(Sebuah catatan proses “
Titik Temu”, Buku Kumpulan Puisi Komunitas Kampoeng Jerami dalam dinamika
prosesnya)
(Bagian
Awal)
Saya,
segera menguatkan perasaan dan keinginan untuk menuliskan semuanya. Gambaran
proses awal sampai ke beberapa ingatan bagaimana proses yang dimulai dari titik
nol ke “titik temu” dalam sebuah gagasan sederhana yang mengikuti detak
keinginan untuk saling memicu dan mengalirkan semangat untuk berproses di dalam
sebuah group yang dulu disepakati untuk menjadi tempat berkumpul, share karya
dan ulas puisi serta menulis bersama dengan tema kegiatan puisi satu tema
(putute).
Ide
putute ini, ternyata mampu membuat semua pintu seolah membuka dirinya sendiri,
seolah melambai semua orang untuk bersama, bersatu, saling menyemangati. Dan host pada
setiap kegiatan pada putute jelas akan diwarnai wajah yang selalu murah senyum.
Sebut saja, waktu itu, ada Umirah Ramata, Lia Amalia Sulaksmi, Nova Linda. Yang
kini dua orang sahabat kita ini kini mengambil jeda demi beberapa alasan
kemanusiaan.
Dari
sekadar berbahagia mengawali kebersamaan dalam bidang tulis menulis,
terutamanya bentuk puisi,
kami
mulai sering mengangkat tema-tema kecil. Tema itu
disodorkan untuk memicu gairah menulis, misal dari beberapa tema yang kami bisa
sajikan seperti hujan dan akhirnya lahir dari rahim kami dalam ujud bayi mungil pertama yang
menatap dunia. Ini
seperti pintu untuk berkenalan dan tertawa melihat semua
kenyaataan yang ada. Dan dari buku “Hujan Kampoeng Jerami” mengantar banyak kisah lain sebagai
anak-anak yang nakal. Pun dari buku tersebut tiga daerah dan tempat di bilangan Sumenep pada
tahun 2014 menjadi tempat bertemu dan mengantarkan warna baru karena
mengenalkan sosok Yuli Nugrahani. Seorang perempuan, aktivis kemanusiaan,
cerpenis dan penyair dari
Lampung yang diantarkan oleh masa dengan menunggangi
bukunya “Daun-daun Hitam” sampai membelah dua selat. Saat itu Hujan Kampoeng Jerami dan Daun-daun
Hitam menjadi bahan diskusi dalam kesempatan di tiga tempat di Sumenep.
Sepanjang
perjalanan, sepanjang kenangan inilah bagi saya akan menjadikan semua untuk
tetap direkam dalam bentuk tulisan, entah, tulisan ini akan menjadikan dirinya,
membentuk tubuhnya dan menjadi pengingat
suatu hari bahwa semuanya pernah ada cerita yang diawali dengan semangat
pertemanan, persaudaraan.
(Bagian
Kedua)
Seperti
halnya di atas saya tuliskan, sukses menerbitkan buku pertama dengan “Hujan Kampoeng Jerami”, kegilaan kami
semakin kami uji, dengan mencoba merumuskan kembali buku kedua. Buku pertama yang
pasti lahir dari segala bentuk keterbatasan dan kekurangan mulai dari
prosesnya, pengolahan data, kerja tim sampai pada kerja-kerja yang terukur dan
terbaca menjadi teknis lapangan yang situasional dan kondisional menjadi bahan evaluasi kami. Semangat pun
menjulang dengan gagasan kedua. Gagasan jelas ini akan
lebih sulit bagi kami. Karena, dari beberapa catatan pertama itulah diskusi di Relawan Kampoeng Jerami, (
istilah admin group di kampoeng jerami adalah relawan, sebelum bahasa relawan
ngetop karena presiden dalam masa kampanyenya menggunakan kata relawan juga).
Pertemuan
gagasan, dan pengambilan keputusan terkait tema pun digulirkan. Maka
akhirnya disepakati “Titik Temu” sebuah buku yang mencoba melahirkan sebuah
sajian baru. Kami mengundang anggota group dan mengundang beberapa penyair nasional,
baik yang ada dan menetap di daerah-daerah dan beberapa akademisi, aktivis
sosial, dan sebagainya.
Perbedaan ragam inilah kami sepakati sebagai persembahan
dan perjuangan baru yang sederhana dan membantu pemerintah, lembaga sosial, dan
lebih-lebih menguatkan visi dalam diri sendiri biar seperti lonceng pengingat
dengan menghargai segala ujud dan bentuk perbedaan itu sendiri.
Saya,
mencoba melepaskan ingatan pada suatu malam, ketika diskusi dengan Yuli
Nugrahani waktu saya mengantarnya ke Surabaya, meski pada waktu itu secara
kebetulan saya diminta datang ke acara Teater nol di Dewan
Kesenian Surabaya. ( kelemahan saya tak ada waktu dan tanggal yang bisa dengan
mudah saya ingat, sedang catatan berupa buku selalu tercecer di mana-mana).
“Oh,
iya Fen, berapa kawankah di Sumenep yang dengan tegas mengatakan dirinya adalah
Komunitas Kampoeng Jerami?”. Tanya Yuli memecah lamunanku pada waktu itu.
Saya
kembali bercerita, dan mengulang semangat dari tatapan mata Sigit yang biasa
disebut dengan Bangbung. Selama ini dia menjadi kawan berproses mulai dari
Sanggar Rakyat Merdeka (SRM), Ada Ferli Atma Jaya (tokoh baru penuh semangat dalam
perjalanan Komunitas Kampoeng Jerami), Ipak Grak (Seorang kawan yang mulai
dulu juga berkomitmen atas kerja sosial dan kesenian di sanggar kami dulu). Hasmidi
Ustad, Habib Tawakal, Fauzi El-Fath, Amir Faishol dan Oci gesang, musisi muda
yang kini sedang berproses di komunitas musiknya juga. “Wah, ada beberapa yang
masih aktif dan beberapanya lagi masih perlu digelitikin Yul.” Jawabku pada
Yuli.
(Bagian
Ketiga)
Bagi
kami, seumpama musafir yang tak membawa peta dan peralatan untuk menjelajah
yang sangat terbatas. Tetapi, mungkin satu-satunya yang kami miliki adalah
genggaman tangan, saling menguatkan dan saling mengingatkan. Sehingga, pada
bagian melancong di pagi buta inilah, jalan kami terkadang terantuk-antuk dan
saya secara pribadi meyakini, semua orang yang berproses pasti memiliki warna,
permasalahan, dinamika naik dan turunnya emosi sampai pada tawa, marah dan
benar-benar kini menjadi senyuman manis setelah mengenang segala upaya itu.
Di
bagian ketiga inilah, proses dan dinamikanya makin kencang, mulai dari pengumpulan naskah,
kanan-kiri saya dan kawan-kawan bersuratan kepada beberapa penyair nasional dan
rasa syukur dan ucapan yang tiada terhingga, ketika beberapa orang penyair
Madura yang terjalin komunikasi dengan kami membuka dirinya untuk melibatkan
tulisan di buku “Titik Temu” ini. Saya mencoba mengenangnya kembali.
Ada
K. Muhammad Zamiel El-Muttaqien. Seorang yang dari awal memang saya jadikan
tempat untuk mendengar cerita saya ketika lemah, ketika butuh tempat untuk
mendengarkan saran dan motivasinya. Beliau akhirnya mengirim tulisan juga. K.
M. Faizi penyair dan seorang guru dan menjadi motivator juga dalam menulis,
menelisik kiprahnya yang sampai sekarang masih eksis juga. Syaf Anton Wr.
Seorang guru dan kini menjadi kekuatan motivasi bagi Kampoeng Jerami. Pada
masanya, tahun 1999 Madura terutama Sumenep menjadi barometer kekuatan kesenian dan
kebudayaan khususnya di Surabaya, tandas beliau. Dan memang dari tatapan mata
beliau, semangat itu masih nyala. Meski saya juga masih merasa sedih karena
belum maksimal mengumpulkan semua tulisan tan taretan yang ada di seputar Madura
oleh ketersediaan kesempatan dan keterbatasan daya jangkau alat komunikasi
lainnya. Tetapi, saya yakin suatu hari saya akan mencoba mendatangi beliau satu
persatu atas ijinNya. Amiin.
Sebulan
proses menunggu pengiriman naskah dari beberapa penyair itulah bagian teringan
dan bagian yang paling santai, meski tetap ada was-was dan guncang perasaannya
yang berkembang pada waktu itu. Dan itu sangat pasti adanya. Oleh beberapa
tahapan itulah, dari sebaran surat kami kepada orang yang akhirnya dapat dibuktikan
setelah akhir bulan 60 penyair bergabung di buku titik temu ini.
Sampai
pada akhirnya, proses editing dilakukan secara ketat oleh Yuli Nugrahani,
sebagai editor, meski tetap kami lakukan secara bersama. Karena semua orang
memiliki titik lelah, titik jenuh, titik bosan dan segala titik pasti akan
bertemu. Kami sering saling memantau, Yuli juga akhirnya menyambungkan buku ini
ke tangan-tangan yang lain, tangan lembut kang Dana E Rahmat membuat keindahan
dalam buku ini menjadi lukisan-lukisan yang kang Dana pautkan di buku ini. Dan
dengan ini saya secara pribadi dan mewakili kawan-kawan yang lain mengucapkan
terima kasih ke kang Dana E Rahmat pelukis asal Lampung dan Mas Devin yang
juga membantu membuat buku ini hadir dengan lembut sesuai warnanya.
Pada
bagian yang lain Yuli mengantarkan buku ini pada tangan Komisioner Komnas HAM.
Ibu Siti Noor Laila. Yang juga memberi kata pengantar dan menulis puisi “Amanat”
sehingga semua titik seolah menjadi terwakili meski tak semuanya. Tapi,
minimalnya menjadi simbol keberagaman yang lebur dalam satu buku ini. Buku
“Titik Temu.”
(Bagian
Kelima)
Umirah
Ramata yang bertugas di bagian pengumpulan naskah, dan seorang penyair dari
Bengkulu yang juga seorang dosen Cici Mulya Sari sangat sabar mengelola
informasi, baik kepada kawan-kawan penulis dan terlebih mengatur pola
komunikasi group di wilayah internal Tim Penyusun buku ini. Mengelola naskah, keuangan dan
mengumpulkan donasi baik dari penulis yang rela dan sudi. Akhirnya semua
pekerjaan mendekati satu titik akhir yaitu peluncuran buku pada tanggal 10
Desember 2014 dengan menggunakan kekayaan dunia maya. Kami meluncurkan buku ini
pertama kalinya, dengan disambut bahagia oleh beberapa media di berbagai daerah
dengan sampai menyampaikan woro-woro kelahiran bayi mungil bernama “Titik Temu.”
(Bagian
Keenam)
Bagian
inilah yang mungkin saya akan katakan dalam bentuk cerita panjang, sebagai
suatu prosesnya ketika buku dilahirkan, maka dia telah masuk pada medan
teka-teki, misterinya waktu dan berbagai warna akan menghiasinya sebagai
cerita. Konon, tak ada ceritanya bagi yang sekadarnya melakukan sesuatu hanya
dengan sebatas semangat saja tak akan cukup. Konon, hanya orang yang punya
kesempatan dan hal-hal yang berbentuk fasilitaslah yang memiliki peluang lebih
besar untuk mengibarkan bendera di puncak gunung. Meski bukan semata-mata
kegagahan tapi adalah dari bagian rasa kebahagian karena telah mampu melalui
halang rintang yang ada.
Menjadi
yang misteri melihat siapa kami awal dan dalam perjalanan ini. Di kota saya,
saya bukan bagian dari apa dan siapa yang pantas diperhitungkan. Tetapi, benar
saya tak memedulikan hal itu. Bagi saya adalah berkarya baik di tulisan dan
dunia nyata saya tetap memasang mata untuk mengarahkan kaki. Sama seperti dalam
buku ini. Dalam titik temu ini. Saya tak pernah bertemu dengan Syaf Anton Wr
(abang, saya memanggilnnya, meski ketika beliau sudah getol dan keras
dalam berkesenian, waktu itu saya masih sekitar kelas 2 SD). Cerita ini dimulai
dari perbincangan dan diskusi dengan K. Muhammad Zamiel El-Muttaqien.
Perbincangan kami biasanya mengalir, dari situasi sosial, politik bahkan pada
perbincangan tanpa ujung dan batasnya, sampailah pada bagian ketika saya
meminta saran beliau, dan beliau banyak mengarahkan, memberi saran dan memicu
semangat untuk tetap bertahan dan itupun minimalnya yang bisa dilakukan dalam
masa keterbatasan yang nyata. Pun, akhirnya saya berkunjung ke rumah Bang Syaf
Anton. Perihal buku titik temu. Lalu dengan cepat bang Anton mengajak saya
sowan ke RRI Sumenep. Dalam perbincangan yang begitu cepat akhirnya kami
dipersilahkan menggunakan ruangan di Studio RRI Sumenep.
Ferli
dan Sigit menjadi teman dalam mengurus beberapa kebutuhan. Ferli menjadi
panitia yang bisa sangat diandalkan, komitmen dan rasa letih yang biasa
ditangulangi dengan catatan Acara tanggal, 3 Januari 2015 yang bergeser ke hari
Minggu, 4 Januari 2015 ini terlaksana. Kami bergelut dengan tugas
masing-masing, sampai pada akhirnya Habib Tawakal dan Hasmidi Ustad, Ipak grak,
Rifky Raya bergabung dan bahu membahu.
Sepanjang
perjalanan persiapan peluncuran, mungkin tak akan ada hitungan yang pas,
bagaimana lelah dan letih. Seperti
halnya kegamangan tingkat kehadiran peserta, dan mungkin lebih pada perangkat
acara yang lainnya. Secara hidangan memang kami tak bermewah-mewah lebih
tepatnya menggunakan langkah cerdas, hemat dan tak banyak makan biaya, kembali
pada ubi, tela dan tapai serta minuman air legen acara peluncuran buku titik
temu diantarkan, sedangkan dari sisi acara, mengalir, mulai dari pembukaan oleh
MC Hasmidi Ustad, dilanjutkan dengan sambutan Panitia oleh Ferli Atmajaya yang
dalam statmentnya kini peluncuran buku titik temu dan pertemuan itu adalah
dalam rangka menghangatkan kembali kesenian di Sumenep.
Syaf
Anton Wr memiliki kesempatan untuk menyampaikan orasi kebudayaan sebagai salah
seorang yang sesepuh, beliau dengan semangatnya menyampaikan bahwa banyak
harapan dan mimpi ke depan, bahkan menjadi penting merumuskan kembali
pertemuanan bulanan yang santai, dan rileks entah itu semua bisa berbentuk
warung, tempat berkumpul, bercanda, dan tempat bertemunya sekian banyak aktivis
kesenian di kota Sumenep.
Selang
selanjutnya, pementasan Teatre dari Sanggar Cemara dengan judul di atas buku,
sebuah pertunjukan yang lahir dari kupasan tema dari buku Titik Temu dan dilanjutkan
dengan musikalisasi puisi masih dengan sanggar Cemar Universitas Wiraraja dan
Sanggar Tujuh Pintu.
Peserta
amat tenang menikmati, kebetulan ruangannya memang menuntut tenang, alunan
musik dan sapaan lagu seolah memang di sinilah titik temu rindu itu. Waktu
bergerak. Pada bagian yang inilah saat yang paling bergelora setelah K. M.
Faizi membacakan puisi dari buku Titik
Temu sebuah karya dari Alex R Nainggolan sesama penyair yang langlang
buana, K. Faizi dengan ksderhanaan serta penghayatannya membuat peserta kembali
dibawa ke alam yang entah bahasa yang mana yang mampu menggambarkannya. Sedang
Bung Mahendra diminta membaca puisi selanjutnya dengan alat tiupnya telah
memukau para peserta dengan pembacaan yang membuat terpana. Mahendra
menghipnotis peserta, serta dilanjutkan dengan pembacaan puisi oleh Bang
Syaf Anton Wr. Banyak tipikal serta bahasa mimik yang menggetarkan, ah inilah
mungkin yang sama-sama dirindukan, sama-sama ditunggu, silaturahmi para
Pendekar penyair, istilah yang saya pinjam dari mas Agus Gepeng, masih seputar baca
puisi. Penyair senior dan atau pendekar selanjutnya yang membaca puisi adalah
Dayat Raharja, beliau tampil dengan biasa serta membaca puisi dengan tenang
tapi tetap dalam wibawa, pendekar ini membacakan puisi karya K. Muhammad Zamiel
El-Mutaqien yang berhalangan hadir pada kesempatan peluncuran buku. Beliau
mengontak dan meminta maaf atas ketakhadirannya.
Pembaca
puisi selanjutnya adalah Moch Ghufron Cholid, kawan dari Sampang ini membacakan
puisi dari buku titik temu lewat karya Bunda Sastry Bakri. Pun Tika Suhartatik
yang dikenal akrab dengan sebutan Melati menjadi penutup dari pentas pembaca puisi. Tika
satu-satunya perempuan yang membacakan puisi, di samping akhirnya Tika menjadi
moderator yang dalam bedah buku serta peluncuran buku dengan pembicara Dosen
Unesa Much. Khoiri yang lebih banyak membahas dan mendorong serta berbagi
semangat dalam berkarya. Di samping itu Fendi Kachonk mewakili Kampoeng Jerami
memberikan berapa statement dan harapan ke depan, bahwa Kampoeng Jerami bisa menjadi wadah bagi setiap menulis untuk
menerbitkan buku serta berbagi proses bersama dalam kembali membangun semangat
berkarya.
(Bagian
Penutup)
Akhirnya,
sampai pada puncaknyalah, pada bagian penutup Komunitas Kampoeng Jerami,
menyajikan lagu penutup dalam bahasa K. Faizi “Lagunya mendayu-dayu, Fen.” Saya
tersenyum membaca pesan dari K. Faizi. Ferli, Ipak Grak. Oci Gesang, Sigit,
Rifky Raya bersama menyanyikan sebuah lagu dari Sigit dan di sela itu puisi
Kelak Bila Kau pulang karya Fendi Kachonk menyampaikan pesan, sayonara mari kita
pulang dan berjumpa kelak dan nanti.
Cerita
Titik
Temu
akan mengalir kemana nasib membawanya, dan bagi semua penulis, semua kalangan
yang terlibat, semua person yang telah mendukung ucapan terima kasih yang tak
terhingga, semoga buku ini bisa menjadi bahan berdiskusi, di semua daerah, di
semua tempat yang ada penulisnya, atau pada komunitas manapun yang berkenan.
Dan
bagi kawan yang ingin memesan buku ini silahkan bisa menghubungi FB/ Via Email kampoeng.jerami@yahoo.com:
Umirah
Ramata (Untuk Taiwan dan sekitarnya)
Masita
Rianya (Untuk Bali dan Jakarta)
Lia
Amalia Sulaksmi ( Untuk daerah Bandung)
Ferli
(Untuk Daerah Sumenep)
Cici
Mulia Sary ( Daerah Bengkulu dan sekitarnya)
Yuli
Nugrahani (Lampung dan sekitarnya)
Yenni
Afrita ( Padang dan sekitarnya)
Atau
Sms ke nomor hape, 081803148431.
Nb,
Untuk pengiriman buku akan dikirim secara bergiliran mulai dari minggu ini,
semoga kawan-kawan yang bukunya nanti setelah sampai memberi kabar melalui /
tag foto ke akun kampoeng jerami, akan senang dan bangga bila ada catatan
mengenai buku ini. Baik berupa esai, saran dan resensi. Karena kami sadar masih
banyak yang mesti dievaluasi untuk perbaikan dari sebuah perjalanan proses ini.
Dan bila ada CETAKAN YANG RUSAK, MOHON INFORMASINYA, PIHAK KAMI AKAN
MENGGANTINYA.
Demikian,
terima kasih. Mari tetap semangat dan bergandengan.
Salam.
Fendi Kachonk