Sampai Aku Lupa adalah kumpulan puisi yang menawarkan ingatan dan kenangan
melalui pendekatan tubuh sejarah, spritualitas sebagai ucapan kecintaan dan
penghayatan hamba pada seluruh hal yang tercipta dan yang telah ada. Entah,
dunia ini seolah cuma dibuat untuk dibagi atas dua pilihan saja yaitu: kasih
dan sayang untuk keselarasan keseimbangan dalam perilaku seorang hamba dalam
ujud kata-kata dan tindakan yang dirangkum menjadi puisi. Puisi akhirnya hadir
dalam segala ungkap menuju muara bahasa yang bening, yang lembut dan menarik
rasa untuk menghidupkan sel-sel perdamaian yang dimulai dari dalam diri.
Sampai Aku Lupa, buku yang diiringi dengan segenap kebahagiaan dan musti disambut
dengan suka cita. Karena, ketika wadah fisik yang lelah menghitung detik tiap
hari, hari dihitung jadi bulan dan bulan pun kini jadi tahun bahkan seterusnya,
cinta terus hidup. Cinta tak kenal lekang dan tak mati serta terus menjadi
corong tunggal sebagai peredam dalam kecamuk dekadensi kehidupan. Berbeda
dengan perang yang selalu mengedepankan strategi untuk menentukan mati dan
hidupnya seseorang.
Karena itulah kuasa jiwa kerap menjadi
kosong, kerap jadi kering. Maka puisi serupa bunga perdamaian dalam bentuk
kata-kata yang mewujud dalam romantisme, relijius untuk kembali hening, untuk
kembali menebar kebaikan pada segala bentuk yang ada dan telah tercipta.
Dan, Yuli Nugrahani, penyair serta cerpenis Lampung, mengantarkan Buku Sampai Lupa sebagai sebuah upaya
dalam kerja-kerja perdamaian sebagai manusia yang tak lepas dari lingkungannya,
mengakar dalam bentuk-bentuk pengharapan, sejarah-sejarah yang semuanya seolah
menjadi catatan dari masa lampau untuk diambil hikmah dan pelajaran. Sampai Aku
Lupa menjadi jalan kepastian manusia yang memiliki segenap cemas, segenap rindu
bahkan segenap gugatan atas ruang dan waktu. Pun kesadaran dalam setiap
dinamika.
Sehingga mengantarkannya sebagai
pengarsir mimpi dan sebagai juru rekam atas arti hujan, bunga, pohon dan segala
yang tumbuh serta gugur setiap hari. Semua hal itu menjadi istimewa, melekat
tanpa hendak dilupakan dan selalu berlari menjauh dari segenap kealfaan. Tema
cinta dan kerinduan atas alam sekitar dalam
Sampai Aku Lupa ini ditulis oleh Yuli Nugrahani melalui pendekatan tubuh sejarah
atau legenda lewat penulisan nama tokoh-tokoh. Bisa dikatakan sebagai upaya
menolak lupa atas segala bentuk rupa manusia dan benda.
Sayapun berpikir buku Kumpulan Puisi
Yuli Nugrahani adalah bagian penghayatannya atas kesejatian cinta dari seorang
hamba atas kehadiran Sang Pencipta. Muara puisinya tidak melulu pada kekasih
yang secara personal semata tetapi menyebar menjadi cara dalam memperoleh
pemahaman akan hidup seorang hamba dalam berkehidupan.
Hal itulah yang menjadi kesan awal saat
menerima naskah puisi Yuli Nugrahani. Pelan-pelan saya membaca satu per satu
dari semua puisi Yuli, membuat saya hampir terseret tak bisa lolos dari
kepungan kata-kata yang seolah berasal dan berada dalam ruang domestiknya
sendiri. Saya memperkirakan kalau daerah domestik atau yang terdalam dan
terdekat dari kehidupan sang penyair tersebut telah disuling menjadi tema-tema
yang tersaji sebagai menu makanan yang hangat dan kini dihidangkan penuh kasih
sayang.
Tetapi, pembacaan awal itu, saya tepis
pelan-pelan karena bermunculannya tema cinta yang secara umum ditarik menjadi
hal khusus yang ingin diangkat oleh Yuli Nugrahani. Kenapa, begitu?
Kecenderungan pada umumnya penulis yang lain lebih asyik berbicara hal yang
bombastis soal apapun gejala yang dirasakan dan dengan mudah menyajikannya ke
depan pembaca tetapi akhirnya menjadi kurang tepat ketika ke-umum-an itu sudah
kerap dirasakan oleh banyak orang. Yuli Nugrahani berbeda.
Dia, lebih memberi kesan universal
setelah pengalaman-pengalaman diendapkan menjadi dirinya. Dia menjadikan tubuh
dan perasaan serta jiwanya menjadi tema-tema tersebut sehingga kerap ada pesan
yang lembut dan halus serta tak mudah ditangkap sekali pandang dan sekali baca
saja.
Dalam beberapa puisinya, Yuli Nugrahani
menjadikan beberapa tema serupa bahan masakan. Dia akan meramunya dengan
hati-hati dengan penuh perasaan. Lalu dia mengaluri seluruh proses puisinya
dengan segenap jiwanya. Di situlah pesan itu pelan-pelan meninggalkan jiwa
personalnya dan menjadi hal yang bisa dipetik untuk kembali ke asal muaranya.
Maka bila saya andaikan dalam buku ini Yuli
berupaya menjadi koki yang sangat gembira dan penuh perasaan ketika menyajikan
puisi sebagai hidangan ke depan pembacanya. Dan itu tergambar bila membuka buku
catatan-catatan perjalanan yang telah ditempuhnya. Banyak kenangan yang telah
dituai serta sekelumit dan dinamika yang beragam warna.
Oleh sebab itu, pesan yang secara halus
itu kini mengembang sebagai masakan yang ditumis dengan cinta, rindu, dan
pengharapan. Dari sanalah pesan itu menjadi siap saji karena serasa ada isyarat
sepanjang jejak kaki agar ada cara memilih berbagai kejadian masa lalu, karena
bila salah memilih akan ada sesuatu yang remuk redam.
Pada sebagian puisi Yuli Nugrahani
terpatri sebagai sosok sosialis, spritualis, mencintai lingkungan dan
kemanusiaan. Secara pribadi, saya langsung memilih hal yang paling khusus
tertangkap mata dan oleh rasa penasaran saya. Saya merenungi betapa kekuatan
kata dalam puisinya yang mampu menjadi corong perdamaian dan mampu menjadi alat
yang saling menghangatkan demi semesta kasih dan demi semesta kehidupan. Saya
juga menyepakati bahwa puisi mampu membawa seseorang ke medan yang hening dan
mampu merenung.
SUBUH
Menjadi keping air
di ujung ilalang,
di kelopak anyelir,
di luas pandang:
Hati mengalir
Hajimena, 30 Juni
2014
Puisi “Subuh” di atas begitu singkat,
padat dan suasananya begitu terbangun. Kesederhanaan yang pelan mengendap dalam
tubuh teks, didukung dengan suasana jiwa penulisnya telah mampu menghadirkan
nuansa dan suasana yang dingin, sehingga tak mesti bersusah payah untuk mendapatkan
pesan secara lahiriah. Kesejatian teks puisi di atas menuju keheningannya, dan
watak bahasa dalam puisi ini pun menuju hening seraya menarik jiwa menuju muara
yang maha hening.
Dalam puisi Subuh, ada perpindahan air
ke beberapa tempat. Subuh dari judul tersebut menjadi tubuh air yang mengalir
ke tumbuhan ilalang lalu mengalir kembali ke kelopak anyelir sampai tiba-tiba
air seluas pandang. Dan, subuh yang menjelma air sebagai sifatnya yang dingin,
dingin direkatkan menjadi lambang air adalah pembangunan suasana yang mungkin
dirasakan pada saat puisi itu dituliskan.
Tapi, ada yang tiba-tiba hadir membuat
kejutan, ketika air yang dingin, atau subuh yang serupa air yang sejuk di ujung
ilalang, di kelopak anyelir, tiba-tiba berpindah tempat pada ruang penulisnya.
Ketika baris terakhir yang unik, hadir menjadi “Hati mengalir."
Samar-samar saya mendapatkan subuh
menjadi air, atau air yang menjadi subuh di ilalang serta disertai dengan
perpindahan makna yang kembali meluas menjadi seluas pandangan lalu semesta
lain terseret menyatu menjadi penyatuan semesta kata dan kuasa ketika muncul
“Hati mengalir” sehingga Subuh menjadi fraktal semacam air, embun lalu
tiba-tiba menjadi "Hati mengalir" yang mengisyaratkan salah satu
bagian sebenarnya adalah kesatuan dari bagian yang lainnya.
PILIHAN
Tapi,
aku tidak bisa
menghentikan,
ketika salah satu
kaki menapak,
dan yang lain
menggantung.
Begitu,
berulang kali.
Oktober 2013
Dua puisi tersebut telah memberi dasar
renungan. Imajis sekali, seolah menangkap bahwa ketika kaki satunya menapak dan
kaki yang lainnya menggantung telah sublim menjadi pesan kalau sebagai manusia
selalu dilematis dalam memilih beberapa hal. Dan pilihan tersebut kadang seolah
mengambang, dan pada seolah mengambang itulah, pesan bahwa manusia masih
bersandar pada kekuatan yang lebih besar dari ujud yang bukan sebagai mahluk.
Imajis, unik dan sederhana seolah gambaran dari puisi-puisi yang ditulis Yuli
Nugrahani: tidak muluk-muluk berharap menjatuhkan gunung dalam pangkuan.
Tetapi, dia hadir sebagai fraktal di muka bumi yang mengemban tugasnya untuk
menyampaikan kasih sayang pada yang lainnya.
Buku Sampai Aku Lupa juga memberikan tawaran yang lain, jalan lain
mengenali lingkungan serta pendekatan tokoh-tokoh sejarah begitupun penggalian
tema secara ke-Lampung-an terhidang dan variatif sekali. Sementara tulisan ini
bukan dalam rangka membaca keseluruhan, sebab upaya saya hanya sebagai pembaca
yang kebetulan diberi kesempatan untuk merayakan buku ini dengan cara
sederhana.
Serius, buku ini semacam
mengingatkan pada tempat yang sejuk serupa taman dimana semua orang bisa
mengendapkan segala ambisi dan keegoisannya. Maka, sangat layak ketika Sampai Aku Lupa dinikmati dan disambut
dengan bahagia. Sehingga kehangatan dan kelembutannya melahirkan senyuman
selayaknya cinta diucapkan atau tidak terucapkan sama sekali serta menuntut
konsisten menolak lupa bahwa kekuatan satu-satunya di dunia adalah cinta yang
diberikan cuma-cuma oleh yang maha serba Maha.
Komunitas Kampoeng Jerami
Moncek, 020715
Fendi Kachonk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar