Ditulis oleh Yuli Nugrahani, Lampung.
................................................................
Judul buku : Tanah Silam, kumpulan puisi.
Penulis : Fendi Kachonk
Lukisan cover : Hidayat Raharja
Penerbit : Komunitas Kampoeng Jerami
Cetakan I : Agustus 2015
Saya termasuk beruntung karena
membaca Tanah Silam lebih dini dibanding orang-orang lain yaitu saat buku ini
masih berupa manuskrip. Mungkin bukan orang yang pertama membacanya karena
sebagian dari puisi-puisi Fendi dalam buku ini sudah pernah dipublikasikannya
di berbagai media, dan mengingat bahwa Fendi mempunyai banyak sahabat, pastilah
dia pernah meminta seseorang atau beberapa orang untuk membacanya.
Tapi menjadi orang yang tak
tertinggal tentu sangat menyenangkan. Awalnya, saya membacanya dengan mengalir
seperti biasa, seperti kebiasaan saya saat membaca puisi-puisi. Lalu saya sadar
bahwa puisi-puisi itu belum selesai proses editingnya. Jadi lebih baik saya
diamkan saja puisi-puisi hingga nanti fix, saat dianggap sudah selesai sebagai
puisi. “Editingmu belum selesai, Fendi. Nanti kubaca lagi kalau sudah beres.”
Kataku pada penulisnya, setengah menuduh setengah berharap.
Walau saya masih sering memalukan
diri sendiri dengan kesalahan-kesalahan ketik, kelalaian editing, tapi saya
selalu sok jika sudah mencela-cela karya orang. “Huruf besar dan kecil yang
salah lengkap, spasi yang kelewatan, huruf yang dua kali tertulis, istilah yang
salah,... bla, bla, bla...” Selalu ada pemakluman pada kesalahan-kesalahan,
tapi saat editing dilakukan, kita harus benar-benar yakin dengan pengetikan
kita. Mesti cermat tiap huruf, kata, kalimat, bait dan seluruh bentuk puisi. Setiap
huruf, tanda baca dan kata kita letakkan dalam puisi dengan tujuan tertentu.
Maka hal itu mesti disadari oleh penulisnya.
Saat Fendi sang penulis mengatakan
puisi-puisi itu sudah selesai beberapa waktu kemudian, dia mengirimkan ulang,
dan saya mulai membacanya dengan sungguh-sungguh. Fendi menawarkan beberapa
tema dalam Tanah Silam ini. Yang menarik, saya merasakan puisi-puisi ini terasa
begitu personal walau untuk beberapa puisi jelas Fendi menariknya dalam ranah
sosial. Atau mungkin bukan menariknya dalam ranah sosial, tapi muncul dari
situasi sosial. Atau bisa jadi, ini adalah bahasa bagi seseorang, seorang Fendi
tepatnya, yang hidup secara personal, namun tidak lepas dari panca indera yang
mengarah pada situasi sosial.
Baiklah, ini penangkapan saya yang
tidak bermaksud memberikan penilaian layaknya kritikus atau apresiator sastra.
Tulisan ini semata hasrat yang harus dicatat usai membaca Tanah Silam dan
mengabadikan sebagian kecil yang bisa saya tangkap dari buku ini.
***
Di bagian awal saya ingin mengambil
satu puisi dalam buku ini, berjudul Layang-layang Kertas. Hmmm, judul yang bisa
kita bayangkan secara visual walau layang-layang tidak selalu dari kertas. Dulu
masa saya masih kecil ada layang-layang yang dibuat dari daun gadung kering yang
disambung-sambung, sekarang pun ada layang-layang dari plastik. Fendi memilih
layang-layang kertas, bukan daun dan plastik. Ditimpanya layang-layang kertas
itu dengan sisa hujan. Air. Tidak terlalu banyak karena hanya sisanya saja.
Dari penggambaran ini pembaca bisa melihat setting waktu di bagian ini.
Lalu, pagi
membawaku ke sini seperti layang-layang kertas merasakan sisa hujan.
Bersembunyi dari kejaran dingin. Dan ternyata tak ada yang berubah. Pintu
keluar dan bercak kenangan yang juga belum semuanya dihisap waktu.
Biasanya
anak-anak atau orang dewasa bermain layang-layang saat siang hingga senja. Kali
ini ditambah dengan sisa hujan. Tentulah layang-layang kertas yang telah
kedinginan merasakan sisa hujan tidak segagah saat dalam kondisi kering. Layang-layang
yang basah akan bertambah beratnya dan pemain yang layang-layangnya telah basah
tidak lagi bisa melakukan permainan sebaik saat layang-layang itu kering.
Tapi
permainan yang terganggu karena layang-layang basah adalah sesuatu yang wajar,
yang memang selalu mungkin terjadi pada situasi seperti itu. Kewajaran yang
biasa. Tak berubah dari masa ke masa selama masih memainkan layang-layang
kertas. Pun ketika tidak ada matahari, tak ada angin, permainan layang-layang dari
bahan apapun tidak akan bisa dilakukan. Sama dengan ingatan pada
peristiwa-peristiwa, kenangan-kenangan masih berbentuk. Layang-layang basah pun
masih berbentuk layang-layang. Masih sama, bahkan bercak basah dari sisa hujan,
malah memberikan lukisan-lukisan pada permukaan layang-layang yang semakin
tebal berat. Tidak bisa dimainkan lagi, tapi masih dipegang, terasa lebih berat
dari biasanya.
Sejenak,
aku terdiam diguncang bimbang dan kecemasan belum lepas dari kantung mata. Tak
ada jemputan serta kalungan bunga. Tapi, tiap kejadian masih
nakal menahan langkahku.
Fendi si penulis berada dalam pusaran itu. Dia rupanya sedang
dalam perjalanan. Bisa jadi dia sebenarnya berharap lebih tentang adanya
jemputan dan kalungan bunga yang menyambutnya di perhentian itu. Tapi semua itu
tak terjadi dan tentu kekecewaanlah yang muncul. Walau tidak ada kata kecewa
dalam bait ini, kita bisa membayangkan bagaimana kejadian-kejadian
mengganggunya dan sebentar menahan perjalanannya dalam diam, dalam kebimbangan,
mungkin juga dalam kesedihan.
Di satu sudut
pendengaran, lagu Ska mengalun riang, mengajakku untuk tersenyum. Dan,
tiba-tiba kumiliki energi kecil untuk kembali diterbangkan dari kota ke kota.
Panca indera. Panca indera itulah yang membantu penulis,
Fendi, untuk kembali mendapatkan kekuatan. Panca indera adalah alat yang
dilengkapkan pada tubuh manusia karena manusia bukan hanya personal. Setiap
manusia itu sosial, maka dia mempunyai mulut untuk bicara (pada orang lain),
hidung untuk mencium bau (dari luar tubuhnya), kulit untuk merasakan segala hal
(sebagai situasi di luar tubuhnya), lidah untuk merasakan benda-benda (yang ada
di sekitarnya) dan telinga untuk mendengar (suara-suara dari makluk-makluk
lainnya). Si penulis mendengar musik yang riang. Dia mengambil dari sekitarnya
energi itu. Lalu dia tersenyum membagikan energi itu pada yang melihat
senyumnya. Dia seorang personal, namun dia juga seorang sosial. Dia yakin
energi sekecil apapun yang sudah ditangkapnya itu dapat diterbangkan kembali
dari kota ke kota.
Secara khusus saya mengingat buku Titik Temu, antologi yang
kami garap untuk hari Hak Asasi Manusia (HAM) yang terbit Desember tahun 2014.
Dalam perjalanannya, buku itu bisa dianggap energi kecil, yang terbang dari
satu kota ke kota lain. Sumenep, Jakarta, Bandung, Bengkulu, Malang dan
sebagainya. Sebenarnya tidak hanya di kota-kota itu, tapi terbang menjumpai
pembaca-pembaca di kota-kota lain di seluruh Indonesia maupun luar Indonesia.
Saya membayangkan kerja panca indera si penulis, telinga mendengar
musik Ska dan bibir tersenyum sebagai bahasa non verbal. Dua dari panca indera
yang bekerja. Saya teringat hal itu semacam geliat buku Titik Temu itu. Energi
kecil, tapi terus berlipat ganda saat diterbangkan dari kota ke kota. Saat
menjumpai banyak orang. Saat dikenang diingat.
"Puluhan orang
berbanjar menyiapkan foto kenangannya untuk dipajang di dinding sebagai sisa
perjalanan. Aku juga. Sebelum taliku putus. Melayang lalu hilang."
Ketika keseimbangan itu telah didapatnya, penulis kembali
pada kesadaran situasinya, pada perjalanan yang tengah ditempuhnya. Kali ini
dia mendapatkan satu kesadaran baru, bahwa setiap masa akan selalu ada kesempatan/peluang
bagi orang-orang untuk berbaris (berbanjar, berderet) dalam sebuah foto
kenangan. Ingat foto-foto yang kita buat saat kelulusan sekolah, reuni,
perpisahan dan sebagainya. Saat mereka yang ada dalam foto itu sudah mati pun, gambar
berbentuk barisan orang-orang dalam foto masih akan melanjutkan keabadiannya
sebagai sisa perjalanan mereka. Bahkan dikisahkan kembali pada orang-orang
lain, anak-anak, dan seterusnya.
Fendi menariknya kembali pada dirinya secara personal. Dia
tidak akan bisa lari juga dari kepastian itu. Suatu ketika, peristiwa
transenden akan sampai padanya, tali hidupnya, tali perjalanannya akan putus,
melayang dan hilang. Saya membayangkan kesadaran yang ditulis di akhir puisi
ini, pastilah membawa si penulis pada kegembiraan walau harus diakui agak
sendu, haru, atau hening. Kesadaran itu punya andil untuk menghidupkan dirinya,
lalu kembali pada perjalanan-perjalanannya, dan melangkah riang. Dan itu tepat,
karena Fendi menulis puisi ini saat dia berada di stasiun kota (seperti ditulis
di bagian akhir puisinya), entah kota mana, entah mau kemana.
Berikut ini puisi lengkapnya :
LAYANG-LAYANG KERTAS
Lalu, pagi membawaku ke sini seperti
layang-layang kertas merasakan sisa hujan. bersembunyi dari kejaran dingin. Dan
ternyata tak ada yang berubah. Pintu keluar dan bercak kenangan yang juga belum
semuanya dihisap waktu.
Sejenak, aku terdiam diguncang bimbang dan
kecemasan belum lepas dari kantung mata. Tak ada jemputan serta kalungan bunga.
Tapi, tiap kejadian masih nakal menahan langkahku.
Di satu sudut pendengaran, lagu Ska mengalun riang,
mengajakku untuk tersenyum. Dan, tiba-tiba kumiliki energi kecil untuk kembali
diterbangkan dari kota ke kota.
"Puluhan
orang berbanjar menyiapkan foto kenangannya untuk dipajang di dinding sebagai
sisa perjalanan. Aku juga. Sebelum taliku putus. Melayang lalu hilang."
Stasiun Kota, 21 Maret 2015
Puisi-puisi banyak yang bersifat demikian.
Bahasa personal dalam situasi sosial. Siapa yang bisa lepas dari situasi
sosial? Demikian pun puisi sebagai bahasa, sebagai alat komunikasi, terikat
oleh hal itu.
Yang tidak biasa, puisi-puisi Fendi ini
mengentalkan bahasa tidak untuk dirinya sendiri. Mungkin, bahasa personal dalam
ranah sosial sudah biasa dipakai atau secara otomatis muncul dalam diri
penyair-penyair. Yang tidak biasa dan tidak otomatis adalah ketika puisi itu
mulai ditulis sehingga pesan-pesan mampu diperas oleh pembacanya saat
membacanya.
Ada beberapa puisi Fendi yang meletakkan
relasinya dengan orang lain sebagai dasar bagi penulisannya. Maka sapaan-sapaan
pun mengalir dari sana untuk kemudian ketika dibaca oleh orang lain, pembaca
itu akan merasa bahwa : “Puisi ini adalah milikku. Puisi ini adalah untukku.”
Dan itulah keunggulan sebuah puisi, yaitu ketika dia mampu menyentuh setiap
pembacanya. ****