Kamis, 22 Januari 2015

Pertemuan Rutin dan Belajar Bersama Komunitas Kampoeng Jerami

Pertemuan Rutin dan Belajar Bersama
Komunitas Kampoeng Jerami
(sebuah catatan proses)
Oleh : Fendi Kachonk.

Hujan belum reda. Saya melihat getar hape ada telpon yang masuk. Dan ternyata setelah saya lihat telpon dari K. Muhammad Zamiel El-Muttaqien. “ Fen, tempat acara masih di Seludang kan?” Dengan agak sedikit kaget saya menjawab. “Iya. K. Miming tempatnya masih di tempat bedah bukunya Yuli Nugrahani, di rumah Ferli.” Selang berapa jeda dari jawaban saya suara K. Miming terdengar kembali. “Saya sudah ada di Luar.” Dan telpon pun segera saya tutup. Sedang hujan masih saja menyisakan gerimis. Sumenep seperti dipayungi dan hujan. Ada berapa kawan yang saya undang ke pertemuan akan sedikit terkendala. Dan, rupanya benar perkiraan saya. Kawan-kawan seperti Sigit, Habib, dan Isfak serta Musfiq dan berapa kawan yang lain tak jadi datang karena hujan.






Saya dan K. Miming duduk berdua. Ferli segera paham untuk belanja minum dan rokok untuk kebutuhan pokok dalam perbincangan ini. Sebelumnya, dari proses peluncuran dan dari selesainya peluncuran buku kumpulan puisi “Titik Temu” yang melibatkan berbagai penulis nasional dan dari berapa daerah di Indonesia ini telah mampu menarik semangat berapa kawan untuk lebih serius mengadakan pertemuan. Memang “Titik temu” untuk kali pertama telah diluncurkan di Kabupaten Sumenep tepatnya pada tanggal, 4 Januari 2015 dan dihadiri 80an peserta yang mengisi ruang di LPP RRI Sumenep mampu memberi semangat baru.

Pada saat itu, di sela saya dan K. Miming ngobrol santai. Tangan dan jari-jari saya masih sibuk mengontak dan memastikan berapa teman yang bisa hadir dalam bincang santai ini. Dengan sedikit nakal saya telpon Isfak, Hasmidi dan terakhir saya menelpon mas Syaf Anton Wr yang sebenarnya sangat sedikit lancang saya telpon beliau. “ Salamu’alaikum mas Syaf Anton. Apa sekarang ada di rumah?” tanyaku. Lewat telpon itu juga ada jawaban mas Syaf Anton. “Iya. Saya ada di rumah. Ada apa, fen? Pertanyaan mas Syaf Anton dari seberang. “ Duh! Asik ya mas, bila mas Syaf Anton bisa ngumpul dengan kami. Karena sekarang kami sedang akan berkumpul untuk berbincang Komunitas Kampoeng Jerami dan di sini telah ada K. Miming.” Suara saya galau. “ Oh, Iya saya akan ke teman-teman sekarang,” Jawabnya. Saya tersenyum dan merasa gembira.

Selang berapa menit mas Syaf Anton sudah bersama kami. Jadi saya, K. Miming dan Mas Syaf Anton. Dan saya masih sempat menunjukan lemari saya dalam bentuk tas yang di situ tersimpan tulisan mas Syaf Anton dan Mas Hidayat Raharja : Negeri Impian yang pernah menjadi tetesan sejarah ketika pendekar sastra dari tanah Madura ini pergi ke berapa tempat untuk membacakan puisi-puisi tersebut sampai ke tapal batas dan bagi saya dalam imajinasi beliau berdua dulu lewat forum bias tak kalah kerennya bila diumpamakan sebagai sepasang merpati yang mengibarkan perndamaian dan bisa jadi seperti sepasang sejoli.

Setelah saya tunjukin buku-buku itu dan sempat membuat mas Syaf Anton kaget. Karena, sebenarnya beliau juga sudah tak memiliki sebagian buku itu. Sedang misi saya memang untuk menyelamatkan aset dan saya gendong ke mana-mana untuk dapat suntikan energi beliau-beliau dalam berproses. Bergantian saya melirik wajah K. Miming sambil berbicara. Dalam hati saya merasa haru dan bangga. Karena memang demi sebuah proses ini. K. Miming dan mas Syaf Anton meluangkan waktu sedang hati dan perasaan kacau balau. Hasmidi yang sudah bekerja di STKIP juga sudah datang. Ferli membawa minuman dan setumpuk rokok di Tangannya. Ada sms dan BBM yang memberi tahukan soal ijin tak bisa hadir. Rifki Raya datang dengan senyum dan wajahnya yang tenang langsung bergabung bersama kami.

Saya, tinggalkan sejenak ke belakang dan kesempatan itu saya mencari kontak mas Hidayat Raharja dengan hati sungkan dan terpaksa tetap berusaha untuk memberanikan menelpon mas Hidayat Raharja dan yang menerima telpon saya istri mas Hidayat Raharja. “ Salamu’alaikum.” Ucapku. Di seberang menjawab “ Waalaikum salam. Dari siapa? Perlu sama mas Dayat ya?” saya lantas menjawab. “Dari Fendi Kachonk. Iya mas Dayatnya ada bu?”. “ Ada. Ini Mas Dayat.” Ujar ibu yang istrinya mas Dayat. Berapa detik sura khasnya mas Hidayat Raharja terdengar. “ Hallo. Ada Fen!”. “ Maaf mas Dayat mengganggu. Di sini teman-teman sedang berkumpul. Ada Mas Syaf Anton dan K. Miming, juga teman-teman yang lain, semoga mas Dayat bisa berkumpul juga.” Dengan rasa sungkan untuk meminta datang pun hinggap. “ Oh, Iya! Tunggu saya sholat dulu. Baru akan kesana, ya?” Dengan rasa senang saya sampaikan ke forum untuk sabar menunggu mas Hidayat Raharja.
 
Akhirnya berkumpullah berapa orang ini : K. Muhammad Zamiel El-Muttaqien, Mas Syaf Anton Wr. Mas Hidayat Raharja, Ferli Charaneka, Ramzi Mistis, Rifki Raya, Fendi Kachonk, Wawan, Hasmidi, Fauzi El-Fath. K. Komang. Obrolan hangat dan penuh canda pembahasan soal berapa kegiatan pun dimulai. Saya bertindak untuk membuka yang dengan selanjutnya diskusi santai dipandu oleh K. Miming sampai semua orang memberi pandangan yang saya rangkum adanya kesamaan keinginan tentang berapa hal terkait Komunitas Kampoeng Jerami ke depan sebagai wadah belajar bersama dan disepakati untuk mengawali dari semua harapan dengan membentuk pertemuan setengah bulan sekali yang isi dari pertemuan itu murni untuk berbincang soal karya dan pengumpulan naskah dari karya-karya semua kawan yang secara bergiliran akan dikomentari dan diesai untuk memberi ruang belajar bersama. Pertemuan setengah bulan sekali itu disepakati pada tanggal, 31 Januari 2015, tempat di laksamuda dan jam, 19.00 WIB.

Dalam pertemuan ini juga banyak gagasan misal : Lesehan sastra bulanan dan baca puisi bersama, serta work shop kepenulisan dari sekolah ke sekolah. Namun, gagasan ini masih akan menjadi kegiatan jangka menangah karena disepakati untuk saling menguatkan di internal terlebih dahulu sebagai ruang untuk menyatukan dan saling mengumpulkan energi kerbersamaan ke depan.

Saya kembali bisa belajar bahwa tak ada mudah dan gampang apalagi untuk yang namanya menyepakati kapan dan waktunya. Karena memang semua orang telah memiliki kesibukan masing-masing. Maka dengan senyum dan rasa sukur yang tiada terbatas saya tersenyum. Inilah proses dan di sinilah buku “Titik Temu” telah menjadi pintu masuk untuk menghangatkan kembali atau tepatnya menjadi pintu untuk kembali duduk bareng, belajar bersama, dan sehingga apap pun nanti. Maka catatan proses ini akan selalu menjadi catatan penting dari sebuah pencarian dan nakalnya kami yang memiliki keterbatasan di berapa titik. Namun, pada titik kosong itulah semoga ke depan bisa di isi oleh satu sama lain.

Titik Temu, titik pandang, titik segala titik. Menjadi garis horisontal dan juga vertikal.

Tetap semangat. Alhamdulillah. Semesta berdoa untuk kita bersama.

Salam.



Selasa, 06 Januari 2015

TAK ADA LUKA SEJARAH DALAM PROSES




(Sebuah catatan proses “ Titik Temu”, Buku Kumpulan Puisi Komunitas Kampoeng Jerami dalam dinamika prosesnya)

(Bagian Awal)
Saya, segera menguatkan perasaan dan keinginan untuk menuliskan semuanya. Gambaran proses awal sampai ke beberapa ingatan bagaimana proses yang dimulai dari titik nol ke “titik temu” dalam sebuah gagasan sederhana yang mengikuti detak keinginan untuk saling memicu dan mengalirkan semangat untuk berproses di dalam sebuah group yang dulu disepakati untuk menjadi tempat berkumpul, share karya dan ulas puisi serta menulis bersama dengan tema kegiatan puisi satu tema (putute).
Ide putute ini, ternyata mampu membuat semua pintu seolah membuka dirinya sendiri, seolah melambai semua orang untuk bersama, bersatu, saling menyemangati. Dan host pada setiap kegiatan pada putute jelas akan diwarnai wajah yang selalu murah senyum. Sebut saja, waktu itu, ada Umirah Ramata, Lia Amalia Sulaksmi, Nova Linda. Yang kini dua orang sahabat kita ini kini mengambil jeda demi beberapa alasan kemanusiaan.
Dari sekadar berbahagia mengawali kebersamaan dalam bidang tulis menulis, terutamanya bentuk puisi, kami mulai sering mengangkat tema-tema kecil. Tema itu disodorkan untuk memicu gairah menulis, misal dari beberapa tema yang kami bisa sajikan seperti hujan dan akhirnya lahir dari rahim kami dalam ujud bayi mungil pertama yang menatap dunia. Ini seperti pintu untuk berkenalan dan tertawa melihat semua kenyaataan yang ada. Dan dari buku “Hujan Kampoeng Jerami” mengantar banyak kisah lain sebagai anak-anak yang nakal. Pun dari buku tersebut tiga daerah dan tempat di bilangan Sumenep pada tahun 2014 menjadi tempat bertemu dan mengantarkan warna baru karena mengenalkan sosok Yuli Nugrahani. Seorang perempuan, aktivis kemanusiaan, cerpenis dan penyair dari Lampung yang diantarkan oleh masa dengan menunggangi bukunya “Daun-daun Hitam” sampai membelah dua selat. Saat itu Hujan Kampoeng Jerami dan Daun-daun Hitam menjadi bahan diskusi dalam kesempatan di tiga tempat di Sumenep.
Sepanjang perjalanan, sepanjang kenangan inilah bagi saya akan menjadikan semua untuk tetap direkam dalam bentuk tulisan, entah, tulisan ini akan menjadikan dirinya, membentuk tubuhnya dan menjadi pengingat  suatu hari bahwa semuanya pernah ada cerita yang diawali dengan semangat pertemanan, persaudaraan.

(Bagian Kedua)
Seperti halnya di atas saya tuliskan, sukses menerbitkan buku pertama dengan “Hujan Kampoeng Jerami”, kegilaan kami semakin kami uji, dengan mencoba merumuskan kembali buku kedua. Buku pertama yang pasti lahir dari segala bentuk keterbatasan dan kekurangan mulai dari prosesnya, pengolahan data, kerja tim sampai pada kerja-kerja yang terukur dan terbaca menjadi teknis lapangan yang situasional dan kondisional menjadi bahan evaluasi kami. Semangat pun menjulang dengan gagasan kedua. Gagasan jelas ini akan lebih sulit bagi kami. Karena, dari beberapa catatan pertama itulah diskusi di Relawan Kampoeng Jerami, ( istilah admin group di kampoeng jerami adalah relawan, sebelum bahasa relawan ngetop karena presiden dalam masa kampanyenya menggunakan kata relawan juga).
Pertemuan gagasan, dan pengambilan keputusan terkait tema pun digulirkan. Maka akhirnya disepakati “Titik Temu” sebuah buku yang mencoba melahirkan sebuah sajian baru. Kami mengundang anggota group dan mengundang beberapa penyair nasional, baik yang ada dan menetap di daerah-daerah dan beberapa akademisi, aktivis sosial, dan sebagainya. Perbedaan ragam inilah kami sepakati sebagai persembahan dan perjuangan baru yang sederhana dan membantu pemerintah, lembaga sosial, dan lebih-lebih menguatkan visi dalam diri sendiri biar seperti lonceng pengingat dengan menghargai segala ujud dan bentuk perbedaan itu sendiri.
Saya, mencoba melepaskan ingatan pada suatu malam, ketika diskusi dengan Yuli Nugrahani waktu saya mengantarnya ke Surabaya, meski pada waktu itu secara kebetulan saya diminta datang ke acara Teater nol di Dewan Kesenian Surabaya. ( kelemahan saya tak ada waktu dan tanggal yang bisa dengan mudah saya ingat, sedang catatan berupa buku selalu tercecer di mana-mana).
“Oh, iya Fen, berapa kawankah di Sumenep yang dengan tegas mengatakan dirinya adalah Komunitas Kampoeng Jerami?”. Tanya Yuli memecah lamunanku pada waktu itu.
Saya kembali bercerita, dan mengulang semangat dari tatapan mata Sigit yang biasa disebut dengan Bangbung. Selama ini dia menjadi kawan berproses mulai dari Sanggar Rakyat Merdeka (SRM), Ada Ferli Atma Jaya (tokoh baru penuh semangat dalam perjalanan Komunitas Kampoeng Jerami), Ipak Grak (Seorang kawan yang mulai dulu juga berkomitmen atas kerja sosial dan kesenian di sanggar kami dulu). Hasmidi Ustad, Habib Tawakal, Fauzi El-Fath, Amir Faishol dan Oci gesang, musisi muda yang kini sedang berproses di komunitas musiknya juga. “Wah, ada beberapa yang masih aktif dan beberapanya lagi masih perlu digelitikin Yul.” Jawabku pada Yuli.

(Bagian Ketiga)
Bagi kami, seumpama musafir yang tak membawa peta dan peralatan untuk menjelajah yang sangat terbatas. Tetapi, mungkin satu-satunya yang kami miliki adalah genggaman tangan, saling menguatkan dan saling mengingatkan. Sehingga, pada bagian melancong di pagi buta inilah, jalan kami terkadang terantuk-antuk dan saya secara pribadi meyakini, semua orang yang berproses pasti memiliki warna, permasalahan, dinamika naik dan turunnya emosi sampai pada tawa, marah dan benar-benar kini menjadi senyuman manis setelah mengenang segala upaya itu.
Di bagian ketiga inilah, proses dan dinamikanya makin kencang, mulai dari pengumpulan naskah, kanan-kiri saya dan kawan-kawan bersuratan kepada beberapa penyair nasional dan rasa syukur dan ucapan yang tiada terhingga, ketika beberapa orang penyair Madura yang terjalin komunikasi dengan kami membuka dirinya untuk melibatkan tulisan di buku “Titik Temu” ini. Saya mencoba mengenangnya kembali.
Ada K. Muhammad Zamiel El-Muttaqien. Seorang yang dari awal memang saya jadikan tempat untuk mendengar cerita saya ketika lemah, ketika butuh tempat untuk mendengarkan saran dan motivasinya. Beliau akhirnya mengirim tulisan juga. K. M. Faizi penyair dan seorang guru dan menjadi motivator juga dalam menulis, menelisik kiprahnya yang sampai sekarang masih eksis juga. Syaf Anton Wr. Seorang guru dan kini menjadi kekuatan motivasi bagi Kampoeng Jerami. Pada masanya, tahun 1999 Madura terutama Sumenep menjadi barometer kekuatan kesenian dan kebudayaan khususnya di Surabaya, tandas beliau. Dan memang dari tatapan mata beliau, semangat itu masih nyala. Meski saya juga masih merasa sedih karena belum maksimal mengumpulkan semua tulisan tan taretan yang ada di seputar Madura oleh ketersediaan kesempatan dan keterbatasan daya jangkau alat komunikasi lainnya. Tetapi, saya yakin suatu hari saya akan mencoba mendatangi beliau satu persatu atas ijinNya. Amiin.
Sebulan proses menunggu pengiriman naskah dari beberapa penyair itulah bagian teringan dan bagian yang paling santai, meski tetap ada was-was dan guncang perasaannya yang berkembang pada waktu itu. Dan itu sangat pasti adanya. Oleh beberapa tahapan itulah, dari sebaran surat kami kepada orang yang akhirnya dapat dibuktikan setelah akhir bulan 60 penyair bergabung di buku titik temu ini.
Sampai pada akhirnya, proses editing dilakukan secara ketat oleh Yuli Nugrahani, sebagai editor, meski tetap kami lakukan secara bersama. Karena semua orang memiliki titik lelah, titik jenuh, titik bosan dan segala titik pasti akan bertemu. Kami sering saling memantau, Yuli juga akhirnya menyambungkan buku ini ke tangan-tangan yang lain, tangan lembut kang Dana E Rahmat membuat keindahan dalam buku ini menjadi lukisan-lukisan yang kang Dana pautkan di buku ini. Dan dengan ini saya secara pribadi dan mewakili kawan-kawan yang lain mengucapkan terima kasih ke kang Dana E Rahmat pelukis asal Lampung dan Mas Devin yang juga membantu membuat buku ini hadir dengan lembut sesuai warnanya.
Pada bagian yang lain Yuli mengantarkan buku ini pada tangan Komisioner Komnas HAM. Ibu Siti Noor Laila. Yang juga memberi kata pengantar dan menulis puisi “Amanat” sehingga semua titik seolah menjadi terwakili meski tak semuanya. Tapi, minimalnya menjadi simbol keberagaman yang lebur dalam satu buku ini. Buku “Titik Temu.”

(Bagian Kelima)
Umirah Ramata yang bertugas di bagian pengumpulan naskah, dan seorang penyair dari Bengkulu yang juga seorang dosen Cici Mulya Sari sangat sabar mengelola informasi, baik kepada kawan-kawan penulis dan terlebih mengatur pola komunikasi group di wilayah internal Tim Penyusun buku ini. Mengelola naskah, keuangan dan mengumpulkan donasi baik dari penulis yang rela dan sudi. Akhirnya semua pekerjaan mendekati satu titik akhir yaitu peluncuran buku pada tanggal 10 Desember 2014 dengan menggunakan kekayaan dunia maya. Kami meluncurkan buku ini pertama kalinya, dengan disambut bahagia oleh beberapa media di berbagai daerah dengan sampai menyampaikan woro-woro kelahiran bayi mungil bernama “Titik Temu.”

(Bagian Keenam)
Bagian inilah yang mungkin saya akan katakan dalam bentuk cerita panjang, sebagai suatu prosesnya ketika buku dilahirkan, maka dia telah masuk pada medan teka-teki, misterinya waktu dan berbagai warna akan menghiasinya sebagai cerita. Konon, tak ada ceritanya bagi yang sekadarnya melakukan sesuatu hanya dengan sebatas semangat saja tak akan cukup. Konon, hanya orang yang punya kesempatan dan hal-hal yang berbentuk fasilitaslah yang memiliki peluang lebih besar untuk mengibarkan bendera di puncak gunung. Meski bukan semata-mata kegagahan tapi adalah dari bagian rasa kebahagian karena telah mampu melalui halang rintang yang ada.
Menjadi yang misteri melihat siapa kami awal dan dalam perjalanan ini. Di kota saya, saya bukan bagian dari apa dan siapa yang pantas diperhitungkan. Tetapi, benar saya tak memedulikan hal itu. Bagi saya adalah berkarya baik di tulisan dan dunia nyata saya tetap memasang mata untuk mengarahkan kaki. Sama seperti dalam buku ini. Dalam titik temu ini. Saya tak pernah bertemu dengan Syaf Anton Wr (abang, saya memanggilnnya, meski ketika beliau sudah getol dan keras dalam berkesenian, waktu itu saya masih sekitar kelas 2 SD). Cerita ini dimulai dari perbincangan dan diskusi dengan K. Muhammad Zamiel El-Muttaqien. Perbincangan kami biasanya mengalir, dari situasi sosial, politik bahkan pada perbincangan tanpa ujung dan batasnya, sampailah pada bagian ketika saya meminta saran beliau, dan beliau banyak mengarahkan, memberi saran dan memicu semangat untuk tetap bertahan dan itupun minimalnya yang bisa dilakukan dalam masa keterbatasan yang nyata. Pun, akhirnya saya berkunjung ke rumah Bang Syaf Anton. Perihal buku titik temu. Lalu dengan cepat bang Anton mengajak saya sowan ke RRI Sumenep. Dalam perbincangan yang begitu cepat akhirnya kami dipersilahkan menggunakan ruangan di Studio RRI Sumenep.
Ferli dan Sigit menjadi teman dalam mengurus beberapa kebutuhan. Ferli menjadi panitia yang bisa sangat diandalkan, komitmen dan rasa letih yang biasa ditangulangi dengan catatan Acara tanggal, 3 Januari 2015 yang bergeser ke hari Minggu, 4 Januari 2015 ini terlaksana. Kami bergelut dengan tugas masing-masing, sampai pada akhirnya Habib Tawakal dan Hasmidi Ustad, Ipak grak, Rifky Raya bergabung dan bahu membahu.
Sepanjang perjalanan persiapan peluncuran, mungkin tak akan ada hitungan yang pas, bagaimana lelah dan letih.  Seperti halnya kegamangan tingkat kehadiran peserta, dan mungkin lebih pada perangkat acara yang lainnya. Secara hidangan memang kami tak bermewah-mewah lebih tepatnya menggunakan langkah cerdas, hemat dan tak banyak makan biaya, kembali pada ubi, tela dan tapai serta minuman air legen acara peluncuran buku titik temu diantarkan, sedangkan dari sisi acara, mengalir, mulai dari pembukaan oleh MC Hasmidi Ustad, dilanjutkan dengan sambutan Panitia oleh Ferli Atmajaya yang dalam statmentnya kini peluncuran buku titik temu dan pertemuan itu adalah dalam rangka menghangatkan kembali kesenian di Sumenep.
Syaf Anton Wr memiliki kesempatan untuk menyampaikan orasi kebudayaan sebagai salah seorang yang sesepuh, beliau dengan semangatnya menyampaikan bahwa banyak harapan dan mimpi ke depan, bahkan menjadi penting merumuskan kembali pertemuanan bulanan yang santai, dan rileks entah itu semua bisa berbentuk warung, tempat berkumpul, bercanda, dan tempat bertemunya sekian banyak aktivis kesenian di kota Sumenep.
Selang selanjutnya, pementasan Teatre dari Sanggar Cemara dengan judul di atas buku, sebuah pertunjukan yang lahir dari kupasan tema dari buku Titik Temu dan dilanjutkan dengan musikalisasi puisi masih dengan sanggar Cemar Universitas Wiraraja dan Sanggar Tujuh Pintu.
Peserta amat tenang menikmati, kebetulan ruangannya memang menuntut tenang, alunan musik dan sapaan lagu seolah memang di sinilah titik temu rindu itu. Waktu bergerak. Pada bagian yang inilah saat yang paling bergelora setelah K. M. Faizi membacakan puisi dari buku Titik  Temu sebuah karya dari Alex R Nainggolan sesama penyair yang langlang buana, K. Faizi dengan ksderhanaan serta penghayatannya membuat peserta kembali dibawa ke alam yang entah bahasa yang mana yang mampu menggambarkannya. Sedang Bung Mahendra diminta membaca puisi selanjutnya dengan alat tiupnya telah memukau para peserta dengan pembacaan yang membuat terpana. Mahendra menghipnotis peserta, serta dilanjutkan dengan pembacaan puisi oleh Bang Syaf Anton Wr. Banyak tipikal serta bahasa mimik yang menggetarkan, ah inilah mungkin yang sama-sama dirindukan, sama-sama ditunggu, silaturahmi para Pendekar penyair, istilah yang saya pinjam dari mas Agus Gepeng, masih seputar baca puisi. Penyair senior dan atau pendekar selanjutnya yang membaca puisi adalah Dayat Raharja, beliau tampil dengan biasa serta membaca puisi dengan tenang tapi tetap dalam wibawa, pendekar ini membacakan puisi karya K. Muhammad Zamiel El-Mutaqien yang berhalangan hadir pada kesempatan peluncuran buku. Beliau mengontak dan meminta maaf atas ketakhadirannya.
Pembaca puisi selanjutnya adalah Moch Ghufron Cholid, kawan dari Sampang ini membacakan puisi dari buku titik temu lewat karya Bunda Sastry Bakri. Pun Tika Suhartatik yang dikenal akrab dengan sebutan Melati menjadi penutup dari pentas pembaca puisi. Tika satu-satunya perempuan yang membacakan puisi, di samping akhirnya Tika menjadi moderator yang dalam bedah buku serta peluncuran buku dengan pembicara Dosen Unesa Much. Khoiri yang lebih banyak membahas dan mendorong serta berbagi semangat dalam berkarya. Di samping itu Fendi Kachonk mewakili Kampoeng Jerami memberikan berapa statement dan harapan ke depan, bahwa Kampoeng Jerami bisa menjadi wadah bagi setiap menulis untuk menerbitkan buku serta berbagi proses bersama dalam kembali membangun semangat berkarya.

(Bagian Penutup)
Akhirnya, sampai pada puncaknyalah, pada bagian penutup Komunitas Kampoeng Jerami, menyajikan lagu penutup dalam bahasa K. Faizi “Lagunya mendayu-dayu, Fen. Saya tersenyum membaca pesan dari K. Faizi. Ferli, Ipak Grak. Oci Gesang, Sigit, Rifky Raya bersama menyanyikan sebuah lagu dari Sigit dan di sela itu puisi Kelak Bila Kau pulang karya Fendi Kachonk menyampaikan pesan, sayonara mari kita pulang dan berjumpa kelak dan nanti. 
Cerita Titik Temu akan mengalir kemana nasib membawanya, dan bagi semua penulis, semua kalangan yang terlibat, semua person yang telah mendukung ucapan terima kasih yang tak terhingga, semoga buku ini bisa menjadi bahan berdiskusi, di semua daerah, di semua tempat yang ada penulisnya, atau pada komunitas manapun yang berkenan.
Dan bagi kawan yang ingin memesan buku ini silahkan bisa menghubungi  FB/ Via Email kampoeng.jerami@yahoo.com:
Umirah Ramata (Untuk Taiwan dan sekitarnya)
Masita Rianya (Untuk Bali dan Jakarta)
Lia Amalia Sulaksmi ( Untuk daerah Bandung)
Ferli (Untuk Daerah Sumenep)
Cici Mulia Sary ( Daerah Bengkulu dan sekitarnya)
Yuli Nugrahani (Lampung dan sekitarnya)
Yenni Afrita ( Padang dan sekitarnya)
Atau Sms ke nomor hape, 081803148431.
Nb, Untuk pengiriman buku akan dikirim secara bergiliran mulai dari minggu ini, semoga kawan-kawan yang bukunya nanti setelah sampai memberi kabar melalui / tag foto ke akun kampoeng jerami, akan senang dan bangga bila ada catatan mengenai buku ini. Baik berupa esai, saran dan resensi. Karena kami sadar masih banyak yang mesti dievaluasi untuk perbaikan dari sebuah perjalanan proses ini. Dan bila ada CETAKAN YANG RUSAK, MOHON INFORMASINYA, PIHAK KAMI AKAN MENGGANTINYA.
Demikian, terima kasih. Mari tetap semangat dan bergandengan.

 Salam.
 Fendi Kachonk

Minggu, 04 Januari 2015

“Seni dan Budaya sebagai Sarana Perjuangan HAM”




Peluncuran dan Bedah Buku Antologi Puisi TITIK TEMU di Sumenep

Sumenep menjadi kota pertama yang menjadi titik temu bagi Antologi Puisi TITIK TEMU, sebuah antologi puisi dari 60 penyair nusantara bertema Hak Asasi Manusia yang diterbitkan oleh Komunitas Kampoeng Jerami. Acara ini digelar oleh Komunitas Kampoeng Jerami bersama dengan RRI Sumenep dan organ-organ lain pada Minggu, 4 Januari 2015, dimulai pada 08.30 sampai selesai.
Penghormatan pada seni dan budaya menjadi bagian utama dalam kegiatan yang diadakan di gedung Kesenian LPP RRI Sumenep ini dengan pembicara Moch. Khoiri, dosen Universitas Soerabaya dan juga salah satu penulis buku, Fendi Kachonk, sastrawan dari Sumenep dan juga pengasuh Komunitas Kampoeng Jerami. Sejumlah penyair membaca puisi dalam acara ini seperti Anton Syaf, M. Faizi, dan sebagainya. Selain itu dirangkai juga dalam musikalisasi puisi, dan pentas teater.
 Fendi Kachonk menandaskan impian Komunitas Kampoeng Jerami dalam ranah sastra dan budaya Indonesia lewat penerbitan buku ini. Selain ingin menyampaikan pesan kemanusiaan dari penyair-penyair Indonesia yang ditujukan bagi semua manusia di Indonesia, dikatakan bahwa karya sastra haruslah diangkat untuk menghormati martabat manusia. “Lewat buku kami ingin menyebarkan nilai-nilai penghormatan pada Hak Asasi Manusia lewat penerbitan dan diskusi buku di berbagai kota,” ungkapnya. Seni dan budaya masyarakat adalah sarananya.
Karena itulah, untuk event pertama Titik Temu di Sumenep ini yang dilejitkan bukan hanya puisi, tapi kesenian dan budaya lain. Buku ini sendiri sudah membuktikan bahwa puisi dapat dipadukan dengan lukisan, dengan musik dan dengan tari. Ferli, ketua panitia untuk kegiatan Sumenep ini berhasil menarik banyak penggiat seni dan sosial hadir dalam peluncuran dan bedah buku. Tak kurang dari 100-an orang hadir memenuhi ruang yang disediakan oleh RRI Sumenep ini.
Titik Temu sendiri sudah merangkul 60 penyair dari seluruh Indonesia yaitu Acep Zamzam Noor, Ady Harboy, Aji Saputra, Alex R. Nainggolan, Alra Ramadhan, Ariany Isnamurti, Bayu Taji, Bunda Umy, Cici Mulia Sary, Ciek Mita Sari, Dedy Tri Riyadi, Dewi Nova, Dita Ipul,  Djemi Tomuka, Edy Samudra Kertagama, Fendi Kachonk, Handry TM, Hasmidi Ustad, Indarvis Inda, Jamal D. Rahman, Joko Bibit Santoso, Julia Asviana, Khifdi Ridho, Korrie Layun Rampan, Lara Prasetya, Lia Amalia Sulaksmi, Lilis A Md, Mariana Amiruddin, Masita Riany, Maulidia Putri, Meitha KH, M. Faizi, Mohammad Arfani, Much. Khoiri, Muhammad Zamiel El-Muttaqien, Nissa Rengganis, Retha, Reza Ginanjar, Saifun Arif Kojeh, Sastri Bakry, Saut Poltak Tambunan, Senandung Sunyi Chamellia, Setyo Widodo, Shinta Miranda, Siti Noor Laila, Soetan Radjo Pamunjak, Sofyan RH. Zaid, Sulis Setiyorini, Syaf Anton Wr., Syarifuddin Arifin, Tengsoe Tjahjono, Umirah Ramata, Upik Hartati, Vebri Al Lintani, Warih Subekti, Weni Suryandari, Yanuar Kodrat, Yeni Afrita, Yonathan Rahardjo, dan Yuli Nugrahani. Penulis yang terlibat ini terdiri dari para penyair senior maupun pemula dari beragam latar suku, agama, profesi, orientasi seksual, cara pandang dan sebagainya.      

    Yuli Nugrahani, cerpenis dan penyair dari Lampung bertindak sebagai editor bagi buku ini. Penyusun naskah Fendi Kachonk, Umirah Ramata dan Cici Mulia Sary. Ilustrasi sampul dan isi buku digarap oleh Dana E. Rachmat, pelukis dan penggiat Dewan Kesenian Lampung (DKL) dengan desain dan tataletak Devin Nodestyo. Buku ini sudah diluncurkan lewat dunia maya bertepatan dengan hari HAM, 10 Desember 2014 dan menurut rencana selain di Sumenep akan diluncurkan di berbagai kota di Indonesia seperti Malang,   Surabaya, Jakarta dan Bengkulu.*