Ketika Yuli memintaku menulis
pada kumpulan Puisi Yulinya, aku berpikir ia sedang bercanda. Setelah melalui
berulangkali ‘peringatan’nya dengan bahasanya yang halus “Saya tunggu, pak”.
Saya tak berdaya. Kumpulan Puisi yang berjudul “Sampai Aku Lupa”, sempat aku
lupakan. Namun, nyatanya aku tak kuasa menolaknya.
Tantangan sudah ‘terlanjur’
diterima. Setelah membaca berulang ‘Sampai Aku Lupa’, diriku hampir tergoda
untuk menyerah. Sungguh kian nyata ‘diri ini’ tak pantas berkomentar pada
kumpulan Puisi yang apik ini. Mulailah diri ini kebingungan. Dari mana menulis?
Karena, setelah berulang kali menelusuri, Puisi “Sampai Aku Lupa” ini, ternyata
kian rumit, amat detilnya. Aku terbawa pada suasana yang kian kompleks. Aku
terjebak petualangan rasa pada jiwa seorang wanita. Mahluk yang hingga kini tak
juga aku pahami. Aku seperti menelusuri sebuah oase yang maha luas, amat unik
dan khas, dan bahkan cenderung misterius. Sifat yang khas manusia yang berbeda
dan melekat pada setiap jiwa, membuatku harus menggenjot naluri maupun spirit
pikir.
Akhirnya,
daripada menelisik puisi satu persatu, akhirnya aku memutuskan membuat komentar
umum, dari keseluruhan ‘Puisi Aku Lupa’. Bagiku, seorang penulis puisi adalah
seseorang yang sedang ber “Dialog dengan Diri”nya. Sebagai penulis, Yuli ingin
menyampaikan rasa dan hatinya kepadaku, tentu sebagai pembaca.
Sebagai pembaca dan penikmat
puisinya, aku seolah mengikuti hidupnya. Yuli yang memulai
hari-hari hidupnya dengan doa. Demikian juga diakhiri harinya dengan doa.
Karena baginya, melalui kumpulan puisi ini aku merasakan “hidup adalah puisi”.
Pagi hari disebutnya sebagai “Gerbang Surya”, ia renungi perjalanan dirinya
dari dapurnya.
Memang, perjalanan Yuli
sebagai “Diri” nya dimulai dari pagi hari menjelang subuh, hingga subuh tiba
esok harinya. Perjalanan hidupnya, amat ketat dengan doa. Pagi di dapur
memanjatkan doa, dapurnya dipenuhi ‘sajen’ untuk ritual suci pada pagi hari.
Pagi, saat yang hening untuk memulai aktifitas, dan merenung. Mata hatinya
menatap bawang putih, cabe rawit, kopi, dan beras pun menjadi sajian dan
sesajen kehidupan.
Dalam “Gerbang Surya” itu, Yuli menulis:
….
Kaki
di antara serbuk litani
kepala
tersuruk getah jannati.
….
Yang kusebut sebagai doa
Yang kusebut sebagai doa
Tentu saja, perjalanan ini
juga diakhiri dengan ritual menguatkan tekat, ‘magis’. Ketika malam larut, ia
menulis Puisi, berdialog dengan dirinya. Dalam “Mantra”, ia larut dalam
perenungan hidup seorang perempuan, yang acap berperan ganda dan jiwa yang
terbelah dalam multi peran. Karenanya ia tetap berdoa, seraya menguatkan
dirinya:
Mantra beruap dalam dupa
mendorong jendela-jendela terbuka.
Perempuan duduk di bingkainya
mencoba
bertahan.
"Aku
tidak mau melakukannya!"
Karena, bagi seorang Yuli, doa adalah ‘pagar-pagar
kehidupan’. Doa, mengalirkan semangat, mengalirkan harapan.
Dalam “Subuh”, Yuli menulis, kehidupan
yang mengalir:
“Menjadi keping air.
Di ujung ilalang,
di kelopak anyelir,
di luas pandang:
Hati mengalir”.
Untuk menuangkan dalam puisi,
Yuli nampaknya terlebih dahulu bercakap dengan dirinya. Diri si pembuat puisi
dan diri yang melakoni hidup. Diri yang menjalani hidup, kadang sendu dan
merindu. Kadang juga resah, bahkan marah. Tapi, dengan halus ia menahan diri,
untuk tak menyakiti diriku, dan terutama dirinya. Karena Yuli tahu, jika ia
memaki, sejatinya ia sedang memaki diri, dirinya.
Tentu, sebagai penulis puisi,
Yuli amat memahami dirinya, Yuli amat teliti mengamati cermin yang ada di
sekitarnya. Seperti bunga, aneka bunga dapat kita temui anyelir, mawar,
kasturi, bahkan pada kembang tembakau. Ruang tamu, kasur hingga dapur adalah cermin
sekaligus ungkapan “Puisi” seorang Yuli. Sekaligus menjadi pemantul dirinya.
Dengan melihat cermin itu, sejatinya sedang melihat dirinya.
Menulis
Puisi, apalagi dalam sebuah rangkaian waktu yang ketat, sejatinya merupakan
perjalanan rohani seseorang. Yuli, adalah seorang perenung yang cermat. Segala
sesuatu dicatat, direnungkan, ditanyakan, tak jarang digugatnya.
Dari cermin diri itu, Yuli
menjadi seorang yang amat cermat, hampir tak ada yang lolos dari pengamatanya.
Lolos dengan mata, akan ditangkap dengan pendengaran, dan nampaknya, Yuli
menatap degan mata hati. Mendengarkan dengan pendengaran hati. Didengarnya
suara derit daun jendela, selembut derit tulang-tulang ditubuhnya. Bisa juga
derit ‘tua’nya, sekeras derit suara pintu dan jendela. Kali lain, Yuli
menimang-nimang sayang kesayangannya. Si kecil, atau si tua yang lain.
Dengan tatapan hatinya, jauh
jarak tak menghalangi Yuli ber“dialog” dengan dirinya. Meski terbetang jarak
antara Tanjungkarang, Teluk Betung, Hajimena, Pahoman, Kediri, Lembang. Rentang
waktu antara subuh, siang terik, senja hari, tengah malam. Atau jarak usia pada
si bayi maupun pada remaja,dalam suasana canda dua manusia dalam kamar cinta,
serta ungkapan kenangan seorang yang berangkat menua, atau seorang yang sedang
dilanda rindu merindu.
Lama sekali menghitung tarikan
nafas. Tua tak harus gelisah, tetapi tetap tersenyum. Sembari menghitung setiap
derit’an tubuh.” Perjalanan hidupnya melanglang waktu antara pagi dan
malam, meresapi antara bunga dan buah,
mewakili suara bayi, anak-anak, remaja, dan renta tua.
Perjalanan
hidupnya juga menelisik ruang-ruang kelahiran dan kematian manusia,
antara air dan embun, dan antara pertemuan dan perpisahan. Membuka pintu dan
jendela, dengan doa dan harap. Mengusap-usap diri dengan kegairahan dan
kepasrahan. Menangkap burung yang
berbahagia dan lipas yang gelisah di antara Katu dan perdu.
Perjalanan
hidupnya adalah dialog “Antara Aku dan dirimu”. Diri yang ingin mengenang,
tapi juga melupakan. Berkutat antara pintu dan jendela, antara impian dan
kenyataan, Timur dan Barat di Kota dan Hutan. Antara dupa dan mantra.
Perjalanan adalah kumpulan
langkah-langkah menuju tujuan-tujuan, tak selalu seorang diri, karena kadang
memerlukan teman, dan juga bekal. Menunggu, menanti teman dalam keramaian, tapi
merasa sepi. Perjalanan itu
Betul, Sampai Aku Lupa. Lupa menuliskan komentar, dan lupa doa pula.
Selamat menikmati, semoga Pembaca tak seperti diriku.
Kali lain, aku merasakan ikut berpetualang dengan Yuli di hutan rimba kehidupan. Yang dengan
anggunnya menelisik keasrian dan
kelestarian alam. Aneka burung ditemukan, aneka tumbuhan ditemukan, tetapi juga
ditemukannya sejumlah kejanggalan dan kerusakan habitat alam yang mesti dijaga
dan terjaga. Aku lelah. Tapi Yuli menghardik.
“Jangan merengek seperti itu lagi.”
“Aku menambahkan pertanyaan
:
“Apa yang kita sesalkan? Waktu? Uban?”
Kita
tidak lebih buruk dari nasib tuan-tuan pembesar
pleci,
manyar dan kenari telah jauh menghilang
dapur tempat kita bekerja menjadi pekat
dan kita bertahan tetap membasuh mata dengan getah palem.
Kekacauan telah merapuhkan sarang lebah
membuat mandul para emprit
dan mematahkan batang turi sepanjang jalan.
Mata siapa
yang tidak buta
namun masih mengharap bayi-bayi sehat
padahal mayat-mayat terayun dalam gendongan tanpa susu
dalam jepitan tangga berjalan
di gedung pengadilan
bahkan tangisan terdengar sebagai lengking burung hantu
tanpa penghiburan.
Mari
lihat bagian ini.
Keberuntungan sekarang adalah kelimpahan.
Saat kita masih punya
cat minyak, kanvas dan kuas.
Tidak terlalu menyenangkan,
tapi kita akan bertahan.
“Sudah, jangan merengek lagi.”
Begitulah yang seharusnya”.
Kemudian, aku mengandaikan Yuli sedang berenang. Ia sedang mengarungi samudra
yang amat luas. Sayangnya, aku tak memiliki kemampuan menyelam kedalaman laut.
Daripada tidak, aku “membayangkan” saja sedang berenang di laut yang maha luas
itu. Aku menceburkan diri dalam kolam renang, sembari terus membayangkan ‘rasa’
berenang atau menyelam di laut dalam.
Dalam imajinasi, aku merasakan berenang ini sebagai sebuah perjalanan.
Setidaknya, dengan berenang di kolam ini, aku bisa ‘berusaha bisa’ merasakan
apa yang dirasakan Yuli. Dari setiap kayuh tangan dan kaki, mengangkat
gerak badan menuju tujuan. Di ujung sana, seseorang sedang menanti kehadiranku.
Dia ‘sang penunggu’ sedang termenung seorang diri, dalam kesendirian, dalam kesunyian
ia menanti kehadiranku. Terik matahari, tak dihiraukannya. Ketika Hujan deras
sedang menerpa tubuhnya, ia anggap sebagai pemicu rindu pada kehangatan pada
tubuh yang sedang dirindu. Oh merindu.
Dalam perjalanan ini, kadang harus ter’tunda’, bahkan harus ‘jeda’ atau
‘rehat’. Menyiasati kuasa diri, juga waktu tertentu dan terbatas. Memang,
acapkali ‘kematian’ membayang dekat, sedekat bayang-bayang ‘pelabuhan’ yang
berada di depan, entah di mana. Tapi itulah, ‘hidup adalah perjuangan’. Tak
boleh lelah, apalagi menyerah. Meski selalu ditemani oleh kelelahan, keresahan
dan gundah, kegagalan bahkan kegamangan hidup.
Yang lebih penting, dalam perjalanan ini, jangan ‘lupa’ segala doa dan
harapan, terutama di lakukan saat ‘berkemas’. Pokoknya, jangan sampai ada yang
lupa. Modal yang tak boleh dilupakan adalah soal ‘kebajikan’ manusia paripurna
yang dapat menjadi gizi penambah semangat. Meskipun jangan juga melupakan
‘kebejatan-kebejatan’ yang tak jarang akan kita temui dalam perjalanan ini.
Karena itu, teruslah berdoa untuk menguatkan hati, dan meneguhkan diri. Yuli
menulis:
Mantra beruap dalam dupa
mendorong jendela-jendela terbuka.
Perempuan duduk di bingkainya
mencoba bertahan.
"Aku tidak mau melakukannya!"
Tangannya gelisah memunguti jeda
bertebaran
di luar, di dalam
jeda-jeda beranak berpinak
satu beranak satu
satu berpinak satu.
Keranjang jeda penuh dalam hitungan masa
perempuan melihat keluar,
kedalam
selalu bertahan
“Aku tidak mau melakukannya”
Sebagai kata mantra beruap, berulang
bertahan.
“Aku tidak mau melakukannya”
“Aku tidak mau melakukannya”
Karena, suatu hari nanti, perjalanan ini akan dikenang sebagai ‘kenangan’
yang indah. Meskipun ingin hidup selamanya, nyatanya jatah waktu menunggu.
Entah pada perjalanan pada kehidupan yang lain. Memang, pada akhirnya hidup
adalah soal ‘pilihan’. Tak selamanya tepat. Untunglah, sebagai orang Indonesia,
dalam hal ini orang Jawa, selalu memiliki obat ajaib, yaitu kata “untung’.
Pokoknya selalu bersyukur dengan capaian-capaian, atau dalam keadaan dirinya.
Aku masih beruntung.
Mungkin saja, dalam perjalanan manusia menemui kekesalan, kemarahan,
keberhasilan dan kegagalan. Perjalanan mengejar ‘impian’, apalagi pada seorang
perempuan yang amat rajin memelihara kenangan. Yuli menulis:
........
2.
Perempuan-perempuan harus turun
menjelma bingkai jendela yang dikosongkan.
Perempuan-perempuan harus turun
menjejak tanah dengan asta terkatup
Bibirnya merapal mantra, menolak ketakutan :
“Sun orakelara, sun bisalelunga.”
Mangalsutra dilepasnya
manik-manik yang tersisa dihamburkan.
Payalnya tak lagi berbunyi, tapi lantunan gemetar :
“Sun ora kelara, sun bisa lelunga.”
Mantra berulang di bibirnya menyemburkan keyakinan.
Lewat nafasnya, lewat nadinya.
3.
Tanda-tanda pernikahan sudah diurai
Tanda-tanda pernikahan sudah diurai
satu-satunya yang terikat adalah untaian rambut.
Diamemulaidaritempatitu sebagai pelepasan.
"Swatra bi
lukasimang
aws art ibulisakgnma."
Bukan bahasa bukan kata
tapi langkah yang terlanjur dipersembahkan.
Perempuan memantapkan pandangan
jedadan air mata diremas menjadi niat
dua lengan diayunnya bagai penyeimbang.
Inilah lelaku terakhir putaran purnama
mantra terus diucap pun saat dupa dipatahkan.
"Swatra bi lukasimang
aws art ibulisakgnma."
Bukan bahasa bukan kata
tapi langkah yang telah dipercepat.
Mengingat suatu semadi tanpa catatan
yang pasti akan diulanginya nanti
bila purnama baru hendak memulai putarannya
dengan buah-buah jeda yang siap digalah.
Kini,
diasuh oleh kakinya
dia terus berjalan.
2013
MANTRA”
Perjalanan ini, adalah jalinan kenangan pada yang terkasih, utamanya adalah
‘Emak’. Karena ‘perjumpaan dan perpisahan’ adalah ritme dan alur kehidupan
manusia di samudra yang amat luas ini.
Nah, ngomong apa aku ini. Meracau saja. Ah iya, Sampai Aku Lupa.
Bandar Lampung, 10 Agustus 2017
Jauhari Zailani
(Dosendanpenyukasastra)