Kamis, 22 Januari 2015

Pertemuan Rutin dan Belajar Bersama Komunitas Kampoeng Jerami

Pertemuan Rutin dan Belajar Bersama
Komunitas Kampoeng Jerami
(sebuah catatan proses)
Oleh : Fendi Kachonk.

Hujan belum reda. Saya melihat getar hape ada telpon yang masuk. Dan ternyata setelah saya lihat telpon dari K. Muhammad Zamiel El-Muttaqien. “ Fen, tempat acara masih di Seludang kan?” Dengan agak sedikit kaget saya menjawab. “Iya. K. Miming tempatnya masih di tempat bedah bukunya Yuli Nugrahani, di rumah Ferli.” Selang berapa jeda dari jawaban saya suara K. Miming terdengar kembali. “Saya sudah ada di Luar.” Dan telpon pun segera saya tutup. Sedang hujan masih saja menyisakan gerimis. Sumenep seperti dipayungi dan hujan. Ada berapa kawan yang saya undang ke pertemuan akan sedikit terkendala. Dan, rupanya benar perkiraan saya. Kawan-kawan seperti Sigit, Habib, dan Isfak serta Musfiq dan berapa kawan yang lain tak jadi datang karena hujan.






Saya dan K. Miming duduk berdua. Ferli segera paham untuk belanja minum dan rokok untuk kebutuhan pokok dalam perbincangan ini. Sebelumnya, dari proses peluncuran dan dari selesainya peluncuran buku kumpulan puisi “Titik Temu” yang melibatkan berbagai penulis nasional dan dari berapa daerah di Indonesia ini telah mampu menarik semangat berapa kawan untuk lebih serius mengadakan pertemuan. Memang “Titik temu” untuk kali pertama telah diluncurkan di Kabupaten Sumenep tepatnya pada tanggal, 4 Januari 2015 dan dihadiri 80an peserta yang mengisi ruang di LPP RRI Sumenep mampu memberi semangat baru.

Pada saat itu, di sela saya dan K. Miming ngobrol santai. Tangan dan jari-jari saya masih sibuk mengontak dan memastikan berapa teman yang bisa hadir dalam bincang santai ini. Dengan sedikit nakal saya telpon Isfak, Hasmidi dan terakhir saya menelpon mas Syaf Anton Wr yang sebenarnya sangat sedikit lancang saya telpon beliau. “ Salamu’alaikum mas Syaf Anton. Apa sekarang ada di rumah?” tanyaku. Lewat telpon itu juga ada jawaban mas Syaf Anton. “Iya. Saya ada di rumah. Ada apa, fen? Pertanyaan mas Syaf Anton dari seberang. “ Duh! Asik ya mas, bila mas Syaf Anton bisa ngumpul dengan kami. Karena sekarang kami sedang akan berkumpul untuk berbincang Komunitas Kampoeng Jerami dan di sini telah ada K. Miming.” Suara saya galau. “ Oh, Iya saya akan ke teman-teman sekarang,” Jawabnya. Saya tersenyum dan merasa gembira.

Selang berapa menit mas Syaf Anton sudah bersama kami. Jadi saya, K. Miming dan Mas Syaf Anton. Dan saya masih sempat menunjukan lemari saya dalam bentuk tas yang di situ tersimpan tulisan mas Syaf Anton dan Mas Hidayat Raharja : Negeri Impian yang pernah menjadi tetesan sejarah ketika pendekar sastra dari tanah Madura ini pergi ke berapa tempat untuk membacakan puisi-puisi tersebut sampai ke tapal batas dan bagi saya dalam imajinasi beliau berdua dulu lewat forum bias tak kalah kerennya bila diumpamakan sebagai sepasang merpati yang mengibarkan perndamaian dan bisa jadi seperti sepasang sejoli.

Setelah saya tunjukin buku-buku itu dan sempat membuat mas Syaf Anton kaget. Karena, sebenarnya beliau juga sudah tak memiliki sebagian buku itu. Sedang misi saya memang untuk menyelamatkan aset dan saya gendong ke mana-mana untuk dapat suntikan energi beliau-beliau dalam berproses. Bergantian saya melirik wajah K. Miming sambil berbicara. Dalam hati saya merasa haru dan bangga. Karena memang demi sebuah proses ini. K. Miming dan mas Syaf Anton meluangkan waktu sedang hati dan perasaan kacau balau. Hasmidi yang sudah bekerja di STKIP juga sudah datang. Ferli membawa minuman dan setumpuk rokok di Tangannya. Ada sms dan BBM yang memberi tahukan soal ijin tak bisa hadir. Rifki Raya datang dengan senyum dan wajahnya yang tenang langsung bergabung bersama kami.

Saya, tinggalkan sejenak ke belakang dan kesempatan itu saya mencari kontak mas Hidayat Raharja dengan hati sungkan dan terpaksa tetap berusaha untuk memberanikan menelpon mas Hidayat Raharja dan yang menerima telpon saya istri mas Hidayat Raharja. “ Salamu’alaikum.” Ucapku. Di seberang menjawab “ Waalaikum salam. Dari siapa? Perlu sama mas Dayat ya?” saya lantas menjawab. “Dari Fendi Kachonk. Iya mas Dayatnya ada bu?”. “ Ada. Ini Mas Dayat.” Ujar ibu yang istrinya mas Dayat. Berapa detik sura khasnya mas Hidayat Raharja terdengar. “ Hallo. Ada Fen!”. “ Maaf mas Dayat mengganggu. Di sini teman-teman sedang berkumpul. Ada Mas Syaf Anton dan K. Miming, juga teman-teman yang lain, semoga mas Dayat bisa berkumpul juga.” Dengan rasa sungkan untuk meminta datang pun hinggap. “ Oh, Iya! Tunggu saya sholat dulu. Baru akan kesana, ya?” Dengan rasa senang saya sampaikan ke forum untuk sabar menunggu mas Hidayat Raharja.
 
Akhirnya berkumpullah berapa orang ini : K. Muhammad Zamiel El-Muttaqien, Mas Syaf Anton Wr. Mas Hidayat Raharja, Ferli Charaneka, Ramzi Mistis, Rifki Raya, Fendi Kachonk, Wawan, Hasmidi, Fauzi El-Fath. K. Komang. Obrolan hangat dan penuh canda pembahasan soal berapa kegiatan pun dimulai. Saya bertindak untuk membuka yang dengan selanjutnya diskusi santai dipandu oleh K. Miming sampai semua orang memberi pandangan yang saya rangkum adanya kesamaan keinginan tentang berapa hal terkait Komunitas Kampoeng Jerami ke depan sebagai wadah belajar bersama dan disepakati untuk mengawali dari semua harapan dengan membentuk pertemuan setengah bulan sekali yang isi dari pertemuan itu murni untuk berbincang soal karya dan pengumpulan naskah dari karya-karya semua kawan yang secara bergiliran akan dikomentari dan diesai untuk memberi ruang belajar bersama. Pertemuan setengah bulan sekali itu disepakati pada tanggal, 31 Januari 2015, tempat di laksamuda dan jam, 19.00 WIB.

Dalam pertemuan ini juga banyak gagasan misal : Lesehan sastra bulanan dan baca puisi bersama, serta work shop kepenulisan dari sekolah ke sekolah. Namun, gagasan ini masih akan menjadi kegiatan jangka menangah karena disepakati untuk saling menguatkan di internal terlebih dahulu sebagai ruang untuk menyatukan dan saling mengumpulkan energi kerbersamaan ke depan.

Saya kembali bisa belajar bahwa tak ada mudah dan gampang apalagi untuk yang namanya menyepakati kapan dan waktunya. Karena memang semua orang telah memiliki kesibukan masing-masing. Maka dengan senyum dan rasa sukur yang tiada terbatas saya tersenyum. Inilah proses dan di sinilah buku “Titik Temu” telah menjadi pintu masuk untuk menghangatkan kembali atau tepatnya menjadi pintu untuk kembali duduk bareng, belajar bersama, dan sehingga apap pun nanti. Maka catatan proses ini akan selalu menjadi catatan penting dari sebuah pencarian dan nakalnya kami yang memiliki keterbatasan di berapa titik. Namun, pada titik kosong itulah semoga ke depan bisa di isi oleh satu sama lain.

Titik Temu, titik pandang, titik segala titik. Menjadi garis horisontal dan juga vertikal.

Tetap semangat. Alhamdulillah. Semesta berdoa untuk kita bersama.

Salam.



1 komentar:

M. Faizi mengatakan...

menyenangkan. semoga lancar acara berikutnya di masa masa yang akan datang