Kamis, 10 Desember 2015

SATU TAHUN TITIK TEMU



Awalnya adalah impian, lalu kemudian bergulir dalam kebersamaan. Itulah gambaran TITIK TEMU, sebuah antologi puisi yang diterbitkan oleh Komunitas Kampoeng Jerami (KKJ) dalam rangka hari Hak Asasi Manusia (HAM) setahun lalu, 10 Desember 2014. Dalam setahun, buku yang dilibati oleh 60 penulis dari berbagai kalangan ini sudah berjalan ke banyak kota.

Diluncurkan di dunia maya persis pada perayaan HAM lalu bergulir secara nyata di berbagai tempat. Pertama di RRI Sumenep pada 4 Januari 2016, lalu berjalan ke Jakarta di Sastra Reboan 25 Pebruari 2016. Kesempatan berikutnya adalah Bandung bersama Majelis Sastra Bandung 22 Maret 2016, Bengkulu bersama Kedai Proses 17 April 2016, di Tangerang bersama 30 Mei 2016, dan di Malang bersama Komunitas Pelangi Sastra Malang 13 Juni 2016.

Selain itu, Titik Temu juga dibawa dalam beberapa diskusi, tulisan di beberapa media dan sebagainya. Seluruh perjalanan itu tak lepas dari dukungan banyak orang yang terlibat dalam sastra maupun dalam pergerakan HAM. Apakah setelah satu tahun diluncurkan buku puisi ini sudah memberikan manfaatnya? Yang bisa menjawab adalah orang-orang yang menulis, membaca dan melibatinya. 

Tapi tak bisa dipungkiri bahwa sebuah buku adalah alat yang nyaris abadi untuk menyuarakan pesan-pesan kemanusiaan.  Dan buku yang sudah dibawa dalam perbincangan-perbincangan akan lebih menyebarkan wawasan itu secara manusiawi.

Semesta sudah memberikan dukungan yang besar ini, terimakasih banyak pada para penulis, pembaca, komunitas yang terlibat, jaringan-jaringan yang sudah mendukung Titik Temu dan juga seluruh energi dari berbagai pihak. Ini akan jadi awal dan modal bagi perjalanan yang berikutnya bagi gerakan HAM dan juga secara khusus bagi Komunitas Kampoeng Jerami.

Minggu, 25 Oktober 2015

Menarik Kisah dari Tanah Silam Fendi Kachonk



 Ditulis oleh Yuli Nugrahani, Lampung.
................................................................




Judul buku      : Tanah Silam, kumpulan puisi.
Penulis            : Fendi Kachonk
Lukisan cover : Hidayat Raharja
Penerbit          : Komunitas Kampoeng Jerami
Cetakan I        : Agustus 2015


Saya termasuk beruntung karena membaca Tanah Silam lebih dini dibanding orang-orang lain yaitu saat buku ini masih berupa manuskrip. Mungkin bukan orang yang pertama membacanya karena sebagian dari puisi-puisi Fendi dalam buku ini sudah pernah dipublikasikannya di berbagai media, dan mengingat bahwa Fendi mempunyai banyak sahabat, pastilah dia pernah meminta seseorang atau beberapa orang untuk membacanya.

Tapi menjadi orang yang tak tertinggal tentu sangat menyenangkan. Awalnya, saya membacanya dengan mengalir seperti biasa, seperti kebiasaan saya saat membaca puisi-puisi. Lalu saya sadar bahwa puisi-puisi itu belum selesai proses editingnya. Jadi lebih baik saya diamkan saja puisi-puisi hingga nanti fix, saat dianggap sudah selesai sebagai puisi. “Editingmu belum selesai, Fendi. Nanti kubaca lagi kalau sudah beres.” Kataku pada penulisnya, setengah menuduh setengah berharap.

Walau saya masih sering memalukan diri sendiri dengan kesalahan-kesalahan ketik, kelalaian editing, tapi saya selalu sok jika sudah mencela-cela karya orang. “Huruf besar dan kecil yang salah lengkap, spasi yang kelewatan, huruf yang dua kali tertulis, istilah yang salah,... bla, bla, bla...” Selalu ada pemakluman pada kesalahan-kesalahan, tapi saat editing dilakukan, kita harus benar-benar yakin dengan pengetikan kita. Mesti cermat tiap huruf, kata, kalimat, bait dan seluruh bentuk puisi. Setiap huruf, tanda baca dan kata kita letakkan dalam puisi dengan tujuan tertentu. Maka hal itu mesti disadari oleh penulisnya.

Saat Fendi sang penulis mengatakan puisi-puisi itu sudah selesai beberapa waktu kemudian, dia mengirimkan ulang, dan saya mulai membacanya dengan sungguh-sungguh. Fendi menawarkan beberapa tema dalam Tanah Silam ini. Yang menarik, saya merasakan puisi-puisi ini terasa begitu personal walau untuk beberapa puisi jelas Fendi menariknya dalam ranah sosial. Atau mungkin bukan menariknya dalam ranah sosial, tapi muncul dari situasi sosial. Atau bisa jadi, ini adalah bahasa bagi seseorang, seorang Fendi tepatnya, yang hidup secara personal, namun tidak lepas dari panca indera yang mengarah pada situasi sosial.

Baiklah, ini penangkapan saya yang tidak bermaksud memberikan penilaian layaknya kritikus atau apresiator sastra. Tulisan ini semata hasrat yang harus dicatat usai membaca Tanah Silam dan mengabadikan sebagian kecil yang bisa saya tangkap dari buku ini.

***

Di bagian awal saya ingin mengambil satu puisi dalam buku ini, berjudul Layang-layang Kertas. Hmmm, judul yang bisa kita bayangkan secara visual walau layang-layang tidak selalu dari kertas. Dulu masa saya masih kecil ada layang-layang yang dibuat dari daun gadung kering yang disambung-sambung, sekarang pun ada layang-layang dari plastik. Fendi memilih layang-layang kertas, bukan daun dan plastik. Ditimpanya layang-layang kertas itu dengan sisa hujan. Air. Tidak terlalu banyak karena hanya sisanya saja. Dari penggambaran ini pembaca bisa melihat setting waktu di bagian ini.

Lalu, pagi membawaku ke sini seperti layang-layang kertas merasakan sisa hujan. Bersembunyi dari kejaran dingin. Dan ternyata tak ada yang berubah. Pintu keluar dan bercak kenangan yang juga belum semuanya dihisap waktu.

Biasanya anak-anak atau orang dewasa bermain layang-layang saat siang hingga senja. Kali ini ditambah dengan sisa hujan. Tentulah layang-layang kertas yang telah kedinginan merasakan sisa hujan tidak segagah saat dalam kondisi kering. Layang-layang yang basah akan bertambah beratnya dan pemain yang layang-layangnya telah basah tidak lagi bisa melakukan permainan sebaik saat layang-layang itu kering.

Tapi permainan yang terganggu karena layang-layang basah adalah sesuatu yang wajar, yang memang selalu mungkin terjadi pada situasi seperti itu. Kewajaran yang biasa. Tak berubah dari masa ke masa selama masih memainkan layang-layang kertas. Pun ketika tidak ada matahari, tak ada angin, permainan layang-layang dari bahan apapun tidak akan bisa dilakukan. Sama dengan ingatan pada peristiwa-peristiwa, kenangan-kenangan masih berbentuk. Layang-layang basah pun masih berbentuk layang-layang. Masih sama, bahkan bercak basah dari sisa hujan, malah memberikan lukisan-lukisan pada permukaan layang-layang yang semakin tebal berat. Tidak bisa dimainkan lagi, tapi masih dipegang, terasa lebih berat dari biasanya.

Sejenak, aku terdiam diguncang bimbang dan kecemasan belum lepas dari kantung mata. Tak ada jemputan serta kalungan bunga. Tapi, tiap kejadian masih nakal menahan langkahku.

Fendi si penulis berada dalam pusaran itu. Dia rupanya sedang dalam perjalanan. Bisa jadi dia sebenarnya berharap lebih tentang adanya jemputan dan kalungan bunga yang menyambutnya di perhentian itu. Tapi semua itu tak terjadi dan tentu kekecewaanlah yang muncul. Walau tidak ada kata kecewa dalam bait ini, kita bisa membayangkan bagaimana kejadian-kejadian mengganggunya dan sebentar menahan perjalanannya dalam diam, dalam kebimbangan, mungkin juga dalam kesedihan.

Di satu sudut pendengaran, lagu Ska mengalun riang, mengajakku untuk tersenyum. Dan, tiba-tiba kumiliki energi kecil untuk kembali diterbangkan dari kota ke kota. 

Panca indera. Panca indera itulah yang membantu penulis, Fendi, untuk kembali mendapatkan kekuatan. Panca indera adalah alat yang dilengkapkan pada tubuh manusia karena manusia bukan hanya personal. Setiap manusia itu sosial, maka dia mempunyai mulut untuk bicara (pada orang lain), hidung untuk mencium bau (dari luar tubuhnya), kulit untuk merasakan segala hal (sebagai situasi di luar tubuhnya), lidah untuk merasakan benda-benda (yang ada di sekitarnya) dan telinga untuk mendengar (suara-suara dari makluk-makluk lainnya). Si penulis mendengar musik yang riang. Dia mengambil dari sekitarnya energi itu. Lalu dia tersenyum membagikan energi itu pada yang melihat senyumnya. Dia seorang personal, namun dia juga seorang sosial. Dia yakin energi sekecil apapun yang sudah ditangkapnya itu dapat diterbangkan kembali dari kota ke kota.

Secara khusus saya mengingat buku Titik Temu, antologi yang kami garap untuk hari Hak Asasi Manusia (HAM) yang terbit Desember tahun 2014. Dalam perjalanannya, buku itu bisa dianggap energi kecil, yang terbang dari satu kota ke kota lain. Sumenep, Jakarta, Bandung, Bengkulu, Malang dan sebagainya. Sebenarnya tidak hanya di kota-kota itu, tapi terbang menjumpai pembaca-pembaca di kota-kota lain di seluruh Indonesia maupun luar Indonesia.

Saya membayangkan kerja panca indera si penulis, telinga mendengar musik Ska dan bibir tersenyum sebagai bahasa non verbal. Dua dari panca indera yang bekerja. Saya teringat hal itu semacam geliat buku Titik Temu itu. Energi kecil, tapi terus berlipat ganda saat diterbangkan dari kota ke kota. Saat menjumpai banyak orang. Saat dikenang diingat.

"Puluhan orang berbanjar menyiapkan foto kenangannya untuk dipajang di dinding sebagai sisa perjalanan. Aku juga. Sebelum taliku putus. Melayang lalu hilang."

Ketika keseimbangan itu telah didapatnya, penulis kembali pada kesadaran situasinya, pada perjalanan yang tengah ditempuhnya. Kali ini dia mendapatkan satu kesadaran baru, bahwa setiap masa akan selalu ada kesempatan/peluang bagi orang-orang untuk berbaris (berbanjar, berderet) dalam sebuah foto kenangan. Ingat foto-foto yang kita buat saat kelulusan sekolah, reuni, perpisahan dan sebagainya. Saat mereka yang ada dalam foto itu sudah mati pun, gambar berbentuk barisan orang-orang dalam foto masih akan melanjutkan keabadiannya sebagai sisa perjalanan mereka. Bahkan dikisahkan kembali pada orang-orang lain, anak-anak, dan seterusnya.

Fendi menariknya kembali pada dirinya secara personal. Dia tidak akan bisa lari juga dari kepastian itu. Suatu ketika, peristiwa transenden akan sampai padanya, tali hidupnya, tali perjalanannya akan putus, melayang dan hilang. Saya membayangkan kesadaran yang ditulis di akhir puisi ini, pastilah membawa si penulis pada kegembiraan walau harus diakui agak sendu, haru, atau hening. Kesadaran itu punya andil untuk menghidupkan dirinya, lalu kembali pada perjalanan-perjalanannya, dan melangkah riang. Dan itu tepat, karena Fendi menulis puisi ini saat dia berada di stasiun kota (seperti ditulis di bagian akhir puisinya), entah kota mana, entah mau kemana.

Berikut ini puisi lengkapnya :

LAYANG-LAYANG KERTAS


Lalu, pagi membawaku ke sini seperti layang-layang kertas merasakan sisa hujan. bersembunyi dari kejaran dingin. Dan ternyata tak ada yang berubah. Pintu keluar dan bercak kenangan yang juga belum semuanya dihisap waktu.

Sejenak, aku terdiam diguncang bimbang dan kecemasan belum lepas dari kantung mata. Tak ada jemputan serta kalungan bunga. Tapi, tiap kejadian masih nakal menahan langkahku.

Di satu sudut pendengaran, lagu Ska mengalun riang, mengajakku untuk tersenyum. Dan, tiba-tiba kumiliki energi kecil untuk kembali diterbangkan dari kota ke kota. 

"Puluhan orang berbanjar menyiapkan foto kenangannya untuk dipajang di dinding sebagai sisa perjalanan. Aku juga. Sebelum taliku putus. Melayang lalu hilang."

Stasiun Kota, 21 Maret 2015

Puisi-puisi banyak yang bersifat demikian. Bahasa personal dalam situasi sosial. Siapa yang bisa lepas dari situasi sosial? Demikian pun puisi sebagai bahasa, sebagai alat komunikasi, terikat oleh hal itu.

Yang tidak biasa, puisi-puisi Fendi ini mengentalkan bahasa tidak untuk dirinya sendiri. Mungkin, bahasa personal dalam ranah sosial sudah biasa dipakai atau secara otomatis muncul dalam diri penyair-penyair. Yang tidak biasa dan tidak otomatis adalah ketika puisi itu mulai ditulis sehingga pesan-pesan mampu diperas oleh pembacanya saat membacanya.

Ada beberapa puisi Fendi yang meletakkan relasinya dengan orang lain sebagai dasar bagi penulisannya. Maka sapaan-sapaan pun mengalir dari sana untuk kemudian ketika dibaca oleh orang lain, pembaca itu akan merasa bahwa : “Puisi ini adalah milikku. Puisi ini adalah untukku.” Dan itulah keunggulan sebuah puisi, yaitu ketika dia mampu menyentuh setiap pembacanya. ****

Senin, 02 Februari 2015

TANGGA KAMPOENG JERAMI



PROSES KEDUA
DI PERTEMUAN RUTIN KOMUNITAS KAMPOENG JERAMI
Oleh : Fendi Kachonk

Sebagaimana jadwal yang telah disepakati tanggal, 31 Januari 2015, Jam. 19. 30 Wib (bakda Isya’) bertempat di Jalan Seludang depan Istana Sport Sumenep. Komunitas Kampoeng Jerami untuk kali keduanya akan berkumpul untuk belajar bersama. Sebelumnya 10 orang telah menyepakati berapa hal soal proses berkarya dan sistem belajar bersama.
Seharian kota Sumenep diselimuti awan dan hujan, dari sekitaran jam 8.00 WIB sampai sore hari masih juga gerimis, untuk keluar rumah rasa-rasanya perlu satu dorongan yang sangat dipaksakan untuk melawan malas dan menjaga komitmen yang telah disepakati. Sekuat tenaga segera saya mencoba melawan romantisnya gerimis yang seolah membuat tubuh saya manja. Dan, sesampai di Pasar Lenteng rupanya gerimis juga semakin membuat rayuannya makin dahsyat. Tapi, saya tak mencoba menepi, karena saya bayangkan ada berapa persiapan yang belum selesai, seperti tikar dan kopi untuk menghangatkan obrolan kami nanti.
Seperti pada pertemuan pertama dalam angan saya kembali mengulang bagaimana hujan dan gerimis dan cuaca selalu menjadi alasan dalam beberapa kesempatan, sampai pun saya tersenyum, romantika musim dan perubahan cuaca adalah bagian yang tak terpisahkan dalam mempengaruhi tiap perjalanan proses kami. “ Masih hujan kak!” atau “Aduh, Maaf, Hujan Fen!” segitu hafalnya dalam pendengaran dan lalu saya pun tersenyum. Dalam hati saya selalu akan melihat sisi leluconnya, lelucon yang sebenarnya tak ada yang salah dan akhirnya seperti dalam surat-surat kedinasan pasti ada kalimat begini. Demikian surat ini. Harap maklum.
Hikmah yang luar biasa saya dapatkan adalah karena hal tersebut, untuk dilihat sebagai satu yang sederhana agar tak sia-sia dalam perjalan proses ini untuk direkam dalam satu catatan. Catatan yang kelak mungkin menjadikan diri saya atau siapa pun akan tersenyum dan mampu mengulang kembali memory masa-masa yang romantis dalam mengarungi naik dan turunnya gelombang dalam berproses belajar bersama di Komunitas Kampoeng Jerami.
Perjalanan Moncek ke Kota Sumenep tak terasakan ketika saya diterbang dari dua sisi dan keadaan, alam pikiran, dan alam nyata di atas motor sambil membayangkan, memikirkan dan merenungi tiap sesuatu yang ada dalam tiap proses ini. Lalu, saya mendengar suara Azhan Magrib. Sampai pula pada tempat di mana kami berjanji untuk bertemu malam ini. Tak saya lihat kelebat bayangan Ferli. Hanya bayangan Wawan dan lalu dia mendekati dan menemani saya. “Kemana Ferli?” Tanya saya pada Wawan. “ Kak Fer Sedang dalam perampungan Modul Kaderisasi PMII kak, sudah 3 harinya sekarang belum selesai.” Ujar Wawan.
Saya dan Wawan segera belanja kopi dan memasaknya, menyiapkan “lamak” dan lalu menunggu satu persatu kawan yang akan akan datang. 19.10 WIB. Rifki teryata sudah di dalam kamar tak saya sadari waktu belanja dia datang. Wawan dengan sigap membantu seolah dia memposisikan tubuh Ferli dan lalu Mas Hidayat Raharja sudah sampai setelah sebelumnya hujan kembali reda dan membuat sedikit kacau perasaan. “Ah, jangan-jangan tak ada yang datang.” Tapi, jauh sebelum itu. Hasmidi dan Anis (perempuan satu-satunya) dalam forum ini telah terlebih dahulu telah datang sebelum mas Hidayat Raharja. Di susul setelah itu dengan kedatangan Sigit yang dijemput oleh Rifky ke terminal dalam keadaan basah kuyub, ah, sudah berkumpul. Fendi Kachonk, Rifky, Hasmidi, Anis, dan Wawan, Mas Hidayat Raharja dan lalu Ragil mahasiswa Universitas Brawijaya Malang yang kebetulan sedang pulang kampung juga datang.
Kembali ke hujan, ada doa semoga segera reda, ada doa semoga dingin tak terasakan bagi setiap kawan yang akan datang, dan mas Syaf Anton Wr, juga bersama kami akhirnya, bincang kecil, kehangatan kopi menambah hangat candaan kami. Yang akhirnya Aba Qosim, temannya Rifki di Sanggar Pelar juga berkenan datang dan yang terakhir mas Sairi seorang pecinta bonsai dan sastra juga mampu menembus dingin dari desa kasengan yang hijau yang indah itu.
Berapa kawan, telah meminta izin tak bisa datang, sakit dan hujan jelas menjadi pemakluman dan semuanya memang harus terjadi. Diskusi kami dimulai dengan Fendi Kachonk sebagai fasilatator untuk memulai dan menjadi petugas tukang gelitik dan tukang lempar pertanyaan. Mulai dari Rifki, Hasmidi, Mas Syaf Anton dan Mas Hidayat Raharja, Bung Ragil Cahya Mulyana mengampu Notulensi, Sigit Wahyudi, Aba Qosim saling melempar ide dan gagasan menjadikan diskusi hangat dalam serius dan penuh canda. Sampai, akhirnya disepakati untuk pertemuan yang akan datang akan puisi Rifky Raya dan cerpennya Hasmidi akan dibincangkan secara santai pada tanggal 14 Februari 2015 dengan pembahas mas Hidayat Raharja.
Dua jam, kami fokus pada pembahasan, ide dan gagasan, semua tertuang mulai dari ide soal iuran yang disepakati tak ada iuran tapi dengan menggunakan kotak kerelaan. Kesiapan internal Komunitas untuk mengelola Jurnal atau tabloid. Namun, akhirnya pembahasan soal tabloid atau jurnal masih belum bisa direalisasikan dalam waktu dekat. Karena semua bersepakat untuk menguatkan proses pengkaryaan di tubuh anggota.
Maka dan akhirnya dalam catatan ini, sekaligus akan menjadi undangan terbuka bagi semua kawan-kawan yang berkenan hadir pada pertemuan yang akan datang yaitu bertepatan pada hari Sabtu (malam minggu), Tanggal 14 Februari 2015. Tempat di Jalan Seludang depan Istana Sport. Agenda bincang santai karya dan proses kreatif dari karya Puisi Rifky Raya dan Cerpen Hasmidi.
Semoga semesta berdoa kepada Tuhan untuk kesuksesan kita semua. Amiin

Kamis, 22 Januari 2015

Pertemuan Rutin dan Belajar Bersama Komunitas Kampoeng Jerami

Pertemuan Rutin dan Belajar Bersama
Komunitas Kampoeng Jerami
(sebuah catatan proses)
Oleh : Fendi Kachonk.

Hujan belum reda. Saya melihat getar hape ada telpon yang masuk. Dan ternyata setelah saya lihat telpon dari K. Muhammad Zamiel El-Muttaqien. “ Fen, tempat acara masih di Seludang kan?” Dengan agak sedikit kaget saya menjawab. “Iya. K. Miming tempatnya masih di tempat bedah bukunya Yuli Nugrahani, di rumah Ferli.” Selang berapa jeda dari jawaban saya suara K. Miming terdengar kembali. “Saya sudah ada di Luar.” Dan telpon pun segera saya tutup. Sedang hujan masih saja menyisakan gerimis. Sumenep seperti dipayungi dan hujan. Ada berapa kawan yang saya undang ke pertemuan akan sedikit terkendala. Dan, rupanya benar perkiraan saya. Kawan-kawan seperti Sigit, Habib, dan Isfak serta Musfiq dan berapa kawan yang lain tak jadi datang karena hujan.






Saya dan K. Miming duduk berdua. Ferli segera paham untuk belanja minum dan rokok untuk kebutuhan pokok dalam perbincangan ini. Sebelumnya, dari proses peluncuran dan dari selesainya peluncuran buku kumpulan puisi “Titik Temu” yang melibatkan berbagai penulis nasional dan dari berapa daerah di Indonesia ini telah mampu menarik semangat berapa kawan untuk lebih serius mengadakan pertemuan. Memang “Titik temu” untuk kali pertama telah diluncurkan di Kabupaten Sumenep tepatnya pada tanggal, 4 Januari 2015 dan dihadiri 80an peserta yang mengisi ruang di LPP RRI Sumenep mampu memberi semangat baru.

Pada saat itu, di sela saya dan K. Miming ngobrol santai. Tangan dan jari-jari saya masih sibuk mengontak dan memastikan berapa teman yang bisa hadir dalam bincang santai ini. Dengan sedikit nakal saya telpon Isfak, Hasmidi dan terakhir saya menelpon mas Syaf Anton Wr yang sebenarnya sangat sedikit lancang saya telpon beliau. “ Salamu’alaikum mas Syaf Anton. Apa sekarang ada di rumah?” tanyaku. Lewat telpon itu juga ada jawaban mas Syaf Anton. “Iya. Saya ada di rumah. Ada apa, fen? Pertanyaan mas Syaf Anton dari seberang. “ Duh! Asik ya mas, bila mas Syaf Anton bisa ngumpul dengan kami. Karena sekarang kami sedang akan berkumpul untuk berbincang Komunitas Kampoeng Jerami dan di sini telah ada K. Miming.” Suara saya galau. “ Oh, Iya saya akan ke teman-teman sekarang,” Jawabnya. Saya tersenyum dan merasa gembira.

Selang berapa menit mas Syaf Anton sudah bersama kami. Jadi saya, K. Miming dan Mas Syaf Anton. Dan saya masih sempat menunjukan lemari saya dalam bentuk tas yang di situ tersimpan tulisan mas Syaf Anton dan Mas Hidayat Raharja : Negeri Impian yang pernah menjadi tetesan sejarah ketika pendekar sastra dari tanah Madura ini pergi ke berapa tempat untuk membacakan puisi-puisi tersebut sampai ke tapal batas dan bagi saya dalam imajinasi beliau berdua dulu lewat forum bias tak kalah kerennya bila diumpamakan sebagai sepasang merpati yang mengibarkan perndamaian dan bisa jadi seperti sepasang sejoli.

Setelah saya tunjukin buku-buku itu dan sempat membuat mas Syaf Anton kaget. Karena, sebenarnya beliau juga sudah tak memiliki sebagian buku itu. Sedang misi saya memang untuk menyelamatkan aset dan saya gendong ke mana-mana untuk dapat suntikan energi beliau-beliau dalam berproses. Bergantian saya melirik wajah K. Miming sambil berbicara. Dalam hati saya merasa haru dan bangga. Karena memang demi sebuah proses ini. K. Miming dan mas Syaf Anton meluangkan waktu sedang hati dan perasaan kacau balau. Hasmidi yang sudah bekerja di STKIP juga sudah datang. Ferli membawa minuman dan setumpuk rokok di Tangannya. Ada sms dan BBM yang memberi tahukan soal ijin tak bisa hadir. Rifki Raya datang dengan senyum dan wajahnya yang tenang langsung bergabung bersama kami.

Saya, tinggalkan sejenak ke belakang dan kesempatan itu saya mencari kontak mas Hidayat Raharja dengan hati sungkan dan terpaksa tetap berusaha untuk memberanikan menelpon mas Hidayat Raharja dan yang menerima telpon saya istri mas Hidayat Raharja. “ Salamu’alaikum.” Ucapku. Di seberang menjawab “ Waalaikum salam. Dari siapa? Perlu sama mas Dayat ya?” saya lantas menjawab. “Dari Fendi Kachonk. Iya mas Dayatnya ada bu?”. “ Ada. Ini Mas Dayat.” Ujar ibu yang istrinya mas Dayat. Berapa detik sura khasnya mas Hidayat Raharja terdengar. “ Hallo. Ada Fen!”. “ Maaf mas Dayat mengganggu. Di sini teman-teman sedang berkumpul. Ada Mas Syaf Anton dan K. Miming, juga teman-teman yang lain, semoga mas Dayat bisa berkumpul juga.” Dengan rasa sungkan untuk meminta datang pun hinggap. “ Oh, Iya! Tunggu saya sholat dulu. Baru akan kesana, ya?” Dengan rasa senang saya sampaikan ke forum untuk sabar menunggu mas Hidayat Raharja.
 
Akhirnya berkumpullah berapa orang ini : K. Muhammad Zamiel El-Muttaqien, Mas Syaf Anton Wr. Mas Hidayat Raharja, Ferli Charaneka, Ramzi Mistis, Rifki Raya, Fendi Kachonk, Wawan, Hasmidi, Fauzi El-Fath. K. Komang. Obrolan hangat dan penuh canda pembahasan soal berapa kegiatan pun dimulai. Saya bertindak untuk membuka yang dengan selanjutnya diskusi santai dipandu oleh K. Miming sampai semua orang memberi pandangan yang saya rangkum adanya kesamaan keinginan tentang berapa hal terkait Komunitas Kampoeng Jerami ke depan sebagai wadah belajar bersama dan disepakati untuk mengawali dari semua harapan dengan membentuk pertemuan setengah bulan sekali yang isi dari pertemuan itu murni untuk berbincang soal karya dan pengumpulan naskah dari karya-karya semua kawan yang secara bergiliran akan dikomentari dan diesai untuk memberi ruang belajar bersama. Pertemuan setengah bulan sekali itu disepakati pada tanggal, 31 Januari 2015, tempat di laksamuda dan jam, 19.00 WIB.

Dalam pertemuan ini juga banyak gagasan misal : Lesehan sastra bulanan dan baca puisi bersama, serta work shop kepenulisan dari sekolah ke sekolah. Namun, gagasan ini masih akan menjadi kegiatan jangka menangah karena disepakati untuk saling menguatkan di internal terlebih dahulu sebagai ruang untuk menyatukan dan saling mengumpulkan energi kerbersamaan ke depan.

Saya kembali bisa belajar bahwa tak ada mudah dan gampang apalagi untuk yang namanya menyepakati kapan dan waktunya. Karena memang semua orang telah memiliki kesibukan masing-masing. Maka dengan senyum dan rasa sukur yang tiada terbatas saya tersenyum. Inilah proses dan di sinilah buku “Titik Temu” telah menjadi pintu masuk untuk menghangatkan kembali atau tepatnya menjadi pintu untuk kembali duduk bareng, belajar bersama, dan sehingga apap pun nanti. Maka catatan proses ini akan selalu menjadi catatan penting dari sebuah pencarian dan nakalnya kami yang memiliki keterbatasan di berapa titik. Namun, pada titik kosong itulah semoga ke depan bisa di isi oleh satu sama lain.

Titik Temu, titik pandang, titik segala titik. Menjadi garis horisontal dan juga vertikal.

Tetap semangat. Alhamdulillah. Semesta berdoa untuk kita bersama.

Salam.