaan frase yang lain dalam puisi-puisinya. Buku ini memuat 50 puisi, yang masing-masing judulnya menggunakan frase yang lain. Jadi, frase yang lain muncul sebanyak 50 kali dalam judul puisi. Sementara itu, dalam tubuh seluruh puisi, frase yang lain muncul sebanyak 40 kali. Maka, dalam seluruh puisi dalam buku ini, frase yang lain muncul sebanyak 90 kali. Berkaitan dengan jumlah penggunaan frase yang lain dalam seluruh puisi, ada empat angka yang penting: 50, 40, dan 90.
            Dilihat dari numerologi, angka 50, 40, dan 90 memiliki daya tarik tersendiri, sebagaimana angka-angka itu memiliki daya tarik —bahkan memiliki arti penting— dalam berbagai tradisi dan budaya, dari zaman dahulu sampai sekarang, dari tradisi Yunani sampai tradisi Indonesia, dari agama Yahudi sampai agama Islam. Dalam Islam, bilangan-bilangan tersebut tentu saja mengandung dimensi relijius. Angka-angka itu akan menarik jika dilihat terutama sebagai kelipatan: angka 50 merupakan kelipatan sepuluh dari angka 5; angka 40 merupakan kelipatan sepuluh dari angka 4; angka 90 merupakan kelipatan sepuluh dari angka 9. Dengan demikian, angka 50, 40, dan 90 masing-masing merupakan kelipatan sepuluh dari angka 5, 4, dan 9.
Angka 5, 4, dan 9 digunakan dalam berbagai konteks dan keperluan, yang tentu saja mengandung arti pentingnya masing-masing dalam berbagai tradisi dan kebudayaan. Angka 5 berkaitan dengan hal-hal yang sangat fundamental dan tentu saja berkaitan langsung dengan kehidupan manusia. Lihat, misalnya:  pancaindera adalah 5 indera manusia; tangan dan kaki manusia masing-masing memiliki 5 jari; Pancasila mengandung 5 sila; ada 5 rukun Islam; ada 5 shalat wajib, dll. Dapat dikatakan bahwa angka 5 merupakan bilangan yang sentral dalam kehidupan manusia.
Sementara itu, angka 4 pertama-tama dapat dipandang sebagai bilangan ganda dari anggota tubuh manusia yang berpasangan (mata, telinga, tangan, dan kaki). Tapi yang lebih penting, ia berkaitan dengan hal-hal di luar diri manusia namun menentukan pola hidup manusia itu sendiri, bahkan secara langsung. Manusia selalu berada dalam 4 penjuru mata angin. Manusia berada di tengah alam yang mengandung 4 sifat, yaitu panas, dingin, kering, dan lembab. Sementara itu, Al-Qur’an (At-Tawbah/9: 36) menyebut ada 4 bulan suci (arba`atun hurum), yaitu Dzul Qa`dah, Dzul Hijjah, Muharrom, dan Rajab (menarik dicatat bahwa meskipun Ramadan merupakan bulan yang paling istimewa dalam Islam, Al-Qur’an tidak menyebutnya sebagai bulan suci). Bilangan 4 yang dalam Al-Qur’an mengandung dimensi rohani itu diterjemahkan ke dalam sistem kerohanian Islam: ada 4 tahapan perjalanan rohani: syariat, tarekat, hakekat, dan ma’rifat; diterjemahkan pula ke dalam sistem metafisika Islam: ada 4 alam, yaitu nasût (alam manusia), malakût (alam malaikat), jabarût (alam kekuasaan Tuhan), dan lahût (alam ketuhanan).
Adapun angka 9 merupakan bilangan tertinggi. Dalam tradisi relijius Islam, angka 9 pertama-tama dikaitkan dengan Tuhan sebagai ekspresi dimensi tertinggi dan sempurna Tuhan itu sendiri. Demikianlah maka 99 asmaul husna merupakan kelipatan 11 dari bilangan 9. Dalam konteks itu, angka 9 bukannya digandakan dalam kelipatan sepuluh, melainkan dengan angka 1 (yaitu 11) sebagai angka yang paling dekat dengan bilangan Tuhan yang Mahaesa. Namun dalam hubungannya dengan manusia, meskipun merupakan bilangan tertinggi, bilangan 9 tidak berarti sempurna, melainkan nyaris sempurna. Angka 9 melambangkan kedekatan pada kesempurnaan.
Dalam hubungannya dengan manusia, bilangan lengkap dan sempurna adalah angka 10. Nilai sempurna satu mata pelajaran di dunia pendidikan, misalnya, adalah 10 (atau kelipatan sepuluhnya, 100). Itulah sebabnya, kelipatan sepuluh sangat sering digunakan, sebagaimana dapat kita lihat antara lain dalam penggunakan diksi yang lain dalam buku ini. Angka 10 atau kelipatannya mengekspresikan cita, harapan, dan doa akan kelengkapan dan kesempurnaan. Demikianlah maka kelipatan sepuluh dipandang mengandung makna tertentu yang berkaitan dengan kesempurnaan. Tidak mengherankan kalau Nabi Muhammad SAW menerima wahyu dalam usia 40 tahun, kelipatan sepuluh dari angka 4. Dalam usia 40, Nabi Muhammad memiliki kelengkapan, kematangan, dan kesiapan rohani untuk menerima wahyu.
Jumlah penggunaan diksi yang lain dalam semua puisi dalam buku ini, yang seluruhnya berjumlah 90, boleh ditambah lagi dengan jumlah penggunaan diksi yang lain dalam daftar isi yang sebanyak 50. Maka jumlah total penggunaan diksi yang lain mulai daftar isi sampai seluruh puisi adalah sebanyak 140. Ini punya daya tarik tersendiri lagi. Angka 140 merupakan kelipatan dua puluh dari angka 7. Dalam berbagai tradisi dan kosmologi, termasuk kosmologi relijius, angka 7 sangat sering digunakan: ada bintang 7; ada minuman 7 Up; ada 7 hari; ada 7 lapis langit; surat Al-Fatihah (surat pertama dalam Al-Qur’an) terdiri dari 7 ayat, yang sering disebut sebagai 7 ayat yang paling sering dibaca (as-sab`u ‘l-matsânî); thawaf mengelilingi ka’bah sebanyak 7 putaran; sa’i antara shafa dan marwa sebanyak 7 kali; melempar jumroh sebanyak 7 kali lemparan, dll.
Dalam konteks puisi Fendi Kachonk, disadari atau tidak oleh sang penyair, angka-angka penggunaan frase yang lain dalam puisi-puisinya bukan saja menunjukkan intensitas usahanya dalam memaknai dan mengimajinasikan yang lain. Lebih dari itu, ia merefleksikan suatu spirit dan makna yang tertanam dalam-dalam di bawah kesadaran struktur tradisi dan kebudayaan. Dikatakan dengan cara lain, lebih dari sekadar mengekspresikan kesungguhan penyair dalam mengimajinasikan yang lain, penggunaan frase yang lain dalam angka-angka tertentu sesungguhnya mengandung makna tertentu pula. Memang, angka-angka itu lebih merupakan kebetulan. Barangkali hanya angka 50 (puisi) yang
secara sadar dipilih penyair. Tapi meskipun suatu kebetulan, bagaimanapun angka-angka itu bermakna dalam konteks tradisi dan kebudayaan.
            Dapat diduga bahwa angka 50 (puisi) merupakan angka yang paling berarti bagi penyair, khususnya dalam konteks isu (diksi) utama yang diusung buku puisi ini. Mungkin saja penyair memilih bilangan 50 (puisi) hanya sebagai kelaziman atau angka minimal jumlah puisi yang layak untuk sebuah buku kumpulan puisi. Bukan atas dasar pertimbangan yang serius dan dalam. Tapi bagaimanapun, jauh di balik angka tersebut terkandung suatu arti yang, langsung atau tidak, memberikan suatu tenaga pada isu utama yang diusung buku puisi itu sendiri. Jika sebuah isu dibicarakan, diekspresikan, dan diartikulasikan dalam 50 puisi, maka betapa pentingnya isu tersebut sebagai renungan seorang penyair, terutama di mata penyair sendiri.
                Demikianlah maka penggunaan diksi yang lain dalam kelipatan sepuluh adalah harapan akan kesempurnaan, meskipun tentu disadari bahwa hal tersebut tak akan dicapai. Sejurus dengan itu, bilangan 50 menyiratkan hal-hal yang sangat mendasar dan fundamental sebagai persiapan atau prasyarat bagi kematangan yang diartikulasikan dalam bilangan 40, guna mencapai angka tertinggi yang mendekati kesempurnaan dalam bilangan 90. Ditambah lagi dengan bilangan 140 yang merupakan kelipatan duapuluh dari angka 7, maka seluruh bilangan ini secara tidak langsung mengekspresikan harapan dan usaha maksimal penyair dalam mengimajinasikan yang lain.

Permainan Diksi
Arti penting diksi yang lain dalam puisi Fendi akan sangat terasa jika ia diletakkan dalam konteks pengkhususan arti yang lain dalam wacana intelektual kita. Khususnya dalam wacana politik identitas dan multikulturalisme, arti yang lain (the other) disempitkan sedemikian rupa hingga hampir-hampir bermakna tunggal. Ia mengacu pada orang, komunitas, tradisi, dan budaya yang dialienasi secara kultural dan sosial. Yang lain didefinisikan sebagai sesuatu yang cenderung ditampik, ditolak, dan tak dikehendaki baik secara sosial, budaya, maupun politik.
Maka dalam relasi sosial-budaya, yang lain dipandang berada dalam posisi tidak beruntung bahkan dirugikan, apalagi posisi-tawar mereka lemah dalam berbagai relasi-kuasa yang tidak setara. Mereka bahkan cenderung didiskriminasi baik secara samar maupun terang-terangan, baik secara halus maupun keras. Yang lain adalah sesuatu yang tak dikehendaki. Dalam arti itu, frase yang lain seakan terkerangkeng dalam konotasi-konotasi sosial-budaya yang kalah dan terpinggirkan —yang karenanya tentu harus dibela— dalam berbagai relasi sosial, budaya, dan politik.
Dalam konteks itu, puisi Fendi Kachonk terasa membebaskan frase yang lain dari kerangkeng konotasi-konotasi sosial, budaya, dan politik. Yakni dari kecenderungan penyempitan artinya terutama dalam wacana intelektual politik identitas. Puisi-puisinya mengekspresikan suatau gagasan bahwa yang lain mengandung nuansa yang cukup kaya bahkan melimpah. Jika dalam wacana politik identitas, asosiasi diksi yang lain
cenderung dipersempit dan dibatasi, dalam puisi-puisi Fendi asosiasi diksi yang lain justru diperluas sebagai bentangan yang tak berbatas. Demikianlah maka puisi-puisi Fendi Kachonk adalah usaha menggali berbagai segi, nuansa, dan asosiasi frase yang lain, sekaligus menampik kecenderungan penyempitan maknanya. Dengan 50 puisi banyaknya, usaha itu tentu cukup intens.
Puisi-puisi Fendi memperlihatkan bahwa ada kalanya yang lain memang tak diinginkan, namun ada kalanya pula yang lain justru diinginkan. Ada kalanya yang lain hanyalah sesuatu yang berbeda dari apa yang ada atau pernah dialami —tanpa konotasi merendahkan satu atas yang lain. Ada kalanya pula yang lain adalah perasaan teralienasi atau terasing dari keadaan atau suasana tertentu. Nuansa-nuansa itu kadang terasa jelas, namun kadang terasa samar-samar sebagai denyaran-denyaran perasaan yang sugestif. Kadang terasa sendu bahkan pedih, namun kadang terasa riang misalnya oleh keadaan yang menjanjikan harapan.
Jadinya, puisi Fendi seakan bermain-main dengan diksi yang lain, kadang dengan lincah, kadang dengan gugup. Bermain-main dengan diksi yang lain tentu saja merupakan strategi untuk menggali berbagai segi, nuansa, dan konotasi yang lain itu sendiri.  Demikianlah maka dalam bermain-main dengan diksi yang lain, puisi “Pagi yang Lain” misalnya sampai pada asosiasi atau makna ganda yang kontradiktif. Kita baca salah satu bait puisi tersebut:

Ini kali kesekian
menemukan pagi yang lain
di dinding menangkup dingin
merangkum derita dunia;
berbagi cara menelan air mata.

                Bait puisi di atas mengemukakan imaji yang muram dan sedih, suatu suasana pagi ketika di dinding menangkup dingin/ merangkum derita dunia;/ berbagi cara menelan air mata.Di situ, Fendi bermain-main dengan diksi pagi yang lain, yang dengan cara sedemikian rupa mengandung asosiasi ganda, ambigu, bahkan bertentangan.
Pertama, pagi yang lain berarti pagi yang muram namun berbeda dengan (dan bukan) pagi-pagi yang muram sebelumnya. Pagi kemaren atau kemarennya lagi adalah pagi yang muram, dan pagi yang ditemukan kali ini adalah pagi muram yang lain. Ada banyak pagi yang muram, namun yang ditemukan kali ini adalah pagi muram yang lain, bukan pagi yang muram kemaren atau kemarennya lagi. Di sini, asosiasi yang mucul adalah sejumlah pagi yang muram. 
Kedua, pagi yang ditemukan adalah pagi yang berbeda dari pagi-pagi sebelumnya. Jika pagi yang ditemukan itu adalah pagi yang muram, maka tentulah pagi-pagi sebelumnya tidaklah muram. Karena pagi yang muram disebut pagi yang lain, maka beberapa pagi sebelumnya tentulah pagi yang tidak muram, bahkan mungkin pagi yang ceria. Ada banyak pagi, namun hanya pagi yang ditemukan kali ini yang muram. Di sini, asosiasi yang muncul adalah sejumlah pagi yang tidak muram, bahkan mungkin pagi yang ceria.
Sementara itu, dalam puisi “Semusim yang Lain”, permainan diksi yang lain mengandung pergeseran makna dan asosiasi. Kita baca petikan puisi tersebut:

….
Senyum embun itu aku lukis di jari manis saat musim-musim yang lain menjadi kisah yang menyebalkan dan memilukan. Tapi masih teringat: malam adalah pantai dan aroma pasir-pasir menerpa bayang bulan dengan malu-malu seolah berkata: berputar seperti gasing dan baling-baling diterpa udara, diayun-ayunkan oleh nasib. Tapi sepetak risalah perjalanan mestinya juga belum menemui gang buntu. Pun bila redup, ibarat lilin dan lentera, aku menjadi sumbu yang lain, jadi bara, jadi segala yang bisa membunuh ketakutan.

“Semusim, berganti-ganti: laut yang tenang, gelombang yang pasang-surut, gerimis yang liris. Aku melalui beberapa waktu: mendekap kemarau berpayung dingin dan berselimut hujan. Di sini belum ada sirene kapal untuk memulangkan harapan. Harus bergegas menuju barak kehidupan yang lain, meski akan sama akhir ceritanya: ada sedih, ada duka, ada pelukan dan kecupan kematian.”

                Perhatikan tiga kalimat (dalam puisi di atas), dimana Fendi bermain-main dengan diksi yang lain, sebagai berikut:
(1) musim-musim yang lain menjadi kisah yang menyebalkan dan memilukan.
(2) Pun bila redup, ibarat lilin dan lentera, aku menjadi sumbu yang lain, jadi bara, jadi segala yang bisa membunuh ketakutan.
(3) Harus bergegas menuju barak kehidupan yang lain, meski akan sama akhir ceritanya: ada sedih, ada duka, ada pelukan dan kecupan kematian.
Dalam tiga kalimat tersebut, diksi yang lain digunakan dalam suatu permainan yang mengandung konsekuensi pergeseran makna dan asosiasi. Musim yang lain menjadi kisah yang menyebalkan tentu mengandung makna dan konotasi musim yang tak diinginkan. Aku menjadi sumbu yang lain, jadi bara, jadi segala yang bisa membunuh ketakutan mengandung makna dan konotasi sesuatu yang diinginkan. Bergegas menuju barak kehidupan yang lain mengandung makna dan konotasi sesuatu yang diinginkan. Dengan demikian, dalam permainan diksi yang lain dalam puisi tersebut, terjadi pergeseran makna dan asosiasi, yaitu dari yang lain sebagai yang tak diinginkan, ke yang lain sebagai yang diinginkan, lalu bergeser lagi ke yang lain sebagai harapan (yang tentu diinginkan).
Demikianlah membaca buku ini kita dapat menikmati hasil kerja seorang penyair bermain-main dengan suatu diksi dalam puisi-puisinya, sebagai strategi untuk menggali segi-segi tak terduga dari diksi itu sendiri. Tentu juga sebagai renungan dari kerja kepenyairannya. Salam.

                                                                                                Kinabalu, 4 April 2017