Selasa, 26 September 2017

Jauhari Zailani tentang Sampai Aku Lupa : "Aku Mengikuti Perjalanan Yuli."


Ketika Yuli memintaku menulis pada kumpulan Puisi Yulinya, aku berpikir ia sedang bercanda. Setelah melalui berulangkali ‘peringatan’nya dengan bahasanya yang halus “Saya tunggu, pak”. Saya tak berdaya. Kumpulan Puisi yang berjudul “Sampai Aku Lupa”, sempat aku lupakan. Namun, nyatanya aku tak kuasa menolaknya.

Tantangan sudah ‘terlanjur’ diterima. Setelah membaca berulang ‘Sampai Aku Lupa’, diriku hampir tergoda untuk menyerah. Sungguh kian nyata ‘diri ini’ tak pantas berkomentar pada kumpulan Puisi yang apik ini. Mulailah diri ini kebingungan. Dari mana menulis? Karena, setelah berulang kali menelusuri, Puisi “Sampai Aku Lupa” ini, ternyata kian rumit, amat detilnya. Aku terbawa pada suasana yang kian kompleks. Aku terjebak petualangan rasa pada jiwa seorang wanita. Mahluk yang hingga kini tak juga aku pahami. Aku seperti menelusuri sebuah oase yang maha luas, amat unik dan khas, dan bahkan cenderung misterius. Sifat yang khas manusia yang berbeda dan melekat pada setiap jiwa, membuatku harus menggenjot naluri maupun spirit pikir.

Akhirnya, daripada menelisik puisi satu persatu, akhirnya aku memutuskan membuat komentar umum, dari keseluruhan ‘Puisi Aku Lupa’. Bagiku, seorang penulis puisi adalah seseorang yang sedang ber “Dialog dengan Diri”nya. Sebagai penulis, Yuli ingin menyampaikan rasa dan hatinya kepadaku, tentu sebagai pembaca.

Sebagai pembaca dan penikmat puisinya, aku seolah mengikuti hidupnya. Yuli yang memulai hari-hari hidupnya dengan doa. Demikian juga diakhiri harinya dengan doa. Karena baginya, melalui kumpulan puisi ini aku merasakan “hidup adalah puisi”. Pagi hari disebutnya sebagai “Gerbang Surya”, ia renungi perjalanan dirinya dari dapurnya. 

Memang, perjalanan Yuli sebagai “Diri” nya dimulai dari pagi hari menjelang subuh, hingga subuh tiba esok harinya. Perjalanan hidupnya, amat ketat dengan doa. Pagi di dapur memanjatkan doa, dapurnya dipenuhi ‘sajen’ untuk ritual suci pada pagi hari. Pagi, saat yang hening untuk memulai aktifitas, dan merenung. Mata hatinya menatap bawang putih, cabe rawit, kopi, dan beras pun menjadi sajian dan sesajen kehidupan. 

Dalam “Gerbang Surya” itu, Yuli menulis:
….
Kaki di antara serbuk litani
kepala tersuruk getah jannati.
….
Yang kusebut sebagai doa

Tentu saja, perjalanan ini juga diakhiri dengan ritual menguatkan tekat, ‘magis’. Ketika malam larut, ia menulis Puisi, berdialog dengan dirinya. Dalam “Mantra”, ia larut dalam perenungan hidup seorang perempuan, yang acap berperan ganda dan jiwa yang terbelah dalam multi peran. Karenanya ia tetap berdoa, seraya menguatkan dirinya:

Mantra beruap dalam dupa
mendorong jendela-jendela terbuka.

Perempuan duduk di bingkainya
mencoba bertahan.
"Aku tidak mau melakukannya!"

Karena, bagi seorang Yuli, doa adalah ‘pagar-pagar kehidupan. Doa, mengalirkan semangat, mengalirkan harapan. Dalam “Subuh”, Yuli  menulis, kehidupan yang mengalir:

“Menjadi keping air.

Di ujung ilalang,
di kelopak anyelir,
di luas pandang:

Hati mengalir”.

Untuk menuangkan dalam puisi, Yuli nampaknya terlebih dahulu bercakap dengan dirinya. Diri si pembuat puisi dan diri yang melakoni hidup. Diri yang menjalani hidup, kadang sendu dan merindu. Kadang juga resah, bahkan marah. Tapi, dengan halus ia menahan diri, untuk tak menyakiti diriku, dan terutama dirinya. Karena Yuli tahu, jika ia memaki, sejatinya ia sedang memaki diri, dirinya.

Tentu, sebagai penulis puisi, Yuli amat memahami dirinya, Yuli amat teliti mengamati cermin yang ada di sekitarnya. Seperti bunga, aneka bunga dapat kita temui anyelir, mawar, kasturi, bahkan pada kembang tembakau. Ruang tamu, kasur hingga dapur adalah cermin sekaligus ungkapan “Puisi” seorang Yuli. Sekaligus menjadi pemantul dirinya. Dengan melihat cermin itu, sejatinya sedang melihat dirinya.

Menulis Puisi, apalagi dalam sebuah rangkaian waktu yang ketat, sejatinya merupakan perjalanan rohani seseorang. Yuli, adalah seorang perenung yang cermat. Segala sesuatu dicatat, direnungkan, ditanyakan, tak jarang digugatnya.

Dari cermin diri itu, Yuli menjadi seorang yang amat cermat, hampir tak ada yang lolos dari pengamatanya. Lolos dengan mata, akan ditangkap dengan pendengaran, dan nampaknya, Yuli menatap degan mata hati. Mendengarkan dengan pendengaran hati. Didengarnya suara derit daun jendela, selembut derit tulang-tulang ditubuhnya. Bisa juga derit ‘tua’nya, sekeras derit suara pintu dan jendela. Kali lain, Yuli menimang-nimang sayang kesayangannya. Si kecil, atau si tua yang lain.

Dengan tatapan hatinya, jauh jarak tak menghalangi Yuli ber“dialog” dengan dirinya. Meski terbetang jarak antara Tanjungkarang, Teluk Betung, Hajimena, Pahoman, Kediri, Lembang. Rentang waktu antara subuh, siang terik, senja hari, tengah malam. Atau jarak usia pada si bayi maupun pada remaja,dalam suasana canda dua manusia dalam kamar cinta, serta ungkapan kenangan seorang yang berangkat menua, atau seorang yang sedang dilanda rindu merindu.

Lama sekali menghitung tarikan nafas. Tua tak harus gelisah, tetapi tetap tersenyum. Sembari menghitung setiap derit’an tubuh.” Perjalanan hidupnya melanglang waktu antara pagi dan malam,  meresapi antara bunga dan buah, mewakili suara bayi, anak-anak, remaja, dan renta tua.

Perjalanan hidupnya juga menelisik ruang-ruang kelahiran dan kematian manusia, antara air dan embun, dan antara pertemuan dan perpisahan. Membuka pintu dan jendela, dengan doa dan harap. Mengusap-usap diri dengan kegairahan dan kepasrahan.  Menangkap burung yang berbahagia dan lipas yang gelisah di antara Katu dan perdu.

Perjalanan hidupnya adalah dialog “Antara Aku dan dirimu”. Diri yang ingin mengenang, tapi juga melupakan. Berkutat antara pintu dan jendela, antara impian dan kenyataan, Timur dan Barat di Kota dan Hutan. Antara dupa dan mantra.

Perjalanan adalah kumpulan langkah-langkah menuju tujuan-tujuan, tak selalu seorang diri, karena kadang memerlukan teman, dan juga bekal. Menunggu, menanti teman dalam keramaian, tapi merasa sepi. Perjalanan itu 

Betul, Sampai Aku Lupa.  Lupa menuliskan komentar, dan lupa doa pula. Selamat menikmati, semoga Pembaca tak seperti diriku.

Kali lain, aku merasakan ikut berpetualang dengan Yuli di hutan rimba kehidupan. Yang dengan anggunnya menelisik keasrian dan kelestarian alam. Aneka burung ditemukan, aneka tumbuhan ditemukan, tetapi juga ditemukannya sejumlah kejanggalan dan kerusakan habitat alam yang mesti dijaga dan terjaga. Aku lelah. Tapi Yuli menghardik.

“Jangan merengek seperti itu lagi.”

“Aku menambahkan pertanyaan :
“Apa yang kita sesalkan? Waktu? Uban?”

Kita tidak lebih buruk dari nasib tuan-tuan pembesar
pleci, manyar dan kenari telah jauh menghilang
dapur tempat kita bekerja menjadi pekat 
dan kita bertahan tetap membasuh mata dengan getah palem.

Kekacauan telah merapuhkan sarang lebah
membuat mandul para emprit
dan mematahkan batang turi sepanjang jalan.

Mata siapa yang tidak buta
namun masih mengharap bayi-bayi sehat
padahal mayat-mayat terayun dalam gendongan tanpa susu
dalam jepitan tangga berjalan di gedung pengadilan
bahkan tangisan terdengar sebagai lengking burung hantu
tanpa penghiburan.

Mari lihat bagian ini.
Keberuntungan sekarang adalah kelimpahan.
Saat kita masih punya cat minyak, kanvas dan kuas.
Tidak terlalu menyenangkan,
tapi kita akan bertahan.

“Sudah, jangan merengek lagi.”
Begitulah yang seharusnya”.

Kemudian, aku mengandaikan Yuli sedang berenang. Ia sedang mengarungi samudra yang amat luas. Sayangnya, aku tak memiliki kemampuan menyelam kedalaman laut. Daripada tidak, aku “membayangkan” saja sedang berenang di laut yang maha luas itu. Aku menceburkan diri dalam kolam renang, sembari terus membayangkan ‘rasa’ berenang atau menyelam di laut dalam. 

Dalam imajinasi, aku merasakan berenang ini sebagai sebuah perjalanan. Setidaknya, dengan berenang di kolam ini, aku bisa ‘berusaha bisa’ merasakan apa yang dirasakan Yuli.  Dari setiap kayuh tangan dan kaki, mengangkat gerak badan menuju tujuan. Di ujung sana, seseorang sedang menanti kehadiranku. Dia ‘sang penunggu’ sedang termenung seorang diri, dalam kesendirian, dalam kesunyian ia menanti kehadiranku. Terik matahari, tak dihiraukannya. Ketika Hujan deras sedang menerpa tubuhnya, ia anggap sebagai pemicu rindu pada kehangatan pada tubuh yang sedang dirindu. Oh merindu.

Dalam perjalanan ini, kadang harus ter’tunda’, bahkan harus ‘jeda’ atau ‘rehat’. Menyiasati kuasa diri, juga waktu tertentu dan terbatas. Memang, acapkali ‘kematian’ membayang dekat, sedekat bayang-bayang ‘pelabuhan’ yang berada di depan, entah di mana. Tapi itulah, ‘hidup adalah perjuangan’. Tak boleh lelah, apalagi menyerah. Meski selalu ditemani oleh kelelahan, keresahan dan gundah, kegagalan bahkan kegamangan hidup.

Yang lebih penting, dalam perjalanan ini, jangan ‘lupa’ segala doa dan harapan, terutama di lakukan saat ‘berkemas’. Pokoknya, jangan sampai ada yang lupa. Modal yang tak boleh dilupakan adalah soal ‘kebajikan’ manusia paripurna yang dapat menjadi gizi penambah semangat. Meskipun jangan juga melupakan ‘kebejatan-kebejatan’ yang tak jarang akan kita temui dalam perjalanan ini. Karena itu, teruslah berdoa untuk menguatkan hati, dan meneguhkan diri. Yuli menulis:

Mantra beruap dalam dupa
mendorong jendela-jendela terbuka.

Perempuan duduk di bingkainya
mencoba bertahan.
"Aku tidak mau melakukannya!"

Tangannya gelisah memunguti jeda
bertebaran di luar, di dalam
jeda-jeda beranak berpinak


satu beranak satu
satu berpinak satu.

Keranjang jeda penuh dalam hitungan masa
perempuan melihat keluar, kedalam
selalu bertahan
“Aku tidak mau melakukannya

Sebagai kata mantra beruap, berulang
bertahan.
“Aku tidak mau melakukannya”

Karena, suatu hari nanti, perjalanan ini akan dikenang sebagai ‘kenangan’ yang indah. Meskipun ingin hidup selamanya, nyatanya jatah waktu menunggu. Entah pada perjalanan pada kehidupan yang lain. Memang, pada akhirnya hidup adalah soal ‘pilihan’. Tak selamanya tepat. Untunglah, sebagai orang Indonesia, dalam hal ini orang Jawa, selalu memiliki obat ajaib, yaitu kata “untung’. Pokoknya selalu bersyukur dengan capaian-capaian, atau dalam keadaan dirinya. Aku masih beruntung.

Mungkin saja, dalam perjalanan manusia menemui kekesalan, kemarahan, keberhasilan dan kegagalan. Perjalanan mengejar ‘impian’, apalagi pada seorang perempuan yang amat rajin memelihara kenangan. Yuli menulis:



........
2.
Perempuan-perempuan harus turun
menjelma bingkai jendela yang dikosongkan.

Perempuan-perempuan harus turun
menjejak tanah dengan asta terkatup

Bibirnya merapal mantra, menolak ketakutan :
“Sun orakelara, sun bisalelunga.”

Mangalsutra dilepasnya
manik-manik yang tersisa dihamburkan.

Payalnya tak lagi berbunyi, tapi lantunan gemetar :
“Sun ora kelara, sun bisa lelunga.”

Mantra berulang di bibirnya menyemburkan keyakinan.
Lewat nafasnya, lewat nadinya.

3.
Tanda-tanda pernikahan sudah diurai
satu-satunya yang terikat adalah untaian rambut.
Diamemulaidaritempatitu sebagai pelepasan.

"Swatra bi lukasimang
aws art ibulisakgnma."

Bukan bahasa bukan kata
tapi langkah yang terlanjur dipersembahkan.

Perempuan memantapkan pandangan
jedadan air mata diremas menjadi niat
dua lengan diayunnya bagai penyeimbang.

Inilah lelaku terakhir putaran purnama
mantra terus diucap pun saat dupa dipatahkan.

"
Swatra bi lukasimang
aws art ibulisakgnma."

Bukan bahasa bukan kata
tapi langkah yang telah dipercepat.

Mengingat suatu semadi tanpa catatan
yang pasti akan diulanginya nanti
bila  purnama baru hendak memulai putarannya
dengan buah-buah jeda yang siap digalah.

Kini,
diasuh oleh kakinya
dia terus berjalan.

2013
MANTRA”


Perjalanan ini, adalah jalinan kenangan pada yang terkasih, utamanya adalah ‘Emak’. Karena ‘perjumpaan dan perpisahan’ adalah ritme dan alur kehidupan manusia di samudra yang amat luas ini.

Nah, ngomong apa aku ini. Meracau saja. Ah iya, Sampai Aku Lupa.

Bandar Lampung, 10  Agustus 2017

Jauhari Zailani
(Dosendanpenyukasastra)

Selasa, 19 September 2017

SPIRITUALITAS DALAM TUBUH SEJARAH DAN CINTA

Sampai Aku Lupa adalah kumpulan puisi yang menawarkan ingatan dan kenangan melalui pendekatan tubuh sejarah, spritualitas sebagai ucapan kecintaan dan penghayatan hamba pada seluruh hal yang tercipta dan yang telah ada. Entah, dunia ini seolah cuma dibuat untuk dibagi atas dua pilihan saja yaitu: kasih dan sayang untuk keselarasan keseimbangan dalam perilaku seorang hamba dalam ujud kata-kata dan tindakan yang dirangkum menjadi puisi. Puisi akhirnya hadir dalam segala ungkap menuju muara bahasa yang bening, yang lembut dan menarik rasa untuk menghidupkan sel-sel perdamaian yang dimulai dari dalam diri.

Sampai Aku Lupa, buku yang diiringi dengan segenap kebahagiaan dan musti disambut dengan suka cita. Karena, ketika wadah fisik yang lelah menghitung detik tiap hari, hari dihitung jadi bulan dan bulan pun kini jadi tahun bahkan seterusnya, cinta terus hidup. Cinta tak kenal lekang dan tak mati serta terus menjadi corong tunggal sebagai peredam dalam kecamuk dekadensi kehidupan. Berbeda dengan perang yang selalu mengedepankan strategi untuk menentukan mati dan hidupnya seseorang.

Karena itulah kuasa jiwa kerap menjadi kosong, kerap jadi kering. Maka puisi serupa bunga perdamaian dalam bentuk kata-kata yang mewujud dalam romantisme, relijius untuk kembali hening, untuk kembali menebar kebaikan pada segala bentuk yang ada dan telah tercipta.

Dan, Yuli Nugrahani, penyair serta cerpenis Lampung, mengantarkan Buku Sampai Lupa sebagai sebuah upaya dalam kerja-kerja perdamaian sebagai manusia yang tak lepas dari lingkungannya, mengakar dalam bentuk-bentuk pengharapan, sejarah-sejarah yang semuanya seolah menjadi catatan dari masa lampau untuk diambil hikmah dan pelajaran. Sampai Aku Lupa menjadi jalan kepastian manusia yang memiliki segenap cemas, segenap rindu bahkan segenap gugatan atas ruang dan waktu. Pun kesadaran dalam setiap dinamika. 

Sehingga mengantarkannya sebagai pengarsir mimpi dan sebagai juru rekam atas arti hujan, bunga, pohon dan segala yang tumbuh serta gugur setiap hari. Semua hal itu menjadi istimewa, melekat tanpa hendak dilupakan dan selalu berlari menjauh dari segenap kealfaan. Tema cinta dan kerinduan atas alam sekitar dalam 

Sampai Aku Lupa ini ditulis oleh Yuli Nugrahani melalui pendekatan tubuh sejarah atau legenda lewat penulisan nama tokoh-tokoh. Bisa dikatakan sebagai upaya menolak lupa atas segala bentuk rupa manusia dan benda. 

Sayapun berpikir buku Kumpulan Puisi Yuli Nugrahani adalah bagian penghayatannya atas kesejatian cinta dari seorang hamba atas kehadiran Sang Pencipta. Muara puisinya tidak melulu pada kekasih yang secara personal semata tetapi menyebar menjadi cara dalam memperoleh pemahaman akan hidup seorang hamba dalam berkehidupan.

Hal itulah yang menjadi kesan awal saat menerima naskah puisi Yuli Nugrahani. Pelan-pelan saya membaca satu per satu dari semua puisi Yuli, membuat saya hampir terseret tak bisa lolos dari kepungan kata-kata yang seolah berasal dan berada dalam ruang domestiknya sendiri. Saya memperkirakan kalau daerah domestik atau yang terdalam dan terdekat dari kehidupan sang penyair tersebut telah disuling menjadi tema-tema yang tersaji sebagai menu makanan yang hangat dan kini dihidangkan penuh kasih sayang.

Tetapi, pembacaan awal itu, saya tepis pelan-pelan karena bermunculannya tema cinta yang secara umum ditarik menjadi hal khusus yang ingin diangkat oleh Yuli Nugrahani. Kenapa, begitu? Kecenderungan pada umumnya penulis yang lain lebih asyik berbicara hal yang bombastis soal apapun gejala yang dirasakan dan dengan mudah menyajikannya ke depan pembaca tetapi akhirnya menjadi kurang tepat ketika ke-umum-an itu sudah kerap dirasakan oleh banyak orang. Yuli Nugrahani berbeda.

Dia, lebih memberi kesan universal setelah pengalaman-pengalaman diendapkan menjadi dirinya. Dia menjadikan tubuh dan perasaan serta jiwanya menjadi tema-tema tersebut sehingga kerap ada pesan yang lembut dan halus serta tak mudah ditangkap sekali pandang dan sekali baca saja.

Dalam beberapa puisinya, Yuli Nugrahani menjadikan beberapa tema serupa bahan masakan. Dia akan meramunya dengan hati-hati dengan penuh perasaan. Lalu dia mengaluri seluruh proses puisinya dengan segenap jiwanya. Di situlah pesan itu pelan-pelan meninggalkan jiwa personalnya dan menjadi hal yang bisa dipetik untuk kembali ke asal muaranya.

Maka bila saya andaikan dalam buku ini Yuli berupaya menjadi koki yang sangat gembira dan penuh perasaan ketika menyajikan puisi sebagai hidangan ke depan pembacanya. Dan itu tergambar bila membuka buku catatan-catatan perjalanan yang telah ditempuhnya. Banyak kenangan yang telah dituai serta sekelumit dan dinamika yang beragam warna.

Oleh sebab itu, pesan yang secara halus itu kini mengembang sebagai masakan yang ditumis dengan cinta, rindu, dan pengharapan. Dari sanalah pesan itu menjadi siap saji karena serasa ada isyarat sepanjang jejak kaki agar ada cara memilih berbagai kejadian masa lalu, karena bila salah memilih akan ada sesuatu yang remuk redam.

Pada sebagian puisi Yuli Nugrahani terpatri sebagai sosok sosialis, spritualis,  mencintai lingkungan dan kemanusiaan. Secara pribadi, saya langsung memilih  hal yang paling khusus tertangkap mata dan oleh rasa penasaran saya. Saya merenungi betapa kekuatan kata dalam puisinya yang mampu menjadi corong perdamaian dan mampu menjadi alat yang saling menghangatkan demi semesta kasih dan demi semesta kehidupan. Saya juga menyepakati bahwa puisi mampu membawa seseorang ke medan yang hening dan mampu merenung.  

SUBUH

Menjadi keping air
di ujung ilalang,
di kelopak anyelir,
di luas pandang:

Hati mengalir 

Hajimena, 30 Juni 2014

Puisi “Subuh” di atas begitu singkat, padat dan suasananya begitu terbangun. Kesederhanaan yang pelan mengendap dalam tubuh teks, didukung dengan suasana jiwa penulisnya telah mampu menghadirkan nuansa dan suasana yang dingin, sehingga tak mesti bersusah payah untuk mendapatkan pesan secara lahiriah. Kesejatian teks puisi di atas menuju keheningannya, dan watak bahasa dalam puisi ini pun menuju hening seraya menarik jiwa menuju muara yang maha hening. 

Dalam puisi Subuh, ada perpindahan air ke beberapa tempat. Subuh dari judul tersebut menjadi tubuh air yang mengalir ke tumbuhan ilalang lalu mengalir kembali ke kelopak anyelir sampai tiba-tiba air seluas pandang. Dan, subuh yang menjelma air sebagai sifatnya yang dingin, dingin direkatkan menjadi lambang air adalah pembangunan suasana yang mungkin dirasakan pada saat puisi itu dituliskan.

Tapi, ada yang tiba-tiba hadir membuat kejutan, ketika air yang dingin, atau subuh yang serupa air yang sejuk di ujung ilalang, di kelopak anyelir, tiba-tiba berpindah tempat pada ruang penulisnya. Ketika baris terakhir yang unik, hadir menjadi “Hati mengalir."  

Samar-samar saya mendapatkan subuh menjadi air, atau air yang menjadi subuh di ilalang serta disertai dengan perpindahan makna yang kembali meluas menjadi seluas pandangan lalu semesta lain terseret menyatu menjadi penyatuan semesta kata dan kuasa ketika muncul “Hati mengalir” sehingga Subuh menjadi fraktal semacam air, embun lalu tiba-tiba menjadi "Hati mengalir" yang mengisyaratkan salah satu bagian sebenarnya adalah kesatuan dari bagian yang lainnya.

PILIHAN

Tapi, 
aku tidak bisa menghentikan,
ketika salah satu kaki menapak,
dan yang lain menggantung. 

Begitu,
berulang kali.

Oktober 2013

Dua puisi tersebut telah memberi dasar renungan. Imajis sekali, seolah menangkap bahwa ketika kaki satunya menapak dan kaki yang lainnya menggantung telah sublim menjadi pesan kalau sebagai manusia selalu dilematis dalam memilih beberapa hal. Dan pilihan tersebut kadang seolah mengambang, dan pada seolah mengambang itulah, pesan bahwa manusia masih bersandar pada kekuatan yang lebih besar dari ujud yang bukan sebagai mahluk. Imajis, unik dan sederhana seolah gambaran dari puisi-puisi yang ditulis Yuli Nugrahani: tidak muluk-muluk berharap menjatuhkan gunung dalam pangkuan. Tetapi, dia hadir sebagai fraktal di muka bumi yang mengemban tugasnya untuk menyampaikan kasih sayang pada yang lainnya.

Buku Sampai Aku Lupa juga memberikan tawaran yang lain, jalan lain mengenali lingkungan serta pendekatan tokoh-tokoh sejarah begitupun penggalian tema secara ke-Lampung-an terhidang dan variatif sekali. Sementara tulisan ini bukan dalam rangka membaca keseluruhan, sebab upaya saya hanya sebagai pembaca yang kebetulan diberi kesempatan untuk merayakan buku ini dengan cara sederhana.

Serius,  buku ini semacam mengingatkan pada tempat yang sejuk serupa taman dimana semua orang bisa mengendapkan segala ambisi dan keegoisannya. Maka, sangat layak ketika Sampai Aku Lupa dinikmati dan disambut dengan bahagia. Sehingga kehangatan dan kelembutannya melahirkan senyuman selayaknya cinta diucapkan atau tidak terucapkan sama sekali serta menuntut konsisten menolak lupa bahwa kekuatan satu-satunya di dunia adalah cinta yang diberikan cuma-cuma oleh yang maha serba Maha. 

Komunitas Kampoeng Jerami
Moncek, 020715 

Fendi Kachonk