Selasa, 19 September 2017

SPIRITUALITAS DALAM TUBUH SEJARAH DAN CINTA

Sampai Aku Lupa adalah kumpulan puisi yang menawarkan ingatan dan kenangan melalui pendekatan tubuh sejarah, spritualitas sebagai ucapan kecintaan dan penghayatan hamba pada seluruh hal yang tercipta dan yang telah ada. Entah, dunia ini seolah cuma dibuat untuk dibagi atas dua pilihan saja yaitu: kasih dan sayang untuk keselarasan keseimbangan dalam perilaku seorang hamba dalam ujud kata-kata dan tindakan yang dirangkum menjadi puisi. Puisi akhirnya hadir dalam segala ungkap menuju muara bahasa yang bening, yang lembut dan menarik rasa untuk menghidupkan sel-sel perdamaian yang dimulai dari dalam diri.

Sampai Aku Lupa, buku yang diiringi dengan segenap kebahagiaan dan musti disambut dengan suka cita. Karena, ketika wadah fisik yang lelah menghitung detik tiap hari, hari dihitung jadi bulan dan bulan pun kini jadi tahun bahkan seterusnya, cinta terus hidup. Cinta tak kenal lekang dan tak mati serta terus menjadi corong tunggal sebagai peredam dalam kecamuk dekadensi kehidupan. Berbeda dengan perang yang selalu mengedepankan strategi untuk menentukan mati dan hidupnya seseorang.

Karena itulah kuasa jiwa kerap menjadi kosong, kerap jadi kering. Maka puisi serupa bunga perdamaian dalam bentuk kata-kata yang mewujud dalam romantisme, relijius untuk kembali hening, untuk kembali menebar kebaikan pada segala bentuk yang ada dan telah tercipta.

Dan, Yuli Nugrahani, penyair serta cerpenis Lampung, mengantarkan Buku Sampai Lupa sebagai sebuah upaya dalam kerja-kerja perdamaian sebagai manusia yang tak lepas dari lingkungannya, mengakar dalam bentuk-bentuk pengharapan, sejarah-sejarah yang semuanya seolah menjadi catatan dari masa lampau untuk diambil hikmah dan pelajaran. Sampai Aku Lupa menjadi jalan kepastian manusia yang memiliki segenap cemas, segenap rindu bahkan segenap gugatan atas ruang dan waktu. Pun kesadaran dalam setiap dinamika. 

Sehingga mengantarkannya sebagai pengarsir mimpi dan sebagai juru rekam atas arti hujan, bunga, pohon dan segala yang tumbuh serta gugur setiap hari. Semua hal itu menjadi istimewa, melekat tanpa hendak dilupakan dan selalu berlari menjauh dari segenap kealfaan. Tema cinta dan kerinduan atas alam sekitar dalam 

Sampai Aku Lupa ini ditulis oleh Yuli Nugrahani melalui pendekatan tubuh sejarah atau legenda lewat penulisan nama tokoh-tokoh. Bisa dikatakan sebagai upaya menolak lupa atas segala bentuk rupa manusia dan benda. 

Sayapun berpikir buku Kumpulan Puisi Yuli Nugrahani adalah bagian penghayatannya atas kesejatian cinta dari seorang hamba atas kehadiran Sang Pencipta. Muara puisinya tidak melulu pada kekasih yang secara personal semata tetapi menyebar menjadi cara dalam memperoleh pemahaman akan hidup seorang hamba dalam berkehidupan.

Hal itulah yang menjadi kesan awal saat menerima naskah puisi Yuli Nugrahani. Pelan-pelan saya membaca satu per satu dari semua puisi Yuli, membuat saya hampir terseret tak bisa lolos dari kepungan kata-kata yang seolah berasal dan berada dalam ruang domestiknya sendiri. Saya memperkirakan kalau daerah domestik atau yang terdalam dan terdekat dari kehidupan sang penyair tersebut telah disuling menjadi tema-tema yang tersaji sebagai menu makanan yang hangat dan kini dihidangkan penuh kasih sayang.

Tetapi, pembacaan awal itu, saya tepis pelan-pelan karena bermunculannya tema cinta yang secara umum ditarik menjadi hal khusus yang ingin diangkat oleh Yuli Nugrahani. Kenapa, begitu? Kecenderungan pada umumnya penulis yang lain lebih asyik berbicara hal yang bombastis soal apapun gejala yang dirasakan dan dengan mudah menyajikannya ke depan pembaca tetapi akhirnya menjadi kurang tepat ketika ke-umum-an itu sudah kerap dirasakan oleh banyak orang. Yuli Nugrahani berbeda.

Dia, lebih memberi kesan universal setelah pengalaman-pengalaman diendapkan menjadi dirinya. Dia menjadikan tubuh dan perasaan serta jiwanya menjadi tema-tema tersebut sehingga kerap ada pesan yang lembut dan halus serta tak mudah ditangkap sekali pandang dan sekali baca saja.

Dalam beberapa puisinya, Yuli Nugrahani menjadikan beberapa tema serupa bahan masakan. Dia akan meramunya dengan hati-hati dengan penuh perasaan. Lalu dia mengaluri seluruh proses puisinya dengan segenap jiwanya. Di situlah pesan itu pelan-pelan meninggalkan jiwa personalnya dan menjadi hal yang bisa dipetik untuk kembali ke asal muaranya.

Maka bila saya andaikan dalam buku ini Yuli berupaya menjadi koki yang sangat gembira dan penuh perasaan ketika menyajikan puisi sebagai hidangan ke depan pembacanya. Dan itu tergambar bila membuka buku catatan-catatan perjalanan yang telah ditempuhnya. Banyak kenangan yang telah dituai serta sekelumit dan dinamika yang beragam warna.

Oleh sebab itu, pesan yang secara halus itu kini mengembang sebagai masakan yang ditumis dengan cinta, rindu, dan pengharapan. Dari sanalah pesan itu menjadi siap saji karena serasa ada isyarat sepanjang jejak kaki agar ada cara memilih berbagai kejadian masa lalu, karena bila salah memilih akan ada sesuatu yang remuk redam.

Pada sebagian puisi Yuli Nugrahani terpatri sebagai sosok sosialis, spritualis,  mencintai lingkungan dan kemanusiaan. Secara pribadi, saya langsung memilih  hal yang paling khusus tertangkap mata dan oleh rasa penasaran saya. Saya merenungi betapa kekuatan kata dalam puisinya yang mampu menjadi corong perdamaian dan mampu menjadi alat yang saling menghangatkan demi semesta kasih dan demi semesta kehidupan. Saya juga menyepakati bahwa puisi mampu membawa seseorang ke medan yang hening dan mampu merenung.  

SUBUH

Menjadi keping air
di ujung ilalang,
di kelopak anyelir,
di luas pandang:

Hati mengalir 

Hajimena, 30 Juni 2014

Puisi “Subuh” di atas begitu singkat, padat dan suasananya begitu terbangun. Kesederhanaan yang pelan mengendap dalam tubuh teks, didukung dengan suasana jiwa penulisnya telah mampu menghadirkan nuansa dan suasana yang dingin, sehingga tak mesti bersusah payah untuk mendapatkan pesan secara lahiriah. Kesejatian teks puisi di atas menuju keheningannya, dan watak bahasa dalam puisi ini pun menuju hening seraya menarik jiwa menuju muara yang maha hening. 

Dalam puisi Subuh, ada perpindahan air ke beberapa tempat. Subuh dari judul tersebut menjadi tubuh air yang mengalir ke tumbuhan ilalang lalu mengalir kembali ke kelopak anyelir sampai tiba-tiba air seluas pandang. Dan, subuh yang menjelma air sebagai sifatnya yang dingin, dingin direkatkan menjadi lambang air adalah pembangunan suasana yang mungkin dirasakan pada saat puisi itu dituliskan.

Tapi, ada yang tiba-tiba hadir membuat kejutan, ketika air yang dingin, atau subuh yang serupa air yang sejuk di ujung ilalang, di kelopak anyelir, tiba-tiba berpindah tempat pada ruang penulisnya. Ketika baris terakhir yang unik, hadir menjadi “Hati mengalir."  

Samar-samar saya mendapatkan subuh menjadi air, atau air yang menjadi subuh di ilalang serta disertai dengan perpindahan makna yang kembali meluas menjadi seluas pandangan lalu semesta lain terseret menyatu menjadi penyatuan semesta kata dan kuasa ketika muncul “Hati mengalir” sehingga Subuh menjadi fraktal semacam air, embun lalu tiba-tiba menjadi "Hati mengalir" yang mengisyaratkan salah satu bagian sebenarnya adalah kesatuan dari bagian yang lainnya.

PILIHAN

Tapi, 
aku tidak bisa menghentikan,
ketika salah satu kaki menapak,
dan yang lain menggantung. 

Begitu,
berulang kali.

Oktober 2013

Dua puisi tersebut telah memberi dasar renungan. Imajis sekali, seolah menangkap bahwa ketika kaki satunya menapak dan kaki yang lainnya menggantung telah sublim menjadi pesan kalau sebagai manusia selalu dilematis dalam memilih beberapa hal. Dan pilihan tersebut kadang seolah mengambang, dan pada seolah mengambang itulah, pesan bahwa manusia masih bersandar pada kekuatan yang lebih besar dari ujud yang bukan sebagai mahluk. Imajis, unik dan sederhana seolah gambaran dari puisi-puisi yang ditulis Yuli Nugrahani: tidak muluk-muluk berharap menjatuhkan gunung dalam pangkuan. Tetapi, dia hadir sebagai fraktal di muka bumi yang mengemban tugasnya untuk menyampaikan kasih sayang pada yang lainnya.

Buku Sampai Aku Lupa juga memberikan tawaran yang lain, jalan lain mengenali lingkungan serta pendekatan tokoh-tokoh sejarah begitupun penggalian tema secara ke-Lampung-an terhidang dan variatif sekali. Sementara tulisan ini bukan dalam rangka membaca keseluruhan, sebab upaya saya hanya sebagai pembaca yang kebetulan diberi kesempatan untuk merayakan buku ini dengan cara sederhana.

Serius,  buku ini semacam mengingatkan pada tempat yang sejuk serupa taman dimana semua orang bisa mengendapkan segala ambisi dan keegoisannya. Maka, sangat layak ketika Sampai Aku Lupa dinikmati dan disambut dengan bahagia. Sehingga kehangatan dan kelembutannya melahirkan senyuman selayaknya cinta diucapkan atau tidak terucapkan sama sekali serta menuntut konsisten menolak lupa bahwa kekuatan satu-satunya di dunia adalah cinta yang diberikan cuma-cuma oleh yang maha serba Maha. 

Komunitas Kampoeng Jerami
Moncek, 020715 

Fendi Kachonk

Tidak ada komentar: