Pertemuan
Rutin dan Belajar Bersama
Komunitas
Kampoeng Jerami
(sebuah
catatan proses)
Oleh
: Fendi Kachonk.
Hujan belum reda. Saya melihat getar hape ada telpon yang masuk. Dan
ternyata setelah saya lihat telpon dari K. Muhammad Zamiel El-Muttaqien. “ Fen,
tempat acara masih di Seludang kan?” Dengan agak sedikit kaget saya menjawab.
“Iya. K. Miming tempatnya masih di tempat bedah bukunya Yuli Nugrahani, di
rumah Ferli.” Selang berapa jeda dari jawaban saya suara K. Miming terdengar
kembali. “Saya sudah ada di Luar.” Dan telpon pun segera saya tutup. Sedang
hujan masih saja menyisakan gerimis. Sumenep seperti dipayungi dan hujan. Ada
berapa kawan yang saya undang ke pertemuan akan sedikit terkendala. Dan,
rupanya benar perkiraan saya. Kawan-kawan seperti Sigit, Habib, dan Isfak serta
Musfiq dan berapa kawan yang lain tak jadi datang karena hujan.
Saya dan K. Miming duduk berdua. Ferli segera paham untuk belanja minum
dan rokok untuk kebutuhan pokok dalam perbincangan ini. Sebelumnya, dari proses
peluncuran dan dari selesainya peluncuran buku kumpulan puisi “Titik Temu” yang
melibatkan berbagai penulis nasional dan dari berapa daerah di Indonesia ini
telah mampu menarik semangat berapa kawan untuk lebih serius mengadakan
pertemuan. Memang “Titik temu” untuk kali pertama telah diluncurkan di
Kabupaten Sumenep tepatnya pada tanggal, 4 Januari 2015 dan dihadiri 80an
peserta yang mengisi ruang di LPP RRI Sumenep mampu memberi semangat baru.
Pada saat itu, di sela saya dan K. Miming ngobrol santai. Tangan dan
jari-jari saya masih sibuk mengontak dan memastikan berapa teman yang bisa
hadir dalam bincang santai ini. Dengan sedikit nakal saya telpon Isfak, Hasmidi
dan terakhir saya menelpon mas Syaf Anton Wr yang sebenarnya sangat sedikit
lancang saya telpon beliau. “ Salamu’alaikum mas Syaf Anton. Apa sekarang ada
di rumah?” tanyaku. Lewat telpon itu juga ada jawaban mas Syaf Anton. “Iya.
Saya ada di rumah. Ada apa, fen? Pertanyaan mas Syaf Anton dari seberang. “
Duh! Asik ya mas, bila mas Syaf Anton bisa ngumpul dengan kami. Karena sekarang
kami sedang akan berkumpul untuk berbincang Komunitas Kampoeng Jerami dan di
sini telah ada K. Miming.” Suara saya galau. “ Oh, Iya saya akan ke teman-teman
sekarang,” Jawabnya. Saya tersenyum dan merasa gembira.
Selang berapa menit mas Syaf Anton sudah bersama kami. Jadi saya, K.
Miming dan Mas Syaf Anton. Dan saya masih sempat menunjukan lemari saya dalam
bentuk tas yang di situ tersimpan tulisan mas Syaf Anton dan Mas Hidayat
Raharja : Negeri Impian yang pernah menjadi tetesan sejarah ketika pendekar
sastra dari tanah Madura ini pergi ke berapa tempat untuk membacakan
puisi-puisi tersebut sampai ke tapal batas dan bagi saya dalam imajinasi beliau
berdua dulu lewat forum bias tak kalah kerennya bila diumpamakan sebagai
sepasang merpati yang mengibarkan perndamaian dan bisa jadi seperti sepasang
sejoli.
Setelah saya tunjukin buku-buku itu dan sempat membuat mas Syaf Anton
kaget. Karena, sebenarnya beliau juga sudah tak memiliki sebagian buku itu.
Sedang misi saya memang untuk menyelamatkan aset dan saya gendong ke mana-mana
untuk dapat suntikan energi beliau-beliau dalam berproses. Bergantian saya
melirik wajah K. Miming sambil berbicara. Dalam hati saya merasa haru dan
bangga. Karena memang demi sebuah proses ini. K. Miming dan mas Syaf Anton
meluangkan waktu sedang hati dan perasaan kacau balau. Hasmidi yang sudah
bekerja di STKIP juga sudah datang. Ferli membawa minuman dan setumpuk rokok di
Tangannya. Ada sms dan BBM yang memberi tahukan soal ijin tak bisa hadir. Rifki
Raya datang dengan senyum dan wajahnya yang tenang langsung bergabung bersama
kami.
Saya, tinggalkan sejenak ke belakang dan kesempatan itu saya mencari
kontak mas Hidayat Raharja dengan hati sungkan dan terpaksa tetap berusaha
untuk memberanikan menelpon mas Hidayat Raharja dan yang menerima telpon saya
istri mas Hidayat Raharja. “ Salamu’alaikum.” Ucapku. Di seberang menjawab “
Waalaikum salam. Dari siapa? Perlu sama mas Dayat ya?” saya lantas menjawab.
“Dari Fendi Kachonk. Iya mas Dayatnya ada bu?”. “ Ada. Ini Mas Dayat.” Ujar ibu
yang istrinya mas Dayat. Berapa detik sura khasnya mas Hidayat Raharja
terdengar. “ Hallo. Ada Fen!”. “ Maaf mas Dayat mengganggu. Di sini teman-teman
sedang berkumpul. Ada Mas Syaf Anton dan K. Miming, juga teman-teman yang lain,
semoga mas Dayat bisa berkumpul juga.” Dengan rasa sungkan untuk meminta datang
pun hinggap. “ Oh, Iya! Tunggu saya sholat dulu. Baru akan kesana, ya?” Dengan
rasa senang saya sampaikan ke forum untuk sabar menunggu mas Hidayat Raharja.
Akhirnya berkumpullah berapa orang ini : K. Muhammad Zamiel El-Muttaqien,
Mas Syaf Anton Wr. Mas Hidayat Raharja, Ferli Charaneka, Ramzi Mistis, Rifki
Raya, Fendi Kachonk, Wawan, Hasmidi, Fauzi El-Fath. K. Komang. Obrolan hangat
dan penuh canda pembahasan soal berapa kegiatan pun dimulai. Saya bertindak
untuk membuka yang dengan selanjutnya diskusi santai dipandu oleh K. Miming
sampai semua orang memberi pandangan yang saya rangkum adanya kesamaan
keinginan tentang berapa hal terkait Komunitas Kampoeng Jerami ke depan sebagai
wadah belajar bersama dan disepakati untuk mengawali dari semua harapan dengan
membentuk pertemuan setengah bulan sekali yang isi dari pertemuan itu murni
untuk berbincang soal karya dan pengumpulan naskah dari karya-karya semua kawan
yang secara bergiliran akan dikomentari dan diesai untuk memberi ruang belajar
bersama. Pertemuan setengah bulan sekali itu disepakati pada tanggal, 31
Januari 2015, tempat di laksamuda dan jam, 19.00 WIB.
Dalam pertemuan ini juga banyak gagasan misal : Lesehan sastra bulanan
dan baca puisi bersama, serta work shop kepenulisan dari sekolah ke sekolah.
Namun, gagasan ini masih akan menjadi kegiatan jangka menangah karena
disepakati untuk saling menguatkan di internal terlebih dahulu sebagai ruang
untuk menyatukan dan saling mengumpulkan energi kerbersamaan ke depan.
Saya kembali bisa belajar bahwa tak ada mudah dan gampang apalagi untuk
yang namanya menyepakati kapan dan waktunya. Karena memang semua orang telah
memiliki kesibukan masing-masing. Maka dengan senyum dan rasa sukur yang tiada
terbatas saya tersenyum. Inilah proses dan di sinilah buku “Titik Temu” telah
menjadi pintu masuk untuk menghangatkan kembali atau tepatnya menjadi pintu
untuk kembali duduk bareng, belajar bersama, dan sehingga apap pun nanti. Maka catatan
proses ini akan selalu menjadi catatan penting dari sebuah pencarian dan
nakalnya kami yang memiliki keterbatasan di berapa titik. Namun, pada titik
kosong itulah semoga ke depan bisa di isi oleh satu sama lain.
Titik Temu, titik pandang, titik segala titik. Menjadi garis horisontal
dan juga vertikal.
Tetap semangat. Alhamdulillah. Semesta berdoa untuk kita bersama.
Salam.
1 komentar:
menyenangkan. semoga lancar acara berikutnya di masa masa yang akan datang
Posting Komentar