Minggu, 08 Oktober 2017

Mengingat “PEMBATAS BUKU” Menanti “SAMPAI AKU LUPA”

 Membuat Aku Sadar Diri Untuk Kembali Berpuisi
Oleh Sani L Xia



PEMBATAS BUKU : Sweet Memories.

Andai alur-alur kreatif, cara-caranya mencintai dan membentuk apa pun dalam imaji seorang Yuli Nugrahani bisa difoto, pasti penampakannya akan tak kalah cantik dengan wajah Dian Sastro. Dian Sastro punya wajah cantik yang diakui, Yuli Nugrahani pun bisa menulis puisi-puisi yang aduhai tak kalah cantik. Nah, Apa bedanya pula cara saya menanti-nanti  “Sampai Aku Lupa”  seperti cara  ribuan kepala orang-orang yang menanti JK Rowling  meluncurkan Hary Potter seri terbaru? (Ah, kapan ya buku-buku  sastra bermutu  dinanti-nanti  dengan  cara  seperti  itu?)

Seperti itulah kira-kira saya menanti “Sampai Aku Lupa”  terwujud dalam bentuk buku. Penasaran dengan isinya. Akan bicara apa, sih puisi-puisi dalam  buku  itu, ya? Setelah tarik ulur mencari jadwal untuk bertemu, memohon-mohon waktu  luang  di tengah kesibukan  sastrawan perempuan  istimewa ini, akhirnya Mbak Yuli  memberikan  juga waktunya. 

“Aku tidak jadi ke kantor Kamis besok. Aku perlu memulihkan tubuh. Siang bisa ke rumahku. Kita rayakan Sampai Aku Lupa,”  begitu bunyi WA-nya pukul 8 pagi di hari Rabu  20 September 2017.

Dengan gembira, setelah Shalat Dzuhur, saya menutup kios Pet Shop sembari  mengingat beberapa kenangan manis berpuisi ria di halaman belakang rumah Mbak Yuli tepat di bawah pohon Kelengkeng dengan sarang-sarang burung di dahannya. Ya, sebuah perayaan dengan diawali doa selamatan, memotong tumpeng, lalu kami  (Mbak Yuli, Mas Fendi, Linda dan kawan-kawan Kenshi Bela Diri Kempo) bergantian membaca puisi dari  buku-bukunya bersama  Fendi Kachong pada 21 April 2017, setelah malamnya merayakan buku kumpulan cerpen “Salah Satu Cabang Cemara” di Dawiels Kafe.

Bisa dikatakan, itulah kebersamaan dengan cara sederhana namun pada hari itu, bagi saya adalah pesta yang berkesan : saya seperti orang yang baru pertama kalinya berkenalan dengan puisi. Terlepas dari cara pandang objektif terhadap isi dari buku-buku puisi itu, atau pun secara subjektif…  saya terlanjur nge-fans dengan penulisnya.

Dan bisa jadi saya tambah nge-fans  (tentunya saya nge-fans dengan artis pun setelah saya lihat aktingnya, talentanya, kecerdasannya, bukan lantaran gosip cetar membahana ataupun cantik apalagi gantengnya sang artis) setelah mendengar  Fendi Kachong membacakan puisi “Menyangkal Hujan” pada Kumpulan Puisi Yuli Nugrahani sebelumnya “Pembatas Buku”. Saat itu juga, saya kok  seperti orang yang  baru pertama kalinya mendengar orang baca puisi.

Cara Fendi membacakan dalam intonasi, power dan juga penghayatan yang mengalir lancar membuat saya tertegun.  Tanpa suasana yang dibeli dengan harga mahal, tanpa ditambah bebunyian dari alat musik apapun, tanpa mike dengan sound membahana, tanpa gerak tubuh yang di-lebai-lebai-kan, tanpa panggung yang diada-adakan… “Menyangkal Hujan” mampu membuat saya hanyut dan menitikkan air mata.

Walau saya tak mampu menembus makna puisi persis seperti yang dimaksud  penyairnya, namun saya membiarkan diri saya tenggelam ke dasar makna, menyelami kata demi kata, ikut mengalir bersama baris-baris sajaknya yang terkadang hening, kadang juga menggelora…

“Menyangkal Hujan” juga puisi-puisi yang lain dalam “Pembatas Buku” mampu memoleskan warna yang tak biasa juga  memberi suasana dalam ruang yang asing di mana saya seakan bisa melihat gerak dari ruh penulisnya.
***

SAMPAI AKU LUPA : Memaknai Buku Kumpulan Puisi Berlatar Biru.

Sesampainya di rumah Mbak Yuli, akhirnya saya lihat juga buku berlatar biru yang memang sangat “Biru” yang menyenangkan penglihatan saya itu. Sangking birunya –seperti segar, seperti sejuk, seperti tenang-  saya sempat abai dengan awan-awan dan seekor burung yang bertengger di sana.

“Kok biru, Mbak?” tanyaku menanyakan mengapa cover SAMPAI AKU LUPA diberi warna biru.

“Biru itu berarti kedalaman. Coba kau tengok langit, Biru. Tak bisa diketahui akhir langit itu di mana. Begitu juga laut. Akan susah diukur kedalamannya,” begitu jawabnya. Saya puas dengan jawabannya, saya makin terpikat untuk terus memandang warna birunya.

Begitu juga dengan gambar realis yang blur di cover belakangnya; kaca yang basah oleh air -mungkin tersiram  hujan- sehingga  apa yang terlihat dari luar terlihat blur. Pada gambar itu, saya menangkapnya seperti foto yang diedit, namun juga seperti lukisan dengan cat minyak di atas kanvas.  Walau saya mengagumi sinar-sinar dan silhuet yang tak jelas di balik kaca, namun mata saya dihadapkan dengan dua pilihan; terus menatap, menembus mencari wujud benda-benda terang maupun gelap di dalam sana… atau memilih mengalihkan perhatian pada sebuah tangkai yang ditumbuhi tiga helai daun yang benar-benar nyata di depan mata.

Lain dari kebiasaan, biasanya saya langsung membaca puisi tanpa melihat judul (kebiasaan buruk saya sebagai pribadi yang tak telaten dan tak sabaran; membaca novel dari halaman tengah, membaca cerpen dari endingnya, kadang saya membaca puisi hanya judulnya saja dan meninggalkan puisi tersebut begitu saja setelah jenuh dengan diksi-diksinya…) saya mengerem rasa penasaran saya terhadap “Sampai Aku Lupa”. Saya  tak langsung membaca puisi-puisi di dalamnya. Dalam diam, saya bolak-balik buku itu seperti saya menghadapi sebuah kue dalam kemasan, mengagumi bentuknya, melihat komposisinya (berharap aman untuk saya makan),  mencium  aromanya…

Ketika membuka “Sampai Aku Lupa” saya dahulukan membaca pengantar dari penulisnya, Epilog dari Fendi Kachong (Komunitas Kampoeng Jerami), endorsment Jauhari Zailani (Seorang Dosen), Novi Nusaiba (Penulis di FLP wilayah Lampung),  Suroso (Guru MTsN Mesuji), dan Suwanda (ketua FLP Lampung)… seolah saya menyiapkan diri untuk menerima seperti apa kira-kira isi kumpulan puisi ini. Akhirnya halaman  pertama  saya baca…

GERBANG SUNYA

Beginilah aku memulai hari ini:

….
Sepenuh daya aku menahan  suara
Menyembunyikannya di paruh kenari
Menguncinya di putik bunga kesturi

Dan sesekali seperti ini :

Menjadikannya sebagai puisi

2015

Pada “GERBANG SUNYA”, saya kira saya akan mengagumi bait ke-dua dan ke-tiga:
….

Kaki di antara serbuk litani
Kepala tersuruk getah jannati 
(Doa yang tercetus memotifasinya untuk memilih berbuat baik. Merupakan keyakinan spiritual yang hakiki. Balasan dari Tuhan, berupa (kebaikan)  surga setelah  dia menjalankan tugasnya  dengan  baik   dan  sesuai  aturan.

Yang kusebut sebagai doa
Terhampar di lantai dapur
Bersama kulit bawang, irisan timun
Bercampur cabang pembuluh darah
Menjelma jeritan di pelupuk mata

Saya setuju  juga dengan  yang dikatakan Jauhari Zailani (lihat : “Sampai Aku Lupa” hal 119 paragraf  ke 3), saya juga berpikir, itulah peran Yuli Nugrahani, seorang perempuan yang memiliki dua peran dalam hidupnya. Yang pertama, Yuli adalah sosok “Perempuan sebagai Ibu juga seorang istri dengan tugas rutinnya di rumah”, dan yang  ke-dua, Yuli adalah  “Perempuan yang berperan sebagai tokoh dan berkiprah di luar rumah”. Dua sosok dalam diri Yuli ini (secara sadar) selalu (ingin) menjaga setiap tindak-tanduknya untuk tetap bijaksana dalam perannya yang ke dua ini.

Dalam “GERBANG SUNYA” Saya justru terkesima di bait ke 5. Pada bait ke 5 dan selanjutnya,  saya (mungkin) melihat  peristiwa yang sesungguhnya dalam diri Yuli Nugrahani dalam menjalankan perannya tersebut :  
seorang Yuli  harus menjalani harinya dengan  Sepenuh daya aku menahan  suara.
Seorang Yuli  yang harus bisa Menyembunyikan (suara/kata-kata)nya (bila mungkin) di paruh kenari (agar tetap menyuarakan “yang terdengar” indah  dan  tidak menyinggung orang).
Yuli juga perempuan yang bisa berpikir kritis terhadap lingkungan dan orang-orang di sekitarnya di mana pun dia berada  Mengunci (keinginan menyuarakan uneg-uneg)nya (bila bisa) di putik bunga kesturi (menyimpan rapat-rapat ketidak sukaannya terhadap carut-marut/konflik dan bila mungkin dia tetap akan menampilkan “keharuman juga keindahan” layaknya  seperti Kesturi. Atau bisa jadi segala keburukan atau kebaikan yang ditemui/dialaminya akan diserahkan kepada Tuhan/Langit ; membuahkan apakah Kesturi  itu nantinya.

Dan jika pun seorang Yuli, tidak mampu untuk melakukan :
Sepenuh daya aku menahan  suara
Menyembunyikannya di paruh kenari
Menguncinya di putik bunga kesturi

setidaknya dia akan  melakukan :
Dan sesekali seperti ini :

Menjadikannya (segala yang dia kunci ; uneg-uneg, isi pikirannya baik yang positif maupun yang negatif) sebagai puisi

Mungkin itulah kira-kira yang saya lihat pada GERBANG SUNYA : ( dalam KBBI, GERBANG : Pintu masuk. SUNYA : Sepi/Bijaksana). Mungkin kira-kira GERBANG SUNYA adalah  PINTU MASUK MENUJU KEBIJAKAN YANG SEPI (tak semua orang mau/mampu memasukinya dan berada di dalamnya).

Namun jika puisi ini saya temukan dengan pemaknaan subjectif saya terhadap pengalaman Budhism. GERBANG SUNYA bisa disimpulkan sebagai “Pintu kebijakan dalam dunia fana menuju jalan batin untuk sebuah proses penekunan spiritual”.

Bagaimanapun, apa pun dan siapa pun manusia di dunia ini  harus berusaha memaknai dan menjalankan hidupnya dengan cara yang baik. Kefanaan harus dijalani “sebaik-baiknya” dan “selurus mungkin” untuk menuju sebuah pintu kekal abadi. Barang siapa yang berhasil menjalankannya, sudah barang tentu akan mendapatkan balasan (buah karma) yang baik pula. Dalam Budhis akan berbuah arahat, dalam Islam atau Nasrani akan berbuah Jannah (surga).  

Jalan menuju Arahat dalam Budhis juga dikatakan jalan spiritual yang sunyi.  Jalan menuju arahat tidaklah mudah. Tidak semua orang mau dan mampu mencapai Arahat dengan mengambil jalan  pintas yang sepi (menjadi seorang Bhiksu / Petapa) ini. Menjalankan hidup awam / perumah tangga adalah pilihan yang ramai “peminatnya”. Namun,barang siapa yang memasuki GERBANG SUNYA, maka dia akan  tercerahkan spiritualitas-nya dan akan cepat sampai nibana, tak lagi bertumimbal lahir seperti kebanyakan umat awam  yang belum merasa puas akan hidupnya yang sekarang ini. Ketidak puasannya akan merangsang tjita (pikiran) untuk tetap hidup dan “mencari kehidupan”.  Manusia yang memilih masuk “GERBANG SUNYA” sudah barang  tentunya akan lepas dari samsara.

Dalam GERBANG SUNYA mungkin seorang Yuli memberikan potret hatinya ; suara hati seorang perempuan  yang  menjadikan tindak-tanduknya sehari-hari  (yang secara alami) selalu berhati-hati. Selain me-numpu-kan kekuatannya pada do’a, eling pada Tuhan dan keyakinan akan adanya Jannati, sebagai perempuan yang berperasaan sekaligus ber-intelektual, perempuan yang memiliki peran sebagai aktifis sosial, ternyata Yuli juga “menyadari” dirinya telah dianugerahi bakat untuk mengendapkan  emosi-emosinya.

Tuhan memberikan kemampuan pada seorang Yuli untuk memilah perasaan dan  berkontemplasi untuk tetap mengemas isi pikiran dan keinginannya dengan rapi dan sebijak mungkin. Jika dia harus mengeluarkan isi kepalanya (jika ada pikirannya yang buruk setiap akan memulai hari-harinya atau teringat peristiwa kemarin)

Jahil dalam sebutir duga
Hadir setiap subuh menjelang

setidaknya dia bisa menyampaikannya dengan baik dan (masih bisa) sehalus mungkin : Lewat Puisi .

Wajar jika saya terpaku dan lama tidak beranjak dari  halaman pertama, setelah saya ingat pada pengantar di buku itu, rupanya “GERBANG SUNYA” adalah  berupa Judul dari bagian puisinya dalam satu  paket. Atau “GERBANG SUNYA” awalnya dimaksudkan sebagai judul buku dari puisi yang tak masuk dalam “GELANG KAKI KEKASIH”.

Ketika saya buka puisi-puisi selanjutnya, mata saya ikut melambat seperti lambatnya loading di kepala. Saya mencermati kata-demi kata, baris demi baris dalam  puisi “UPAYA”, “SEPI”, KEBERUNTUNGAN”… terus… sampai saya berhenti pada puisi ke 18 “AKU PEREMPUAN PENCURAH MINYAK WANGI”. Imaji saya berkembang dalam puisi itu. Saya seperti sedang melihat sosok Yuli dalam penokohan dan sedang dikelilingi oleh tokoh-tokoh yang lain (saya tertarik untuk membuat puisi ini ke dalam naskah teater).

Puisi-puisi 1 sampai 16 seperti datar, imaji-imaji yang umum. Yuli sendiri mengaku tidak puas dengan buku itu karena dia tidak menangani sebagaimana semestinya. Memang saya tak menemukan sentakan-sentakan atau greget seperti “PEMBATAS BUKU”. Namun saya merasa “SAMPAI AKU LUPA” begitu kaya dalam membangun kesadaran visual imaji saya.  Saya seperti menangkap slow motion yang bermakna; mengena. Seperti rekaman ulang pada suatu pertandingan sepak bola bagaimana Goal diciptakan, Hand terjadi, atau ketika terjadi pelanggaran… Dalam permainan sepak bola, kita akan melihat review itu dengan jelas untuk mengambil langkah selanjutnya; sah atau tidaknya detik itu berlaku sebagai landasan  wasit dan  juri mengambil keputusan.

Halaman demi halaman “SAMPAI AKU LUPA” seperti  review-review dari menit bahkan detik yang pernah terjadi/tercipta dengan detail. Peristiwa yang bisa saja tidak kita sadari atau bisa saja terlupakan justru menjadi hal atau suatu peristiwa yang  begitu penting. Keseharian itu kesannya tak penting, sampai peristiwa bernafas pun rasanya tak ada yang istimewa. Namun sehirup kecil nafas dan hembusan dengan saraf tak sadar itu justru hal terpenting dan terbesar yang bisa membuat diri tetap hidup!

SAMPAI AKU LUPA berhasil memberi makna-makna pada hal sepele sampai pada detik-detik cemerlang yang menggugah perasaan, terutama saat merasakan keheningan bersama sesuatu atau seseorang yang kita cintai. Saat memori itu terlintas dalam ingatan, sengaja tak sengaja, baik untuk sekadar bermemori ria atau bahkan berbagai macam kepentingan, “ingat kembali” dengan hal-hal sepele yang tidak maupun yang berkesan di hati  akan menjadi “motifasi” kita untuk memilih “aksi yang pas” di menit-menit kehidupan selanjutnya.

Setelah memberi ”reaksi” dari peristiwa sebelumnya, tentunya akan ada aksi-aksi lain yang akan mengalir atau malah akan menjadi suatu peristiwa yang diinginkan atau ditutup sama sekali. Tak ingin diingat, namun tak juga bisa dilupakan. Kadang terlupa, tapi kita merasa perlu menggali ingatan itu sedetail-detailnya. Ya. Ingatan dari peristiwa yang terjadi, apapun itu, adalah bagian dari kehidupan seseorang yang siapapun tidak akan  kuasa menghapusnya.

Dan dalam kehidupan sehari-hari, tak jarang ketika mengharapkan suatu peristiwa, kita juga bisa merasakan emosi-emosi,  letupan-letupan aneh, dan jantung yang berdegub kencang.

 Sampailah saya pada halaman ke 45, puisi ke-37. Antara tergelitik dan tak menduga, saya melihat slow motion itu. Review yang diperlukan “aku” setelah pernah be-reaksi, si aku menunggu dan mengharapkan “aksi” selanjutnya walau  hanya ingin diingat :

GAUN MALAM DAN TUKSEDO

Lipatan  gaun malamku
Berkelebat bersama gerak angin
Menyapa tuksedo yang kau pakai.

Ingatkah?

Mereka pernah tersampir di satu kursi
Suatu  [m]alam  pada sebuah kamar.

Ingatkah?

Nopember  2004

Mungkin itulah yang saya dapati ketika membaca “SAMPAI AKU LUPA”. Tak ada kata yang membuat suara menjadi meletup. Sudah kami praktikkan membacanya di bawah naungan  pohon  Kelengkeng di belakang rumah Mbak Yuli. Puisi-puisi dengan emosi datar itu justru indah bila dibacakan dengan apa adanya. Semacam percakapan biasa, semacam  bisik, semacam gumam namun bermakna… semacam mendengarkan langkah-langkah peziarah, bersuara semacam nada orang sedang berdo’a, semacam gumam mantra… seperti mendengar Sidharta saat memberi pembabaran Dhamma.

Jika mau disuarakan, mungkin di suatu malam… ingin rasanya menyelingi puisi-puisi yang padat dengan memori imaji atau imaji memori itu dengan lagu jawa versi jazz. Bisa jadi di halaman belakang rumah penulisnya (seperti keinginan Mbak Yuli). Dengan setting meja kursi yang ditata dengan bertabur cahaya lilin dan lampion kecil, saya membayangkan puisi itu dibacakan oleh sesiapa yang hadir dengan tetap duduk di tempatnya.

Puisi-puisi “SAMPAI AKU LUPA” tak perlu ngotot dijelaskan, tak perlu berat-berat mengerutkan kening untuk mendengarkan segala macam teori yang penting apalagi yang tak penting. Cukup kita mendengarkan tuturan dari penulisnya dengan gaya yang serupa dengan karya-karyanya. Kita bisa meresapi kata perkata yang begitu dalam maknanya. Baris demi baris akan mengurai setiap jengkal memori yang mungkin telah terlupa. Jika disikapi dengan rasa, puisi dalam buku ini akan menyatukan kita dengan realitas, pengalaman batin atau imaji kita sendiri.  Ah, sepertinya akan banyak yang tenggelam  SAMPAI AKU LUPA.

“SAMPAI AKU LUPA” benar-benar telah hadir dan berdiri di samping sosok Yuli Nugrahani. Membaca puisi demi puisi dalam buku ini, saya yang malas dan tak sabar menjadi tak sadar hanyut dalam kata demi kata, baris demi baris. Saya lupa dengan kebiasaan-kebiasaan buruk ketika membaca buku, saya tak lagi melangkah-langkah dan bersalto ria seenaknya melompati halaman 1 ke halaman 50, halaman 50 ke halaman 16, atau ke halaman  mana yang saya suka.  

SAMPAI AKU LUPA yang diakui hampir dilupakan penulisnya ini, saya justru bisa berlatih duduk anteng sembari menggali makna-makna dan mengingat kembali memori-memori hidup yang saya tak sadar terlah terlupa. Terimakasih kepada Tuhan dan semesta yang telah menjadikan peristiwa merayakan  puisi di bawah pohon Kelengkeng itu terjadi. Jika itu tak pernah ada, bagaimana saya bisa me-review ingatan saya pada kejadian-kejadian sepele yang sesungguhnya bisa menjadi pelajaran untuk hidup saya? Ya. kalau tak mengingat “PEMBATAS BUKU” pernah menyentuh hati dan meresapi makna-makna “SAMPAI AKU LUPA”, mungkin sampai hari ini, saya belum juga merasa malu apalagi sadar diri untuk kembali berpuisi.



Tanjung Karang, 21 September 2017

Selasa, 26 September 2017

Jauhari Zailani tentang Sampai Aku Lupa : "Aku Mengikuti Perjalanan Yuli."


Ketika Yuli memintaku menulis pada kumpulan Puisi Yulinya, aku berpikir ia sedang bercanda. Setelah melalui berulangkali ‘peringatan’nya dengan bahasanya yang halus “Saya tunggu, pak”. Saya tak berdaya. Kumpulan Puisi yang berjudul “Sampai Aku Lupa”, sempat aku lupakan. Namun, nyatanya aku tak kuasa menolaknya.

Tantangan sudah ‘terlanjur’ diterima. Setelah membaca berulang ‘Sampai Aku Lupa’, diriku hampir tergoda untuk menyerah. Sungguh kian nyata ‘diri ini’ tak pantas berkomentar pada kumpulan Puisi yang apik ini. Mulailah diri ini kebingungan. Dari mana menulis? Karena, setelah berulang kali menelusuri, Puisi “Sampai Aku Lupa” ini, ternyata kian rumit, amat detilnya. Aku terbawa pada suasana yang kian kompleks. Aku terjebak petualangan rasa pada jiwa seorang wanita. Mahluk yang hingga kini tak juga aku pahami. Aku seperti menelusuri sebuah oase yang maha luas, amat unik dan khas, dan bahkan cenderung misterius. Sifat yang khas manusia yang berbeda dan melekat pada setiap jiwa, membuatku harus menggenjot naluri maupun spirit pikir.

Akhirnya, daripada menelisik puisi satu persatu, akhirnya aku memutuskan membuat komentar umum, dari keseluruhan ‘Puisi Aku Lupa’. Bagiku, seorang penulis puisi adalah seseorang yang sedang ber “Dialog dengan Diri”nya. Sebagai penulis, Yuli ingin menyampaikan rasa dan hatinya kepadaku, tentu sebagai pembaca.

Sebagai pembaca dan penikmat puisinya, aku seolah mengikuti hidupnya. Yuli yang memulai hari-hari hidupnya dengan doa. Demikian juga diakhiri harinya dengan doa. Karena baginya, melalui kumpulan puisi ini aku merasakan “hidup adalah puisi”. Pagi hari disebutnya sebagai “Gerbang Surya”, ia renungi perjalanan dirinya dari dapurnya. 

Memang, perjalanan Yuli sebagai “Diri” nya dimulai dari pagi hari menjelang subuh, hingga subuh tiba esok harinya. Perjalanan hidupnya, amat ketat dengan doa. Pagi di dapur memanjatkan doa, dapurnya dipenuhi ‘sajen’ untuk ritual suci pada pagi hari. Pagi, saat yang hening untuk memulai aktifitas, dan merenung. Mata hatinya menatap bawang putih, cabe rawit, kopi, dan beras pun menjadi sajian dan sesajen kehidupan. 

Dalam “Gerbang Surya” itu, Yuli menulis:
….
Kaki di antara serbuk litani
kepala tersuruk getah jannati.
….
Yang kusebut sebagai doa

Tentu saja, perjalanan ini juga diakhiri dengan ritual menguatkan tekat, ‘magis’. Ketika malam larut, ia menulis Puisi, berdialog dengan dirinya. Dalam “Mantra”, ia larut dalam perenungan hidup seorang perempuan, yang acap berperan ganda dan jiwa yang terbelah dalam multi peran. Karenanya ia tetap berdoa, seraya menguatkan dirinya:

Mantra beruap dalam dupa
mendorong jendela-jendela terbuka.

Perempuan duduk di bingkainya
mencoba bertahan.
"Aku tidak mau melakukannya!"

Karena, bagi seorang Yuli, doa adalah ‘pagar-pagar kehidupan. Doa, mengalirkan semangat, mengalirkan harapan. Dalam “Subuh”, Yuli  menulis, kehidupan yang mengalir:

“Menjadi keping air.

Di ujung ilalang,
di kelopak anyelir,
di luas pandang:

Hati mengalir”.

Untuk menuangkan dalam puisi, Yuli nampaknya terlebih dahulu bercakap dengan dirinya. Diri si pembuat puisi dan diri yang melakoni hidup. Diri yang menjalani hidup, kadang sendu dan merindu. Kadang juga resah, bahkan marah. Tapi, dengan halus ia menahan diri, untuk tak menyakiti diriku, dan terutama dirinya. Karena Yuli tahu, jika ia memaki, sejatinya ia sedang memaki diri, dirinya.

Tentu, sebagai penulis puisi, Yuli amat memahami dirinya, Yuli amat teliti mengamati cermin yang ada di sekitarnya. Seperti bunga, aneka bunga dapat kita temui anyelir, mawar, kasturi, bahkan pada kembang tembakau. Ruang tamu, kasur hingga dapur adalah cermin sekaligus ungkapan “Puisi” seorang Yuli. Sekaligus menjadi pemantul dirinya. Dengan melihat cermin itu, sejatinya sedang melihat dirinya.

Menulis Puisi, apalagi dalam sebuah rangkaian waktu yang ketat, sejatinya merupakan perjalanan rohani seseorang. Yuli, adalah seorang perenung yang cermat. Segala sesuatu dicatat, direnungkan, ditanyakan, tak jarang digugatnya.

Dari cermin diri itu, Yuli menjadi seorang yang amat cermat, hampir tak ada yang lolos dari pengamatanya. Lolos dengan mata, akan ditangkap dengan pendengaran, dan nampaknya, Yuli menatap degan mata hati. Mendengarkan dengan pendengaran hati. Didengarnya suara derit daun jendela, selembut derit tulang-tulang ditubuhnya. Bisa juga derit ‘tua’nya, sekeras derit suara pintu dan jendela. Kali lain, Yuli menimang-nimang sayang kesayangannya. Si kecil, atau si tua yang lain.

Dengan tatapan hatinya, jauh jarak tak menghalangi Yuli ber“dialog” dengan dirinya. Meski terbetang jarak antara Tanjungkarang, Teluk Betung, Hajimena, Pahoman, Kediri, Lembang. Rentang waktu antara subuh, siang terik, senja hari, tengah malam. Atau jarak usia pada si bayi maupun pada remaja,dalam suasana canda dua manusia dalam kamar cinta, serta ungkapan kenangan seorang yang berangkat menua, atau seorang yang sedang dilanda rindu merindu.

Lama sekali menghitung tarikan nafas. Tua tak harus gelisah, tetapi tetap tersenyum. Sembari menghitung setiap derit’an tubuh.” Perjalanan hidupnya melanglang waktu antara pagi dan malam,  meresapi antara bunga dan buah, mewakili suara bayi, anak-anak, remaja, dan renta tua.

Perjalanan hidupnya juga menelisik ruang-ruang kelahiran dan kematian manusia, antara air dan embun, dan antara pertemuan dan perpisahan. Membuka pintu dan jendela, dengan doa dan harap. Mengusap-usap diri dengan kegairahan dan kepasrahan.  Menangkap burung yang berbahagia dan lipas yang gelisah di antara Katu dan perdu.

Perjalanan hidupnya adalah dialog “Antara Aku dan dirimu”. Diri yang ingin mengenang, tapi juga melupakan. Berkutat antara pintu dan jendela, antara impian dan kenyataan, Timur dan Barat di Kota dan Hutan. Antara dupa dan mantra.

Perjalanan adalah kumpulan langkah-langkah menuju tujuan-tujuan, tak selalu seorang diri, karena kadang memerlukan teman, dan juga bekal. Menunggu, menanti teman dalam keramaian, tapi merasa sepi. Perjalanan itu 

Betul, Sampai Aku Lupa.  Lupa menuliskan komentar, dan lupa doa pula. Selamat menikmati, semoga Pembaca tak seperti diriku.

Kali lain, aku merasakan ikut berpetualang dengan Yuli di hutan rimba kehidupan. Yang dengan anggunnya menelisik keasrian dan kelestarian alam. Aneka burung ditemukan, aneka tumbuhan ditemukan, tetapi juga ditemukannya sejumlah kejanggalan dan kerusakan habitat alam yang mesti dijaga dan terjaga. Aku lelah. Tapi Yuli menghardik.

“Jangan merengek seperti itu lagi.”

“Aku menambahkan pertanyaan :
“Apa yang kita sesalkan? Waktu? Uban?”

Kita tidak lebih buruk dari nasib tuan-tuan pembesar
pleci, manyar dan kenari telah jauh menghilang
dapur tempat kita bekerja menjadi pekat 
dan kita bertahan tetap membasuh mata dengan getah palem.

Kekacauan telah merapuhkan sarang lebah
membuat mandul para emprit
dan mematahkan batang turi sepanjang jalan.

Mata siapa yang tidak buta
namun masih mengharap bayi-bayi sehat
padahal mayat-mayat terayun dalam gendongan tanpa susu
dalam jepitan tangga berjalan di gedung pengadilan
bahkan tangisan terdengar sebagai lengking burung hantu
tanpa penghiburan.

Mari lihat bagian ini.
Keberuntungan sekarang adalah kelimpahan.
Saat kita masih punya cat minyak, kanvas dan kuas.
Tidak terlalu menyenangkan,
tapi kita akan bertahan.

“Sudah, jangan merengek lagi.”
Begitulah yang seharusnya”.

Kemudian, aku mengandaikan Yuli sedang berenang. Ia sedang mengarungi samudra yang amat luas. Sayangnya, aku tak memiliki kemampuan menyelam kedalaman laut. Daripada tidak, aku “membayangkan” saja sedang berenang di laut yang maha luas itu. Aku menceburkan diri dalam kolam renang, sembari terus membayangkan ‘rasa’ berenang atau menyelam di laut dalam. 

Dalam imajinasi, aku merasakan berenang ini sebagai sebuah perjalanan. Setidaknya, dengan berenang di kolam ini, aku bisa ‘berusaha bisa’ merasakan apa yang dirasakan Yuli.  Dari setiap kayuh tangan dan kaki, mengangkat gerak badan menuju tujuan. Di ujung sana, seseorang sedang menanti kehadiranku. Dia ‘sang penunggu’ sedang termenung seorang diri, dalam kesendirian, dalam kesunyian ia menanti kehadiranku. Terik matahari, tak dihiraukannya. Ketika Hujan deras sedang menerpa tubuhnya, ia anggap sebagai pemicu rindu pada kehangatan pada tubuh yang sedang dirindu. Oh merindu.

Dalam perjalanan ini, kadang harus ter’tunda’, bahkan harus ‘jeda’ atau ‘rehat’. Menyiasati kuasa diri, juga waktu tertentu dan terbatas. Memang, acapkali ‘kematian’ membayang dekat, sedekat bayang-bayang ‘pelabuhan’ yang berada di depan, entah di mana. Tapi itulah, ‘hidup adalah perjuangan’. Tak boleh lelah, apalagi menyerah. Meski selalu ditemani oleh kelelahan, keresahan dan gundah, kegagalan bahkan kegamangan hidup.

Yang lebih penting, dalam perjalanan ini, jangan ‘lupa’ segala doa dan harapan, terutama di lakukan saat ‘berkemas’. Pokoknya, jangan sampai ada yang lupa. Modal yang tak boleh dilupakan adalah soal ‘kebajikan’ manusia paripurna yang dapat menjadi gizi penambah semangat. Meskipun jangan juga melupakan ‘kebejatan-kebejatan’ yang tak jarang akan kita temui dalam perjalanan ini. Karena itu, teruslah berdoa untuk menguatkan hati, dan meneguhkan diri. Yuli menulis:

Mantra beruap dalam dupa
mendorong jendela-jendela terbuka.

Perempuan duduk di bingkainya
mencoba bertahan.
"Aku tidak mau melakukannya!"

Tangannya gelisah memunguti jeda
bertebaran di luar, di dalam
jeda-jeda beranak berpinak


satu beranak satu
satu berpinak satu.

Keranjang jeda penuh dalam hitungan masa
perempuan melihat keluar, kedalam
selalu bertahan
“Aku tidak mau melakukannya

Sebagai kata mantra beruap, berulang
bertahan.
“Aku tidak mau melakukannya”

Karena, suatu hari nanti, perjalanan ini akan dikenang sebagai ‘kenangan’ yang indah. Meskipun ingin hidup selamanya, nyatanya jatah waktu menunggu. Entah pada perjalanan pada kehidupan yang lain. Memang, pada akhirnya hidup adalah soal ‘pilihan’. Tak selamanya tepat. Untunglah, sebagai orang Indonesia, dalam hal ini orang Jawa, selalu memiliki obat ajaib, yaitu kata “untung’. Pokoknya selalu bersyukur dengan capaian-capaian, atau dalam keadaan dirinya. Aku masih beruntung.

Mungkin saja, dalam perjalanan manusia menemui kekesalan, kemarahan, keberhasilan dan kegagalan. Perjalanan mengejar ‘impian’, apalagi pada seorang perempuan yang amat rajin memelihara kenangan. Yuli menulis:



........
2.
Perempuan-perempuan harus turun
menjelma bingkai jendela yang dikosongkan.

Perempuan-perempuan harus turun
menjejak tanah dengan asta terkatup

Bibirnya merapal mantra, menolak ketakutan :
“Sun orakelara, sun bisalelunga.”

Mangalsutra dilepasnya
manik-manik yang tersisa dihamburkan.

Payalnya tak lagi berbunyi, tapi lantunan gemetar :
“Sun ora kelara, sun bisa lelunga.”

Mantra berulang di bibirnya menyemburkan keyakinan.
Lewat nafasnya, lewat nadinya.

3.
Tanda-tanda pernikahan sudah diurai
satu-satunya yang terikat adalah untaian rambut.
Diamemulaidaritempatitu sebagai pelepasan.

"Swatra bi lukasimang
aws art ibulisakgnma."

Bukan bahasa bukan kata
tapi langkah yang terlanjur dipersembahkan.

Perempuan memantapkan pandangan
jedadan air mata diremas menjadi niat
dua lengan diayunnya bagai penyeimbang.

Inilah lelaku terakhir putaran purnama
mantra terus diucap pun saat dupa dipatahkan.

"
Swatra bi lukasimang
aws art ibulisakgnma."

Bukan bahasa bukan kata
tapi langkah yang telah dipercepat.

Mengingat suatu semadi tanpa catatan
yang pasti akan diulanginya nanti
bila  purnama baru hendak memulai putarannya
dengan buah-buah jeda yang siap digalah.

Kini,
diasuh oleh kakinya
dia terus berjalan.

2013
MANTRA”


Perjalanan ini, adalah jalinan kenangan pada yang terkasih, utamanya adalah ‘Emak’. Karena ‘perjumpaan dan perpisahan’ adalah ritme dan alur kehidupan manusia di samudra yang amat luas ini.

Nah, ngomong apa aku ini. Meracau saja. Ah iya, Sampai Aku Lupa.

Bandar Lampung, 10  Agustus 2017

Jauhari Zailani
(Dosendanpenyukasastra)