Membuat
Aku Sadar Diri Untuk Kembali Berpuisi
Oleh Sani L Xia
PEMBATAS
BUKU : Sweet Memories.
Andai alur-alur
kreatif, cara-caranya mencintai dan membentuk apa pun dalam imaji seorang Yuli
Nugrahani bisa difoto, pasti penampakannya akan tak kalah cantik dengan wajah
Dian Sastro. Dian Sastro punya wajah cantik yang diakui, Yuli Nugrahani pun bisa
menulis puisi-puisi yang aduhai tak kalah cantik. Nah, Apa bedanya pula cara
saya menanti-nanti “Sampai Aku
Lupa” seperti cara ribuan kepala orang-orang yang menanti JK
Rowling meluncurkan Hary Potter seri
terbaru? (Ah, kapan ya buku-buku sastra
bermutu dinanti-nanti dengan
cara seperti itu?)
Seperti itulah
kira-kira saya menanti “Sampai Aku Lupa”
terwujud dalam bentuk buku. Penasaran dengan isinya. Akan bicara apa, sih puisi-puisi dalam buku
itu, ya? Setelah tarik ulur mencari jadwal untuk bertemu, memohon-mohon
waktu luang di tengah kesibukan sastrawan perempuan istimewa ini, akhirnya Mbak Yuli memberikan
juga waktunya.
“Aku tidak jadi
ke kantor Kamis besok. Aku perlu memulihkan tubuh. Siang bisa ke rumahku. Kita
rayakan Sampai Aku Lupa,” begitu bunyi
WA-nya pukul 8 pagi di hari Rabu 20
September 2017.
Dengan gembira,
setelah Shalat Dzuhur, saya menutup kios Pet Shop sembari mengingat beberapa kenangan manis berpuisi ria
di halaman belakang rumah Mbak Yuli tepat di bawah pohon Kelengkeng dengan
sarang-sarang burung di dahannya. Ya, sebuah perayaan dengan diawali doa
selamatan, memotong tumpeng, lalu kami
(Mbak Yuli, Mas Fendi, Linda dan kawan-kawan Kenshi Bela Diri Kempo)
bergantian membaca puisi dari buku-bukunya
bersama Fendi Kachong pada 21 April
2017, setelah malamnya merayakan buku kumpulan cerpen “Salah Satu Cabang Cemara”
di Dawiels Kafe.
Bisa dikatakan,
itulah kebersamaan dengan cara sederhana namun pada hari itu, bagi saya adalah
pesta yang berkesan : saya seperti orang yang baru pertama kalinya berkenalan
dengan puisi. Terlepas dari cara pandang objektif terhadap isi dari buku-buku
puisi itu, atau pun secara subjektif… saya terlanjur nge-fans dengan penulisnya.
Dan bisa jadi
saya tambah nge-fans (tentunya saya nge-fans dengan artis pun setelah saya lihat aktingnya, talentanya,
kecerdasannya, bukan lantaran gosip cetar membahana ataupun cantik apalagi
gantengnya sang artis) setelah mendengar
Fendi Kachong membacakan puisi “Menyangkal Hujan” pada Kumpulan Puisi
Yuli Nugrahani sebelumnya “Pembatas Buku”. Saat itu juga, saya kok seperti orang yang baru pertama kalinya mendengar orang baca
puisi.
Cara Fendi
membacakan dalam intonasi, power dan juga penghayatan yang mengalir lancar
membuat saya tertegun. Tanpa suasana yang
dibeli dengan harga mahal, tanpa ditambah bebunyian dari alat musik apapun,
tanpa mike dengan sound membahana, tanpa gerak tubuh yang di-lebai-lebai-kan, tanpa panggung yang diada-adakan… “Menyangkal Hujan” mampu
membuat saya hanyut dan menitikkan air mata.
Walau saya tak
mampu menembus makna puisi persis seperti yang dimaksud penyairnya, namun saya membiarkan diri saya
tenggelam ke dasar makna, menyelami kata demi kata, ikut mengalir bersama baris-baris
sajaknya yang terkadang hening, kadang juga menggelora…
“Menyangkal
Hujan” juga puisi-puisi yang lain dalam “Pembatas Buku” mampu memoleskan warna
yang tak biasa juga memberi suasana dalam
ruang yang asing di mana saya seakan bisa
melihat gerak dari ruh penulisnya.
***
SAMPAI
AKU LUPA : Memaknai Buku Kumpulan Puisi Berlatar Biru.
Sesampainya di
rumah Mbak Yuli, akhirnya saya lihat juga buku berlatar biru yang memang sangat
“Biru” yang menyenangkan penglihatan saya itu. Sangking birunya –seperti segar,
seperti sejuk, seperti tenang- saya
sempat abai dengan awan-awan dan seekor burung yang bertengger di sana.
“Kok biru,
Mbak?” tanyaku menanyakan mengapa cover SAMPAI AKU LUPA diberi warna biru.
“Biru itu
berarti kedalaman. Coba kau tengok langit, Biru. Tak bisa diketahui akhir langit
itu di mana. Begitu juga laut. Akan susah diukur kedalamannya,” begitu jawabnya. Saya puas
dengan jawabannya, saya makin terpikat untuk terus memandang warna birunya.
Begitu juga
dengan gambar realis yang blur di cover belakangnya; kaca yang basah oleh air
-mungkin tersiram hujan- sehingga apa yang terlihat dari luar terlihat blur. Pada
gambar itu, saya menangkapnya seperti foto yang diedit, namun juga seperti
lukisan dengan cat minyak di atas kanvas.
Walau saya mengagumi sinar-sinar dan silhuet
yang tak jelas di balik kaca, namun mata saya dihadapkan dengan dua pilihan;
terus menatap, menembus mencari wujud benda-benda terang maupun gelap di dalam
sana… atau memilih mengalihkan perhatian pada sebuah tangkai yang ditumbuhi
tiga helai daun yang benar-benar nyata di depan mata.
Lain dari
kebiasaan, biasanya saya langsung membaca puisi tanpa melihat judul (kebiasaan
buruk saya sebagai pribadi yang tak telaten dan tak sabaran; membaca novel dari
halaman tengah, membaca cerpen dari endingnya, kadang saya membaca puisi hanya
judulnya saja dan meninggalkan puisi tersebut begitu saja setelah jenuh dengan
diksi-diksinya…) saya mengerem rasa penasaran saya terhadap “Sampai Aku Lupa”.
Saya tak langsung membaca puisi-puisi di
dalamnya. Dalam diam, saya bolak-balik buku itu seperti saya menghadapi sebuah
kue dalam kemasan, mengagumi bentuknya, melihat komposisinya (berharap aman
untuk saya makan), mencium aromanya…
Ketika membuka
“Sampai Aku Lupa” saya dahulukan membaca pengantar dari penulisnya, Epilog dari
Fendi Kachong (Komunitas Kampoeng Jerami), endorsment Jauhari Zailani (Seorang
Dosen), Novi Nusaiba (Penulis di FLP wilayah Lampung), Suroso (Guru MTsN Mesuji), dan Suwanda (ketua
FLP Lampung)… seolah saya menyiapkan diri untuk menerima seperti apa kira-kira
isi kumpulan puisi ini. Akhirnya halaman
pertama saya baca…
GERBANG
SUNYA
Beginilah aku memulai hari ini:
….
Sepenuh daya aku menahan suara
Menyembunyikannya di paruh kenari
Menguncinya di putik bunga kesturi
Dan sesekali seperti ini :
Menjadikannya sebagai puisi
2015
Pada “GERBANG
SUNYA”, saya kira saya akan mengagumi bait ke-dua dan ke-tiga:
….
Kaki
di antara serbuk litani
Kepala
tersuruk getah jannati
(Doa yang tercetus memotifasinya untuk
memilih berbuat baik. Merupakan keyakinan spiritual yang hakiki. Balasan dari
Tuhan, berupa (kebaikan) surga setelah
dia
menjalankan tugasnya dengan baik dan
sesuai aturan.
Yang
kusebut sebagai doa
Terhampar
di lantai dapur
Bersama
kulit bawang, irisan timun
Bercampur
cabang pembuluh darah
Menjelma
jeritan di pelupuk mata
Saya setuju juga dengan
yang dikatakan Jauhari Zailani (lihat : “Sampai Aku Lupa” hal 119
paragraf ke 3), saya juga berpikir,
itulah peran Yuli Nugrahani, seorang perempuan yang memiliki dua peran dalam
hidupnya. Yang pertama, Yuli adalah sosok “Perempuan sebagai Ibu juga seorang
istri dengan tugas rutinnya di rumah”, dan yang
ke-dua, Yuli adalah “Perempuan
yang berperan sebagai tokoh dan berkiprah di luar rumah”. Dua sosok dalam diri
Yuli ini (secara sadar) selalu (ingin) menjaga setiap tindak-tanduknya untuk
tetap bijaksana dalam perannya yang ke dua ini.
Dalam “GERBANG
SUNYA” Saya justru terkesima di bait ke 5. Pada bait ke 5 dan selanjutnya, saya (mungkin) melihat peristiwa yang sesungguhnya dalam diri Yuli
Nugrahani dalam menjalankan perannya tersebut :
seorang
Yuli harus menjalani harinya dengan Sepenuh daya aku menahan suara.
Seorang Yuli yang harus bisa Menyembunyikan (suara/kata-kata)nya (bila mungkin) di paruh
kenari (agar tetap menyuarakan
“yang terdengar” indah dan tidak menyinggung orang).
Yuli juga
perempuan yang bisa berpikir kritis terhadap lingkungan dan orang-orang di
sekitarnya di mana pun dia berada Mengunci
(keinginan menyuarakan uneg-uneg)nya (bila bisa) di putik bunga kesturi (menyimpan rapat-rapat ketidak sukaannya
terhadap carut-marut/konflik dan bila mungkin dia tetap akan menampilkan
“keharuman juga keindahan” layaknya
seperti Kesturi. Atau bisa jadi segala keburukan atau kebaikan yang
ditemui/dialaminya akan diserahkan kepada Tuhan/Langit ; membuahkan apakah
Kesturi itu nantinya.
Dan jika pun
seorang Yuli, tidak mampu untuk melakukan :
Sepenuh daya aku menahan suara
Menyembunyikannya di paruh kenari
Menguncinya di putik bunga kesturi
setidaknya dia
akan melakukan :
Dan sesekali seperti ini :
Menjadikannya (segala yang dia kunci ; uneg-uneg, isi pikirannya
baik yang positif maupun yang negatif) sebagai
puisi
Mungkin itulah
kira-kira yang saya lihat pada GERBANG SUNYA : ( dalam KBBI, GERBANG : Pintu
masuk. SUNYA : Sepi/Bijaksana). Mungkin kira-kira GERBANG SUNYA adalah PINTU MASUK MENUJU KEBIJAKAN YANG SEPI (tak
semua orang mau/mampu memasukinya dan berada di dalamnya).
Namun jika puisi
ini saya temukan dengan pemaknaan subjectif
saya terhadap pengalaman Budhism. GERBANG SUNYA bisa disimpulkan sebagai
“Pintu kebijakan dalam dunia fana menuju jalan batin untuk sebuah proses
penekunan spiritual”.
Bagaimanapun, apa pun
dan siapa pun manusia di dunia ini harus berusaha
memaknai dan menjalankan hidupnya dengan cara yang baik. Kefanaan harus
dijalani “sebaik-baiknya” dan “selurus mungkin” untuk menuju sebuah pintu kekal
abadi. Barang siapa yang berhasil menjalankannya, sudah barang tentu akan
mendapatkan balasan (buah karma) yang baik pula. Dalam Budhis akan berbuah
arahat, dalam Islam atau Nasrani akan berbuah Jannah (surga).
Jalan menuju
Arahat dalam Budhis juga dikatakan jalan spiritual yang sunyi. Jalan menuju arahat tidaklah mudah. Tidak
semua orang mau dan mampu mencapai Arahat dengan mengambil jalan pintas yang sepi (menjadi seorang Bhiksu /
Petapa) ini. Menjalankan hidup awam / perumah tangga adalah pilihan yang ramai
“peminatnya”. Namun,barang siapa yang memasuki GERBANG SUNYA, maka dia
akan tercerahkan spiritualitas-nya dan
akan cepat sampai nibana, tak lagi bertumimbal lahir seperti kebanyakan umat
awam yang belum merasa puas akan
hidupnya yang sekarang ini. Ketidak puasannya akan merangsang tjita (pikiran) untuk tetap hidup dan
“mencari kehidupan”. Manusia yang
memilih masuk “GERBANG SUNYA” sudah barang
tentunya akan lepas dari samsara.
Dalam GERBANG
SUNYA mungkin seorang Yuli memberikan potret hatinya ; suara hati seorang
perempuan yang menjadikan tindak-tanduknya sehari-hari (yang secara alami) selalu berhati-hati. Selain
me-numpu-kan kekuatannya pada do’a, eling pada Tuhan dan keyakinan akan adanya Jannati,
sebagai perempuan yang berperasaan sekaligus ber-intelektual, perempuan yang
memiliki peran sebagai aktifis sosial, ternyata Yuli juga “menyadari” dirinya
telah dianugerahi bakat untuk mengendapkan emosi-emosinya.
Tuhan memberikan
kemampuan pada seorang Yuli untuk memilah perasaan dan berkontemplasi untuk tetap mengemas isi
pikiran dan keinginannya dengan rapi dan sebijak mungkin. Jika dia harus
mengeluarkan isi kepalanya (jika ada pikirannya yang buruk setiap akan memulai
hari-harinya atau teringat peristiwa kemarin)
…
Jahil dalam sebutir duga
Hadir setiap subuh menjelang
…
setidaknya dia
bisa menyampaikannya dengan baik dan (masih bisa) sehalus mungkin : Lewat Puisi
.
Wajar jika saya
terpaku dan lama tidak beranjak dari
halaman pertama, setelah saya ingat pada pengantar di buku itu, rupanya
“GERBANG SUNYA” adalah berupa Judul dari
bagian puisinya dalam satu paket. Atau
“GERBANG SUNYA” awalnya dimaksudkan sebagai judul buku dari puisi yang tak
masuk dalam “GELANG KAKI KEKASIH”.
Ketika saya buka
puisi-puisi selanjutnya, mata saya ikut melambat seperti lambatnya loading di
kepala. Saya mencermati kata-demi kata, baris demi baris dalam puisi “UPAYA”, “SEPI”, KEBERUNTUNGAN”… terus… sampai
saya berhenti pada puisi ke 18 “AKU PEREMPUAN PENCURAH MINYAK WANGI”. Imaji
saya berkembang dalam puisi itu. Saya seperti sedang melihat sosok Yuli dalam
penokohan dan sedang dikelilingi oleh tokoh-tokoh yang lain (saya tertarik
untuk membuat puisi ini ke dalam naskah teater).
Puisi-puisi 1
sampai 16 seperti datar, imaji-imaji yang umum. Yuli sendiri mengaku tidak puas
dengan buku itu karena dia tidak menangani sebagaimana semestinya. Memang saya
tak menemukan sentakan-sentakan atau greget seperti “PEMBATAS BUKU”. Namun saya
merasa “SAMPAI AKU LUPA” begitu kaya dalam membangun kesadaran visual imaji
saya. Saya seperti menangkap slow motion yang bermakna; mengena.
Seperti rekaman ulang pada suatu pertandingan sepak bola bagaimana Goal diciptakan, Hand terjadi, atau ketika terjadi pelanggaran… Dalam permainan
sepak bola, kita akan melihat review
itu dengan jelas untuk mengambil langkah selanjutnya; sah atau tidaknya detik
itu berlaku sebagai landasan wasit dan juri mengambil keputusan.
Halaman demi
halaman “SAMPAI AKU LUPA” seperti review-review dari menit bahkan detik
yang pernah terjadi/tercipta dengan detail. Peristiwa yang bisa saja tidak kita
sadari atau bisa saja terlupakan justru menjadi hal atau suatu peristiwa yang begitu penting. Keseharian itu kesannya tak
penting, sampai peristiwa bernafas pun rasanya tak ada yang istimewa. Namun
sehirup kecil nafas dan hembusan dengan saraf tak sadar itu justru hal
terpenting dan terbesar yang bisa membuat diri tetap hidup!
SAMPAI AKU LUPA
berhasil memberi makna-makna pada hal sepele sampai pada detik-detik cemerlang yang
menggugah perasaan, terutama saat merasakan keheningan bersama sesuatu atau
seseorang yang kita cintai. Saat memori itu terlintas dalam ingatan, sengaja
tak sengaja, baik untuk sekadar bermemori ria atau bahkan berbagai macam
kepentingan, “ingat kembali” dengan hal-hal sepele yang tidak maupun yang berkesan
di hati akan menjadi “motifasi” kita
untuk memilih “aksi yang pas” di menit-menit kehidupan selanjutnya.
Setelah memberi
”reaksi” dari peristiwa sebelumnya, tentunya akan ada aksi-aksi lain yang akan
mengalir atau malah akan menjadi suatu peristiwa yang diinginkan atau ditutup
sama sekali. Tak ingin diingat, namun tak juga bisa dilupakan. Kadang terlupa,
tapi kita merasa perlu menggali ingatan itu sedetail-detailnya. Ya. Ingatan
dari peristiwa yang terjadi, apapun itu, adalah bagian dari kehidupan seseorang
yang siapapun tidak akan kuasa
menghapusnya.
Dan dalam
kehidupan sehari-hari, tak jarang ketika mengharapkan suatu peristiwa, kita
juga bisa merasakan emosi-emosi,
letupan-letupan aneh, dan jantung yang berdegub kencang.
Sampailah saya pada halaman ke 45, puisi
ke-37. Antara tergelitik dan tak menduga, saya melihat slow motion itu. Review
yang diperlukan “aku” setelah pernah be-reaksi, si aku menunggu dan
mengharapkan “aksi” selanjutnya walau
hanya ingin diingat :
GAUN
MALAM DAN TUKSEDO
Lipatan gaun malamku
Berkelebat bersama gerak angin
Menyapa tuksedo yang kau pakai.
Ingatkah?
Mereka pernah tersampir di satu kursi
Suatu [m]alam pada sebuah kamar.
Ingatkah?
Nopember
2004
Mungkin itulah
yang saya dapati ketika membaca “SAMPAI AKU LUPA”. Tak ada kata yang membuat
suara menjadi meletup. Sudah kami praktikkan membacanya di bawah naungan pohon
Kelengkeng di belakang rumah Mbak Yuli. Puisi-puisi dengan emosi datar
itu justru indah bila dibacakan dengan apa adanya. Semacam percakapan biasa,
semacam bisik, semacam gumam namun
bermakna… semacam mendengarkan langkah-langkah peziarah, bersuara semacam nada
orang sedang berdo’a, semacam gumam mantra… seperti mendengar Sidharta saat
memberi pembabaran Dhamma.
Jika mau
disuarakan, mungkin di suatu malam… ingin rasanya menyelingi puisi-puisi yang
padat dengan memori imaji atau imaji memori itu dengan lagu jawa versi jazz. Bisa
jadi di halaman belakang rumah penulisnya (seperti keinginan Mbak Yuli). Dengan
setting meja kursi yang ditata dengan bertabur cahaya lilin dan lampion kecil, saya
membayangkan puisi itu dibacakan oleh sesiapa yang hadir dengan tetap duduk di
tempatnya.
Puisi-puisi
“SAMPAI AKU LUPA” tak perlu ngotot dijelaskan, tak perlu berat-berat
mengerutkan kening untuk mendengarkan segala macam teori yang penting apalagi
yang tak penting. Cukup kita mendengarkan tuturan dari penulisnya dengan gaya
yang serupa dengan karya-karyanya. Kita bisa meresapi kata perkata yang begitu
dalam maknanya. Baris demi baris akan mengurai setiap jengkal memori yang
mungkin telah terlupa. Jika disikapi dengan rasa, puisi dalam buku ini akan
menyatukan kita dengan realitas, pengalaman batin atau imaji kita sendiri. Ah, sepertinya akan banyak yang
tenggelam SAMPAI AKU LUPA.
“SAMPAI AKU
LUPA” benar-benar telah hadir dan berdiri di samping sosok Yuli Nugrahani. Membaca
puisi demi puisi dalam buku ini, saya yang malas dan tak sabar menjadi tak
sadar hanyut dalam kata demi kata, baris demi baris. Saya lupa dengan
kebiasaan-kebiasaan buruk ketika membaca buku, saya tak lagi melangkah-langkah
dan bersalto ria seenaknya melompati halaman 1 ke halaman 50, halaman 50 ke
halaman 16, atau ke halaman mana yang
saya suka.
SAMPAI AKU LUPA yang
diakui hampir dilupakan penulisnya ini, saya justru bisa berlatih duduk anteng sembari menggali makna-makna dan
mengingat kembali memori-memori hidup yang saya tak sadar terlah terlupa. Terimakasih
kepada Tuhan dan semesta yang telah menjadikan peristiwa merayakan puisi di bawah pohon Kelengkeng itu terjadi.
Jika itu tak pernah ada, bagaimana saya bisa me-review ingatan saya pada kejadian-kejadian sepele yang sesungguhnya
bisa menjadi pelajaran untuk hidup saya? Ya. kalau tak mengingat “PEMBATAS
BUKU” pernah menyentuh hati dan meresapi makna-makna “SAMPAI AKU LUPA”, mungkin
sampai hari ini, saya belum juga merasa malu apalagi sadar diri untuk kembali
berpuisi.
Tanjung Karang,
21 September 2017