Rabu, 10 Desember 2014

Antologi Puisi TITIK TEMU : Perhormatan pada Hak Asasi Manusia




Sejumlah 60 penyair tergabung dalam buku Antologi Puisi TITIK TEMU, yang diterbitkan oleh Komunitas Kampoeng Jerami pada hari Hak Asasi Manusia (HAM), 10 Desember lalu. Mereka datang dari berbagai kota di Indonesia, bahkan yang tinggal di Taiwan dan Korea, yaitu Acep Zamzam Noor, Ady Harboy, Aji Saputra, Alex R. Nainggolan, Alra Ramadhan, Ariany Isnamurti, Bayu Taji, Bunda Umy, Cici Mulia Sary, Ciek Mita Sari, Dedy Tri Riyadi, Dewi Nova, Dita Ipul,  Djemi Tomuka, Edy Samudra Kertagama, Fendi Kachonk, Handry TM, Hasmidi Ustad, Indarvis Inda, Jamal D. Rahman, Joko Bibit Santoso, Julia Asviana, Khifdi Ridho, Korrie Layun Rampan, Lara Prasetya, Lia Amalia Sulaksmi, Lilis A Md, Mariana Amiruddin, Masita Riany, Maulidia Putri, Meitha KH, M. Faizi, Mohammad Arfani, Much. Khoiri, Muhammad Zamiel El-Muttaqien, Nissa Rengganis, Retha, Reza Ginanjar, Saifun Arif Kojeh, Sastri Bakry, Saut Poltak Tambunan, Senandung Sunyi Chamellia, Setyo Widodo, Shinta Miranda, Siti Noor Laila, Soetan Radjo Pamunjak, Sofyan RH. Zaid, Sulis Setiyorini, Syaf Anton Wr., Syarifuddin Arifin, Tengsoe Tjahjono, Umirah Ramata, Upik Hartati, Vebri Al Lintani, Warih Subekti, Weni Suryandari, Yanuar Kodrat, Yeni Afrita, Yonathan Rahardjo, dan Yuli Nugrahani. Penulis yang terlibat ini terdiri dari para penyair senior maupun pemula dari beragam latar suku, agama, profesi, orientasi seksual, cara pandang dan sebagainya.

Dalam kata sambutannya di bagian awal buku, Komisioner Komnas Hak Asasi Manusia, Siti Noor Laila, menuliskan gambaran latar belakang mengapa buku ini diterbitkan. Menurutnya karya sastra menjadi salah satu bagian yang harus dikembangkan sebagai salah satu bentuk cara dalam mengembangkan penghormatan martabat manusia dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).

            “Indonesia masih menyimpan banyak persoalan HAM. Soal kebebasan beragama, pejuang HAM yang dikriminalkan, tanah rakyat yang diambil paksa dengan harga murah, buruh dibayar murah, dan seterusa. Namun, juga harus kita akui bahwa pasca rezim orde baru ada beberapa kemajuan dalam pengakuan dan penghayatan HAM, misalnya ditandai dengan lahirnya beberapa kebijakan. Dalam situasi ini  diperlukan peran aktif semua pihak untuk melakukan promosi HAM di negeri Indonedia yang konon sebagai negara demokrasi,” demikian dikatakan Laila.

Pengasuh Komunitas Kampoeng Jerami, Fendi Kachonk dari Sumenep menandaskan impian buku ini. Selain ingin menyampaikan pesan kemanusiaan dari penyair-penyair Indonesia yang ditujukan bagi semua manusia di Indonesia dikatakan bahwa karya sastra haruslah diangkat untuk mengangkat martabat manusia. “Lewat buku kami ingin menyebarkan nilai-nilai penghormatan pada Hak Asasi Manusia lewat penerbitan dan diskusi buku di berbagai kota,” ungkapnya.

            Yuli Nugrahani, cerpenis dan penyair dari Lampung bertindak sebagai editor bagi buku ini. Penyusun naskah Fendi Kachonk (esais, cerpenis dan penyair, pengasuh Komunitas Kampoeng Jerami), Umirah Ramata (penulis cerpen dan puisi, relawan Komunitas Kampoeng Jerami di Taipei) dan Cici Mulia Sary (penulis, penggiat seni dan relawan Komunitas Kampoeng Jerami di Bengkulu). Ilustrasi sampul dan isi buku digarap oleh Dana E. Rachmat, pelukis dan penggiat Dewan Kesenian Lampung (DKL) dengan desain dan tata letak Devin Nodestyo. Menurut rencana buku ini akan diluncurkan di berbagai kota di Indonesia antara lain Sumenep, Surabaya, Jakarta dan Bengkulu. ***

Sabtu, 04 Oktober 2014

Dari Dompet dan Jaket Sampai Kerawang – Bekasi Adalah Tentang Kami

Untuk : Hudan Hidayat, Teratai Abadi, Lia Amalia Sulaksmi, Nova Linda, Umirah Ramata.
Catatan proses : Fendi Kachonk

Hey,  ini kak Odi kan,? Sapaku. Dan di sampingnya berdiri perempuan dengan kaca mata yang aku lihat dia sangat cantik, dan aku kembali menegur. Wah!  Kalau ini pasti teh Lia Amalia Sulaksmi.

Begitulah kisah perjalanan kami sampai di Hotel Wirton di Bukit Dago dan aku tak pasti langkah ini menuju tangga untuk naik dan menuju kamarku yang ada di lantai 4. Pagi itu sekitar jam 8 malam aku telah berkirim sms ke Nova linda yang kutahu sedang menunggu jemputan Abah Hudan Hidayat yang sedang menemani Khadijah Abd Rahman penyair Malaysia ini sudah tiba dan menyelesaikan tugasnya di Ibnu Khuldun bersama abah Hudan Hidayat di sana. Lama aku menunggu kedatangan rombongan abah Hudan dan Khat serta Nova yang terus terjebak macet.

Aku beranjak cepat sekali menuju kamar 415 ingin rasanya aku ingin memeluk sosok yang selama ini begitu sangat ingin kutemui dan lalu kamipun berkumpul aku mencium tangan abah Hudan dan kami pun tergelak ramai sekali pertemuan pertama itu karena kami awalnya memang tak pernah bertemu dan bertatap wajah secara langsung kecuali di dunia maya dengan berjenis kelamin FB. Khat pada waktu itu kulihat masih sedikit keringatan, dua tas besar berisi buku-buku begitupun wajah abah Hudan dan Nova yang kayaknya sangat lelah akibat mengarungi lautan macet dari Jakarta ke Bandung.

Yah, begitulah Negeri ini selalu punya cerita soal kendaraan macet, banjir dan banyak lagi yang lainnya. Ah, aku tak mau masuk kesana dulu, karena aku ingin menulis kenangan kebersamaan kami yang bertemu di Bandung. Tepatnya di tanah kelahiran seorang Relawan Kampoeng Jerami yaitu Lia Amalia Sulaksmi dan sekali lagi wajah perempuan ini sangat bersih dan rapi serta menunjukkan ikhlasnya. Dia menyambut kami. Cuma mungkin aku yang tak mau dijemput olehnya sebab aku tak ingin mengganggu aktivitasnya yang mengajar dan menyiapkan Pelatihan Pengenalan Sastra di SMPN 35 Bandung tempat dia mengajar.

Sebelumnya aku kembali terkenang bagaimana kami akhirnya bisa sepakat untuk mengadakan Pelatihan di Bandung. Larena situasi dan kondisi yang tak begitu memungkinkan untuk ditempatkan di Madura maka alternatif lainnya adalah Bandung yang secara lalu lintas transportasi akan jauh lebih irit dari jakarta ke bandung dibanding harus Jakarta – Madura. Kami pun terus bercanda dan bercerita hal-hal kecil. Kembali aku menyisir wajah-wajah orang yang begitu sangat dekat dan akrab di dunia maya ini.  Yah! Memang dunia maya telah mempertemukan kami. Menulis di dunia maya, dan akhirnya bertemu di dunia nyata.

Waktu begitu cepat berlanjut begitu cepat sekali, Abah Hudan sibuk membagikan buku-buku sastra pada kami masing-masing, aku dapat bagiannya, Nova begitupun, Lia juga dapat sesuai kemampuan berbahasa kami. Kata abah yang aku ingat,”ini buku aku bagikan karena melihat watak bahasa kalian dan kalian ini sebenarnya tak sama, watak bahasa kalian berbeda. Nah, buku-buku yang aku bagikan aku pikir akan membantu kalian untuk menuju rimbunan bahasa kalian.” Kata Abah Hudan yang dengan tatapan sayu mata yang bersembunyi dibalik kaca mata yang menggunakan rantai itu. Abah ini sangat luar biasa perhatiannya pada kami.

Akhirnya obrolan-obrolan itu seperti anak panah yang lepas begitu saja, kadang tertawa, kadang saling diam dan lalu riuh kembali. “Khat jaket dan dompetku di mana ya?” Dan semua mata tertuju pada Abah dan Khat. Kami semua segera bergerak mencari dompet dah jaket Abah Hudan, mulai dari bongkar semua isi tas, mulai dari mengingat kemungkinannya jatuh di mana? Di tinggal di mana? Ah, dan Lia mengambil inisiatif menelpon suaminya. “Aak, tolong dicek apa di mobil ada jaket? Soalnya itu jagetnya Gu.” ( sapaan Lia ke Abah Hudan dengan sebutan Gu: Guru). Di seberang suara kak Odi seperti menjawab. “Gak ada sayang, gak ada jaket tertinggal di mobil ini.” Kata Kak Odi ke Lia.

Lia pun meminta suaminya berputar arah dan kembali lagi ke hotel untuk menyusul ke tempat mobil antar jemput di Cipaganti. Aku dan Nova Linda ikut dalam mobil itu, aku melihat Kak Odi juga konsentrasi dan agak mempercepat laju mobil berwarna putih meski aku tak ingat apakah mobil itu Avanza atau Xenia. Yah bodo ah, kamipun saling diam seakan-akan kami sibuk dengan pikiran masing-masing, Cuma sekali-kali Nova menjelaskan kemungkinan-kemungkinan jaket itu tertinggal sedang dipikiranku bertanya. “Gimana kalau hilang?” Bukan masalah barangnya tapi ini jaket dan dompet yang berisi surat-surat pentingnya Abah Hudan. Ah jadi malu juga akhirnya kalau ini tidak ditemukan, merasa gagal menjaga barang-barang dari orang yang sangat kami kagumi.

Sesampai di Cipaganti aku dan kak Odi suaminya Lia ini sigap menuju tempat satpam dan menanyakan perihal dompet dan jaket yang tertinggal di dalam mobil. Setelah berapa menit kami menunggu ada konfirmasi langsung dari para pekerja di Cipaganti. Kabar baik pertama jaket dan dompet itu ada. Lalu Abah Hudan menelpon. “Isinya itu adalah macam-macam loh Fen!” Sambil menge-list jumlah isinya dan barang berharga di dalam dompet itu. “Iya abah.” Kataku. “Mohon Abah menunggu kabar dari kami selanjutnya, pihak pekerjanya masih menge-ceknya sekarang.” Begitulah aku jawab telpon dari Abah yang terus meminta kami tenang dan tetap sabar.

Aku terbayang kembali betapa tangis khat mengalir ketika dompet dan jaket itu tak ada, khat begitu gelisah. “Fen, padahal biasanya aku yang pegang itu dompet Fen. Kenapa aku sekarang jadi lupa? Kenapa aku begitu lengah.” Dan penyesalan khat makin jadi, aku hanya bisa melihatnya, tapi tanpa sadar aku tepuk bahunya Khat. 
“Sudahlah Khat! Aabar dan tenangkan dirimu. Mari kita cari bersama.” Dan kembali khat cuma bisa menggigit bibirnya dan mengusap air matanya. “Tuh kan Fen aku jadi cengeng. Maaf ya Fen?.”  “Tak apa-apa khat, santai saja.” Kataku pada Khat.
“Mas Fen, kita makan dulu yuk! Atau sekadarnya minum teh hanget dan minum kopi di sini?” Sapa kak Odie membuyarkan ingatanku pada Khat dan Abah Hudan yang  sedang menunggu kedatangan kami. “Oh iya kak mari silahkan.” Akhirnya, aku, Nova dan di susul dari depan kak odi lebih dulu turun dari mobil dan membukakan pintu untuk istrinya dan mereka bergandengan ke tempat yang dipilih untuk sekadar minum. Akhirnya kami lebur dalam obrolan menikmati makanan sedang aku hanya memesan teh jeruk bukan karena tak lapar tapi aku selalu merasakan sakit di tenggorokanku ketika ingin menelan makanan. Obrolan kami begitu hangat soal Bandung sampai kami kembali menyusuri ruas jalan menuju Dago dan arah hotel yang kami tempati.

Kami pun akhirnya berkumpul dan menyerahkan dompet dan jaket itu ke Abah Hudan Hidayat, beliaupun mengecek isinya dan semua lengkap lalu kata Abah. “kalian memberikan ucapan tanda terima kasih kepada petugas yang menyimpankan jaket dan dompet ini kan?” Lia menjawab sudah gu beserta sedikit uang. Ah! Sedikit sekali kalian memberikannya. Kata Abah Hudan sambil tersenyum dan kami semua tersenyum setelah semua kegelisahan ini terbayar tunai dengan jaket dan dompet ada di tangan Abah Hudan.

Aku melirik wajah Khat yang kembali berbinar dan penuh cahaya. Kamarku yang dijadikan tempat berkumpul dan markas untuk membicarakan soal hari pertama pelatihan Pengenalan sastra di SMPN 35 Bandung. Mulailah Lia mempresentasikan semua situasi di lapangan. Dan aku kembali tersudut pada alamku sendiri. Aku teringat wajah kecil, wajah manis yang selalu riang memanggilku mas tulang.”Ah sedang apa kau di sana sayang?” Kurasakan dan kusapa wajah Umirah Ramata yang tiba-tiba melintas di kamar 414 yang aku tempati. Sosok lugu ini sangat besar kontribusinya pada kami. “Umirah aku rindu kamu. Aku ingin kamu berkumpul di malam ini, bersama kami.” Jerit bathinku di sela diskusi Lia dan Abah Hudan yang entah sampai ke mana? Ku lihat tatap Lia yang begitu riang, wajah Nova yang sayu, dan mata Khat yang kembali cerah serta liukan tangan Abah Hudan dalam menjelaskan persiapan kelas estetik untuk besok. Buru-buru aku mengembalikan arah alam sadarku.

Perlahan waktu telah menjadi kabur dan kami semua memang tak sadar telah menjauhkan dan  mengasingkan tubuh waktu. “Sekarang coba kita baca puisi dan latihan bersama.” Kata Abah Hudan membagikan tugas. Nova baca Gerbang senja, dan Khat memilih puisi yang judulnya sangat panjang( itu judulnya apa ya Khat?), Lia Membaca semusim. Dan secara bergiliran kami mencoba. Kulihat Nova masih malu-malu membacakan puisi gerbang senjanya. Maka aku ambil iniasiatif untuk lebih gila. Aku membacakan puisi Kerawang-Bekasi, puisi yang termasuk terbaik dari penyair Indonesia yang sangat terkenal : Chairil Anwar. “Aih Fen, kamu belum dapat” Kata Abah Hudan. Maka mulailah suasana itu makin cair dan tak lagi malu-malu.

Bibirku bergumam, untuk memasukkan roh Kerawang-Bekasi aku butuh ritual kecil, yaitu lagu gugur bunga,...dan aku mulai tak sadar, tapi entah apa yang terjadi tubuh bergetar dan aku tak tahan menahan diri dulu, aku biarkan pembacaan puisi itu berhenti, selanjutnya Lia membaca puisi semusimnya. Aku diam-diam salut pada cara baca puisinya. “woow.” Kataku. Tapi aku diam-diam saja, aku diam tak mengatakan. Lia hebat cara baca puisimu, nova pun menyusulnya dengan baik, Khat dengan renyah memberi warna. “Aih...Umirah yang aku tahu memiliki ciri khas pembacaan puisi, sayang kau tak di sini Umirah.” Bathinku kembali mengenang umirah. Malam pun sudah jam 3 dini hari. Malam sudah bergelantungan, dan kami merapikan diri sampai pagi, karena kebetulan agenda pelatihan memang siang.

Pagi-pagi aku segera melihat laptopku. Kubaca inbok Lia. “Mas Fen, pliiss bantu aku! materi-materi belum selesai.” Dan aku melayang ke dekat wajah Lia ini. Dia kayaknya lagi kewalahan, maka dengan segera aku melakukan perintah dari Lia, sampai akhirnya semua pekerjaan sudah selesai aku kirim pesan. “Teh lia, ini file materi sudah siap dicopy dan diperbanyak.” Kataku.  Jawabnya Lia. “Mas Fen makasih ya? Untung saja ada kamu yang bisa bantu hiks,...hehe.” Aku tersenyum, “Gak lah ini kan tanggung jawabku teh. Eh teh, suaminya cakep dan baik sekali.” Kataku untuk menghilangkan fokus kerisauan Lia ini.

Obrolanku dengan Lia, aku biarkan dan aku tinggalkan begitu saja. Sekali lagi, ini memang penyakitku yang paling parah ketika obrolan sudah tak penting aku biasanya dengan seenak hati meninggalkan begitu saja, dan ketika itu aku jadi ingat sewaktu sarapan dengan Abah Hudan. “Ya allah kataku, semoga Lia tak tersinggung.” Buru-buru aku ke kamar lagi, dan benar sekali kata di dalam inbok itu. “Hellloooooww...dodoooollll nyebelin banget kamu neh! Selalu tak mau menerima curhat-curhat yang tak penting.” Kata Lia. Aku jawab meski aku tahu dia sudah tak di ujung inbok ini. “Kalau kamu tahu itu tak penting kenapa mau diobrolkan.” Kataku dengan tambahan, hehe.

Jemputan gratis dari kak Odi suaminya teh Lia datang. Kami berempat masuk ke mobil itu. Di dadaku berdebar-debar, kebiasaanku memang kadang gila, kalau menghadapi acara atau ada kegiatan aku jarang bisa tidur, seperti hari itu, aku tak terlelap sebentarpun. Dan mobil itu berhenti, aku melihat tulisan SMPN 35 BANDUNG, kami diterima Wakaseknya.

Abah Hudan melakukan percakapan serius dengan pihak sekolah di dampingin aku, Nova dan Khat sedang di depan kami sederetan guru-guru juga mendampingi, panjang kami melakukan percakapan, dan abah hudan menjelaskan semua tujuan, apa Itu Jurnal Sastratuhan Hudan dan Kampoeng Jerami. Akhirnya kamipun menuju kelas, melakukan cek sound, melihat senyum manis para peserta, dan mulailah, hatiku kembali berdegup kencang. “Mau jadi apa forum ini nanti ya? Mampu enggak kawan-kawan memberi semangat untuk mereka mencintai sastra?”

Aku melihat kegelisahan di mata Lia, orang ini memang sangat cuek, tapi aku tahu dia mulai kebingungan dan aku mendekatinya. “Teh, ada apa? Apa semua baik-baik?” Kataku dan jawabnya, “Aku bingung mas, mau mulai dari mana? Mau dibagaimanakan ini?” Kata Lia. Kujawab dengan santai. Ah! Teteh mah bisa saja, yuk tak usah banyak berfikir, kita mulai, kita akan menerima apapun dampak dan hasilnya yang penting kita sudah berupaya keras untuk sampai ke sini dan melakukan yang terbaik.”

Nova mengawali dengan suara sendu, tapi entah apa yang terjadi di dalam, aku tak mendengar suara Nova dari luar kelas. Sound yang sedikit bermasalah membuatku juga agak sedikit pening, sedang radang tenggorokan belum juga sembuh, lalu Khat kudengar baca puisinya, dan suara Khat memang lebih tinggi dari Nova, Nova mendayu-dayu dan merdu sedang Khat dengan kepolosannya, lugu dan sangat jujur, Khat memukau para peserta dengan aksen Malaysianya, jadi membuatku serasa ada di malaysia. Khat aku kenal memang baru saja, dia menurut sebagian teman-temanku di malaysia adalah murid kesayangan Dato Kemala, begitupun Profesor Ariffin Mohd. Yah anak ini kataku, pasti nanti akan jadi penyair, meski sebenarnya dia selalu menolak bila dikatakan penyair.

Semusimnya lia pun kudengar di tengah kelembutan suaranya ia berteriak, ia menaikkan intonasinya dan aku lamat-lamat mendengarnya dari luar kelas,... dan sampailah pada situasi yang menuntunku untuk membacakan puisi Kerawang-Bekasi. Di dalam kelas, sudah senyap, lagu gugur bunga memenuhi ruangan. “Ah, gimana neh kataku dalam hati, aku mendengar kata Abah Hudan. Fen! Sukses dan tidaknya kelas estetik itu sekarang di tanganmu.” Mandat Abah ini juga amat berat kataku. Abah menepuk bahuku. “Berangkatlah anak muda, tunjukan kemampuanmu, buat abah senang.” Kata Abah Hudan. “Aku menaruh kepercayaan dan harapan yang tinggi padamu.”

Perlahan aku membuka pintu ruang kelas itu dan pada waktu itu kesadaranku masih sangat penuh. Yang aku ingat berjalan memegang dua alat, berupa bendera merah putih dan satu kertas bertuliskan puisi kerawang-bekasi. Ah! semuanya berjalan amat cepat sekali, aku sudah tak paham gerak tubuhku, aku sudah tak paham apa aku sudah tepat membaca puisi agung ini, sekeliligku aku melihat bunga-bunga mekar, tumbuh, kering, terkulai dan mati, begitu seterusnya, anak-anak di depanku seperti generasi baru, seperti bunga itu, di siram dan perlu dirawat, perlu sekali kasih sayang, perlu diberi minuman vitamin, untuk bisa menghargai pahlawannya, dan aku tiba-tiba tak sadar bendera itu jadi naik turun, ada wajah para pejuang menahan sakitnya, peluru menembus dada, seorang kekasih kehilangan kekasihnya, seorang ibu rela melepas anaknya ke medan laga, dan kepiluan itu makin panjang, sepanjang Kerawang dan Bekasi. Pun tiba-tiba tubuhku digeret ke kursi, aku lirik di sampingku ada Abah Hudan Hidayat. Di depanku Khat menahan tangis, wajah nova, dan seorang guru yang mengambilkan air minum. Abah Hudanlah tiba-tiba memelukku dan mengambil jempolku yang luka dan mengecupnya. Aku terharu tapi aku tetap tak bisa bergerak lemas sekali kata tubuhku. Dan acarapun berjalan sampai hari pertama ditutup dengan pembagian dinamika kelompok.
Hari Kedua Dinamika Kelompok :

Pagi itu aku dan Abah Hudan menikmati sarapan sambil ngobrol dan sekali-kali tersenyum banyak sekali hal-hal yang aku ambil dalam obrolannya yang mengarahkan diriku untuk lebih matang lagi dalam berproses dan matang dalam menulis. Akhirnya semua bergerak ke lokasi sekolah itu kembali. Aku memegang kamera Khat. Otak dan pikiranku kembali tak tenang saat di sms kubaca. “Anakmu mulai tadi malam panas, dia tak mau makan.” Aku mencoba menelpon asal nomor itu. “Tenanglah dulu, aku yakin Surga akan baik-baik saja, kecup sayang dariku.” Kataku menenangkannya. “Iya katanya, kamu jaga diri baik-baik di sana ya?” Iya kataku.

Sampai akhirnya aku tertinggal rombongan. “Ku tanya siapa ya? Kayaknya lewat sini, kayaknya kemarin begitu, aku ulang lagi, dalam hatiku, aku tersesat memalukan kataku, dan ini lagi soal diriku, yang selalu tak peduli arah dan jam dan waktu begitupun hari. Nov, aku tersesat di bawah, bisa bantu jemput aku?” Kataku menelpon Nova. “Iya Fen bentar tunggu ya?” Jawab Nova. Aku pura-pura memotret sekelilingku dan lalu muncul wajah Lia. Kok bukan nova, Lia dengan wajah cuek dan tanpa basa basi. “Yuk,” kata Lia. “Ayuk.” Kataku. Kami diam. Aku asik dengan kameranya Khat. aku ingin kamera ini kataku tapi gak deh mahal, lalu Lia pun lewat di depanku begitu saja. Ia aku juga tak ambil pusing di situasi seperti ini dia pasti fokus ke acara dan sudah hari kedua ini.

Entah hari kedua tiba-tiba jadi seakan hari yang redup, tapi aku mencoba menepisnya. “Ah ini karena feelku sedang kacau dan terbelah ke arah obrolan anakku tadi.” Kataku. Aku ambil napas. “Ayo Kataku, jangan kecewakan orang banyak, aku menyemangati diriku sendiri dan mencoba menetralisir keadaan dan arus bawah sadarku.” Aku dekati Lia, “gimana?” Kata Lia. “Kau ambil forum ini!” “Oke siap?” Dan aku mencoba mengambil perhatian peserta dan lalu hening dan senyap kembali. Namun Abah Hudan mengambil cara yang lebih bijak memecah semua kebuntuan dan beliau memang sudah sangat paham untuk menguasai forum. Pembagian kelompok mengalir, aku memilih berjalan bersama peserta sambil aku menelpon istriku diperjalanan. “Udah baik kah?” Kataku. Aku hanya berdoa semoga anakku surga baik-baik saja.

Dinamika kelompok itu terbagi jadi dua kelompok. Aku memandu satu kelompok dan tempatnya sekitar 1,5 kilo di Taman Budaya Bandung. Satu mobil mengajakku naik, terlihat di dalamnya Abah Hudan, guru senior Lia dari MGMPnya, Nova, Khat di dalamnya. Tapi aku menolak karena aku juga ingin terus mengontrol keadaan di Madura. Selang berapa menit aku melihat Lia dibonceng oleh seorang guru laki-laki, dia hanya tersenyum, dan aku juga tersenyum, cueknya memang kambuh selalu dan kadang aku merasa sedikit kecewa juga tapi tidak kataku, sebab bebannya dia udah berat mulai mengawal komunikasi sampai semua persiapan dan aku tak boleh menambah bebannya jadi aku memposisikan diriku sebagai orang yang dewasa dan mencoba mengisi ruang kosong yang tak tersentuh. Karena inilah kekuatan TIM itu saling mengerti dan bergerak atas ruang intuisi yang saling menunjang ke arah yang lebih dinamis.

Aku memandu dan kawan-kawan pun begitu, terlihat wajah abah Hudan yang murung akibat berapa hari ini tak bisa menulis dengan fasilitas wifi yang sangat jelek, beliau kehilangan energinya untuk menulis. Aku melihat Nova, aku melihat Khat sedang asyik dengan kelompok dampingannya. Sedang aku sendirian, loh kok aku jadi bertugas sendirian yah kataku dalam hati. Tapi aku sekali lagi bukan tipe orang yang mudah memainkan rasaku sendiri. Akhirnya aku mainkan forum itu dengan sedikit menyentuh keriangan para penulis. Dan akhirnya dua jam kami lalui, aku turun kembali ke tempat acara sesampai di sana aku membacakan puisi Umirah, adik yang sangat kusayang ini. Dia pasti akan senang kalau aku bacakan Pandora dan hujannya. “Aihh...Nova apa tadi pas aku baca puisinya umirah kamu ambil dokumentasinya?” Tanyaku pada Nova. “Aduh Fen, kamu tak ngasih tahu seh!” Kata Nova. Terbayang wajah Umirah yang bersungut dan itu terwakilkan dari raut wajahku tapi aku juga buang wajahku dari tatapan Nova, aku juga tak ingin Nova tahu kalau aku kecewa.

Waktu memang amatlah cepat. Sampai tiba kami pada penghujung acara. Aku mulai sedikit kelelahan, benturan di kepalaku masih terasa perih, satu malam aku kunci pintu, agar tak seorangpun tahu bahwa kepalaku terasa amat dan ingin pecah. Aku menangis. “Nov jangan lama-lama di jalan ya?” Tapi ah, aku simpan sendiri perihnya, aku diam saja di kamarku. Penutupan acara, Foto-foto dan tibalah kita disalamin oleh para guru dan peserta, aneka kesan pesan mereka. “Adakan lagi acara seperti ini ya mas, ya kak, ya pak?” Kata mereka saling tersenyum. Hatiku bersyukur. “Alhamdulillah.” Kataku. Bersyukur ini sukses, tapi aku pun tak bisa mengambil air minum dan melakukan tos atas kesuksesan ini.

Suatu pagi di hari terakhir itu, semua baju, buku dan semua barang-barang telah terkemas ke ransel. Abah Hudan sudah siap, Khat dan Nova sudah rapi, tinggal aku yang belum merapikan sedikit barang di kamarku, kamipun turun ke loby menikmati sarapan sambil menunggu Lia dan kak Odi suaminya. Selang berapa menit turunlah dua wajah berseri, laki-laki yang kulihat sangat cool dan perempuan yang sangat manis dengan kacamata minusnya turun dari mobil berwarna putih. “eh tuh lia dan kak odi.”

Sedang aku bergegas ke recepsionis untuk menyelesaikan pembayaran kamar hotel atas permintaan Khat dan Abah Hudan serta teh Lia semua keuangan terbayar semuanya. Maka kamipun berangkat ke Cipaganti tempat Abah Hudan dan Khat akan kembali ke Jakarta. Inilah kali akhir kataku. “Apa kita akan bersama lagi?” Hatiku perih sakit, tapi kusembunyikan sendiri, di mobil kak Odi terdengar lagu dangdut mengalun, aku yang duduk di kursi paling belakang menggoda kak Odi. “Eh kak kok tumben lagunya dandutan ini?” Kak odi menjawab dengan renyah. “Iya mas biar sedikit riang hari ini.” Katanya. Kamipun tersenyum, dan kulihat tangan kiri kak Odi menyentuh dagu teh Lia. Mungkin kak Odi melihat kesedihan di mata istrinya, sedih itu karena harus berpisah dengan Nova, Abah, dan Khat. Sedang aku tak mau mendramatisir perjalanan itu, aku goda kawan-kawan.  “ini kebun binatang di mana aku jadi orang terganteng di dalamnya. “ maka nova menyahut. “Iya Fen itu tempatnya. Sambil menunjuk kebun binatang yang kami lalui lalu kak Odi menimpali. “Apa mas Fendi mau menjenguk saudaranya.” Dan kamipun tersenyum.

Sampai juga akhirnya. Kami semua turun. Aku lihat Khat mulai menangis, dia memeluk Nova lama sekali. Dia memeluk lia begitupun lama sekali. Aku tak mau ambil pusing sebab di sakuku kok aku tak punya rokok ya? Aku lari ke asongan. Lalu aku nyalakan rokokku dan kembali mendekat pada suasana yang mulai tumpah dengan kesedihan. “Titip dan jaga Lia ya dengan baik ya?” Kata Khat pada suaminya dan lalu bagianku mencium tangan dan memeluk Abah Hudan. Abah tetap tenang dan cool dan aku memperlihatkan tinjuku pada Khat sebagai saling adu kekuatan dan tak boleh sedih aku dengar katanya, “Fen, Fen, dan kugenggam tangannya dengan erat, sekali lagi aku paling tidak bisa dibawa ke suasana semacam ini, khat kataku. “Kita adalah saudara dan kita adalah orang-orang yang kuat, kuatlah jangan menangis kataku.” tapi itu tak lepas dari bibirku dia cuma muncul di dalam hatiku.

Begitupun selanjutnya, Khat dan Abah Hudan ditinggal di tempat itu mereka akan dibawa oleh angkutan yang akan membawanya ke Jakarta lagi. Sedang aku, Nova, Lia dan kak Odi ke tempat yang lain mengantar Nova. Nova sudah banjir air mata, sedang lia tetap tanpa kata dan air mata hanya diam. Aku bersyukur ada kak Odi yang selalu bisa menetralisir keadaan sehingga Nova sampai juga. Dan aku tinggalkan mereka bertiga menyingkir ke tempat area merokok. Dari jauh aku melihat Nova dan Lia saling berpelukan, saling meneteskan air mata. Dari jauh aku berkata dengan hatiku. “Tenanglah kawan-kawan, sabarlah dan jangan menyerah ini akan indah pada waktunya.” Kataku dan kubuang kembali rasa sedihku sampai akhirnya Nova kita lepas menuju Bandara.

Lia membuka obrolan yang paling mengejutkan setelah berapa hari ini jarang sekali dia mau mengobrol denganku. “Aak, yang laki-laki ini mau dibuang kemana?” Kata Lia pada suaminya. Dan laki-laki yang dimaksud Lia adalah aku. Kak Odi menimpali. “kalau yang laki-laki lepas saja di stasiun dia akan senang melihat betis-betis mulus.” Kami pun tertawa sampai akhirnya Stasiun Kota Bandung menyambut kami. Aku bergegas ke loket tiket. “Semoga dapat kataku.” Kak Odi membantu mengambilkan kartu antri. “Yang ke Surabaya ada gak mba?” Tanyaku. “Ada mas, tapi yang bisnis, berapa?” Kataku. “260 ribu mas, gapapa aku ambil itu. ” Kataku. Tiket sudah di tanganku. Terbayang aku pulang kembali ke Madura di mana pekerjaanku juga banyak kutinggalkan.

Akupun berpamitan dan memeluk tubuh kak Odi. Tubuh yang kurasakan kakak sendiri. Kami bersalaman. “Datanglah kembali mas, aku akan ajak mas Fendi jalan-  jalan, tidur di rumah.” Kata kak Odi padaku. Aku jadi terkenang saat kami tidur berdua di kamarku. Terima kasih kak Odi. “mohon maaf merepotkan.” Kataku. Dan kata kak odi. “tak apa-apa mas, aku bahagia karena punya saudara baru.”

Lia berdiri di sampingku. Aku tak bisa berkata banyak ke Lia. Dia menyalami tanganku, kata Lia. “Mbahhh...maafin kalau ada salah kata dan perbuatan, salam untuk anak dan istrimu, ada bingkisan kecil untuk Surga dan Iman katanya.” Aku pun berkata pada Lia. “Teh jangan menyerah, tetap semangat, kami butuh teteh tetap bersama kami.” Tanpa basa-basi lagi aku menoleh dan meninggalkan mereka sampai mobil putih itu lenyap dari tempat semula.

Dan tinggallah aku sendirian di Stasiun ini dengan segala dan segenap kehampaan memikul beban perjuangan inilah kesaksianku terhadap proses dan kerja sama kami, JSTH/KJ dan SMPN 35 Bandung. Aku sayang dan hormat pada semua kenangan ini. Salam.

Kenang-kenanglah, 131113

KUMPULAN PUISI DEWI NURHALIZAH, "PEREMPUAN DAN MATANYA"





KATA PENGANTAR


Akhirnya setelah mengawali dan melalui beberapa proses dan tahapan-tahapannya, Buku Perempuan dan Matanya Kumpulan Puisi Dewi Nurhalizah seorang penyair yang sangat produktif dan menjadi perempuan pertama dan orang yang pertama yang memberikan kepercayaan penuh kepada Komunitas Kampoeng Jerami dalam mengawal lahirnya buku sejarah pertama bagi Komunitas Kampoeng Jerami. Memang dalam buku ini menjadi pintu sejarah ke dua dari Komunitas Kampoeng Jerami dalam mengawali proses yang panjang dari sebuah Group di Dunia Maya dengan nama “ Komunitas Kampoeng Jerami”. Dalam buku ini menjadi menarik dengan sentuhan Hudan Hidayat kritikus Sastra dan Pemimpin Redaksi Jurnal Sastratuhan Hudan yang selama ini begitu getol dan bersemangat mendampingi berbagai proses kepenulisan kreatif di gerakan maya, dalam sejarah panjangnya Hudan Hidayat salah seorang yang memberi warna yang lain bagi para pemula dan penyair yang bergerak dan bertukar karya di dunia maya.

Dalam Tim penyusunan buku ini pun baik Dewi dan Hudan Hidayat banyak memberikan sentuhan semangat serta nilai penciptaan karya yang lahir oleh rasa ingin, butuh dan cinta terhadap karya, jiwa itupun menjadi penopang semangat bagi kami, Komunitas Kampoeng Jerami, untuk terus menguasai dan belajar illmu sastra dari hulu sampai hilir, pun sehingga Komunitas Kampoeng Jerami tampil ke muka untuk menjadi wadah kepercayaan para angota, warga dan seluruh saudara yang berkeinginan menerbitkan buku dengan tidak semata-mata karena nilai semata instan tetapi konsep belajar bersama dan bergerak serta berjuang bersama.

Bagi kami, Komunitas Kampoeng Jerami, memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Dewi Nurhalizah dalam mempercayakan segala sesuatunya kepada kami, meski dari awal kami memang sangat tertarik dengan keunikan puisi-puisi yang Dewi Nurhalizah ini. Yang memberikan isyarat kepekaan tersendiri dan kedalaman jelajah renungan kepada dunia yang disempitkan dalam ruang dan oleh gerak intuisi sebagaimana coba ia jabarkan dalam tema : PEREMPUAN DAN MATANYA, betapa terlihat sederhana dan itulah puisi Dewi yang seperti sederhana tetapi memiliki nuansa dan roh-roh yang seolah perempuan itu memecah ke dalam matanya, dan matanya itu juga membelah menjadi dirinya sendiri yang kini menjadi perempuan yang seutuhnya di dalam buku Kumpulan Puisi ini.

Dalam kedalaman danau puisi, lewat mata perempuan dan perempuan dan matanya ini, masih ada aliran bening yang muara itu bersumber dari esai-esai serta ulasan Hudan Hidayat untuk sedikit membuka kerudung dari kumpulan Puisi “ Perempuan dan Matanya” uniknya lagi dua perpaduan esai dan puisi ini telah menjadi harmonisasi nada dalam kemilau makna serta tembang-tembang cinta, lingkungan, hati dan kehidupan perempuan mengecil dan termaktub dalam kumpulan puisi Dewi Nurhalizah lewat “PEREMPUAN DAN MATANYA”.

Kami, Komunitas Kampoeng Jerami, Lia Amalia Sulaksmi yang telah membuat semua susunan daun-daun berserak menjadi ruang keindahan tersendiri dengan sentuhan Lay Out yang memiliki kesamaan jiwa sesama perempuan, dan Umirah Remata Sebagai Pembuat Cover, menjadikan buku Kumpulan puisi ini seolah wajib dimiliki oleh segenap perempuan dan menjadi penting bagi laki-laki, guru, pesantren, perguruan tinggi pun layak mempunyai buku ini.
Demikian segala puji, syukur dan terima kasih, kepada Tuhan dan semua orang yang terlibat dalam buku ini dan untuk Keluarga Besar Komunitas Kampoeng Jerami, yang mendoakan dan mendukung seluruh dan penuh harapan besar kepada buku ini.

TELAH BISA DIPESAN KE DEWI NURHALIZAH LANGSUNG :

HARGA : 50.000,- Beda Ongkir.
Kertas  : Book Paper
Ukuran : 14 x 21 cm.
Jumlah Halaman : 165 Halaman.



Salam.

PENERBITAN ANTOLOGI KEDUA KAMPOENG JERAMI



PENERBITAN ANTOLOGI KEDUA KAMPOENG JERAMI


Setelah suksesnya penerbitan dan peluncuran antologi puisi KJ yang pertama,yakni Putute Hujan, kami akan meluncurkan Antologi Kedua Kampoeng Jerami guna memperingati Hari Hak Asasi Manusia dengan judul TITIK TEMU

Dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Mengirimkan 5-7 karyanya-akan dipilih 3 puisi-biodata singkat, alamat lengkap, dan foto.
2. Pengiriman dapat dilakukan semenjak pengumuman ini diposting dan selambatnya 31 Oktober 2014 ke   inbok Kampoeng Jerami atau ke email kampoeng.jerami@yahoo.com
3. Tema: Berangkat dari keberagaman, bertemu dalam penghormatan pada martabat manusia.
4. Turut berpartisipasi membiayai penerbitan antologi dan peluncurannya sebesar Rp 150.000-untuk biaya cetak dan ongkir untuk wilayah Indonesia-, selambatnya 1 minggu sebelum antologi ini dicetak. Biaya tersebut untuk menyukseskan antologi dan peluncuran buku yang dibagi rata pada semua peserta yang terlibat dalam antologi ini. Jika hingga saat yang ditentukan peserta belum mewujudkan kesediaannya ini maka peserta dapat digantikan oleh warga KJ lainnya yang siap dengan konsekuensi tersebut.
6. Setiap peserta akan mendapatkan 3 eksemplar antologi.

Peluncuran dilaksanakan bertepatan pada peringatan Hari Hak Asasi Manusia yakni Rabu, 10 Desember 2014. Tempat peluncuran buku dan seminar akan diberitahukan setelah semua proses terlaksana dengan melihat kemampuan pembiayaan

Contact Person:
Fendi Kachonk, Lia Amalia Sulaksmi, Yuli Nugrahani,
Cici Mulia Sary, Umirah Ramata, Kampoeng Jerami

Salam budaya,
Relawan KJ



Senin, 29 September 2014

Bagian Kedua Musim Trengguli Yuli Nugrahani

Oleh : Fendi Kachonk

Sebelum saya masuk membaca puisi Yuli Nugrahani, saya jadi teringat beberapa hal dari kejadian kemarin, kembali saya membaca buku-buku kritik sastra, dan apa itu esai, fungsinya apa dan kenapa? Nah saya mulai menemukan titik kunci kalau esai dalam kamus bahasa Indonesia adalah opini penulis pada subyek, sedang opini dalam bahasa Indonesia adalah pendapat, sederhananya esai adalah pendapat penulis (baca: penulis esai itu sendiri) bukan pendapat penulis puisi, misalnya kita sedang membaca puisi seseorang. Hal ini saya hadirkan adalah karena minat belajar pada hal yang obyektif dari kata esai itu sendiri sedangkan esai itu sendiri lebih bermain dari subyektif merunut dari kamus dan arti kata sebuah esai yang artinya adalah opini penulis.

Dalam proses ini saya lalu mencoba belajar lagi membaca tentu dengan pengalaman saya dan keterbatasan saya, oleh tak harus esais memahami semua seluk beluk tulisan, ini juga ada dalam rijit penjelasan wikipedia hanya rabaan sekilas, saya sudah cek kesana kemari dan dalam esai itu sendiri tak melulu harus mengahdirkan kritik, ada berapa cabangnya juga, ada esai kritik, ada esai apresiatif, nah pada bagian ini, agar tidak mentok pada ranah baca yang idealis terhadap penggambaran esai itu hal yang menakutkan dan mesti sama dengan pembacaan orang lain maka menjadi sangat penting ada pelurusan hal ini, karena semesta ini juga sangat menyimpan ke ambiguitasannya sendiri-sendiri. Apa yang ingin saya sampaikan, ruang ini adalah ruang baca saya, karena kembali berbenturan pada pemahaman saya, esais juga pembaca, apa yang dibaca adalah subyek, subyek hari ini apa? Jelas saya kembali menghadirkan puisi Yuli Nugrahani.

Siapa Yuli Nugrahani, saya juga tak paham betul siapa Yuli Nugrahani, memang ada cabang pengetahuannya juga, kalau membaca karya bisa melihat dari latar belakang pengarangnya. Saya mencoba bertarung dengan keinginan saya, untuk menghadirkan keutuhan agar dari hal yang saya baca mungkin ada manfaatnya juga bagi sebagian orang. Menjadi hal yang wajar ketika alam demokrasi yang kita diami adalah menjaga dan melestarikan semua orang untuk bebas berpendapat karena sepertinya itu juga diatur oleh undang-undang, pendapat seperti apa, dan kejujuran seperti apa, maka ketika kita tarik benang merahnya kembali kepada pengertian di atas sebuah esai adalah opini, opini adalah pendapat penulis esai tersebut kepada subyek. Memang sepertinya masih berlari-lari di tempat tulisan ini. Tapi ini penting menurut hematku yang tak boros-boros.

Waduh, mesti terpotong sejenak, beli rokok dulu.

                Halaman 40 buku pembatas buku, dari puisi Yuli Nugrahani ke 24. Judulnya

NAMA YANG TERSEMBUNYI

Sesekali trengguli adalah si pemahat
mengetam aksara pada serat hujan

Di dalamnya ada nama, sebuah nama
tercampur dalam cecap hingga darah
melulu hanya namanya, sebuah nama
tak berani aku gambar maupun ucap.

Semesta merapikannya dalam desah
tersembunyi tertahan keagungan
terlipat di pokok kecil ragi roti
ditaburkan diam-diam, nanti.

Tapi aku serupa asap saja tanpanya
melayang cemburu merindukan perjumpaan
jadi kadang kutinggalkan raga, menyerta
gerak persembunyiannya di mata pahat.

Kini aku paham muasal Gibran dan Ziadah
rela saling berpaling wajah, tak menyentuh
tak bertubuh, dan membiarkan ruh saja,
ruh saja mengembarai padang mahsyar.

Pada bentang jarak raga tercipta sketsa
meradukan kata, mengabadikan rasa.

2014

Pada bagian tulisan saya pertama kali, musim trengguli dari puisi Yuli Nugrahani telah saya baca, meski mungkin saya menjadi tertarik membaca kembali serta mencoba mengaitkan, bagian pertama Yuli memberikan suasana yang terbangun rapi, sesuatu yang ia coba sembunyikan dengan musim trengguli. Ada rasa berdosa dalam diri saya, ketika membawa puisi musim trengguli itu tidak utuh dengan puisi ini, karena menurut saya juga (bukan menurut orang lain) ada kaitan yang sangat kuat sekali mengalun di ruang-ruang kehampaan, kesunyian dan kesendirian di ruang paling hening. Musim trengguli pertama saya membacanya Yuli memiliki kemampuan mengalirkan sesuatu yang tersembunyi ke ruang dan daya lingkup cinta lingkungan, meski memang suasananya sangat romantis dan manis. Nah! Ada yang saya ambil pelajaran kembali, bagi saya kemampuan Yuli dalam memainkan tema dan memilih diksi mampu melahirkan ke ambiguan yang mampu memberi ruang pembaca untuk membaca serta menangkap pesan dan kesan oleh bangunan yang sesuai dan atau tulisan itu dibiarkan menemui pembacanya lewat nasib dan takdirnya.

Sesekali trengguli adalah si pemahat
mengetam aksara pada serat hujan

Inilah bait pertama yang menurut saya memiliki kaitan dan bangunan yang multi tafsir dari apa yang saya baca pada bagian awalnya, di puisi berjudul musim trengguli, kalau tak salah ingat ada bait ini dalam penutupnya, di sana, kita bercengkerama  dan beberapa puisi Yuli Nugrahani mungkin kalau tak salah, tema trengguli ini hadir mewarnai puisi Yuli. Apa yang saya ingin hadirkan dari ketika saya membaca puisi Yuli Nugrahani ini adalah penempatan kata “SI” di bait pertama ini membuat saya tertarik dengan hanya kata si, si itu siapakah? Yang pasti dia bukan Tuhan, tetapi ada yang ingin disampaikan secara samar oleh si itu, berari si itu alam, sepertinya begitu, bukan yang selain Tuhan kita sebut alam, nah “si” dalam puisi Yuli ini kita coba cari, dia mungkin waktu atau musim, tapi saya lebih berani merekatkan “si” itu sebagai manusia, orang, nah ada yang unik dari “si” itu ketika saya mengatakan “si” itu adalah orang, seolah musim dan waktu menjadi penegas dia bukan orang, dengan kata “si” saya mengerutkan kening, mencoba membangun subyektifitas saya ini ke hal yang lebih masuk akal, dan saya menyimpulkan, bagaimana kalau “si” itu adalang “sang” inilah permainan unik dari pemilihan kata per kata, sambung menyambung membangun dan memberikan ruang untuk menafsirkannya sendiri-sendiri, inikah ambiguitas dari hanya kata “si” itu? Apa akan marah ketika si itu adalah fendi, atau si itu yuli, atau bisa jadi si itulah hewan.

Di dalamnya ada nama, sebuah nama
tercampur dalam cecap hingga darah
melulu hanya namanya, sebuah nama
tak berani aku gambar maupun ucap.

Mari simak lanjutan dari bait pertama ke bait kedua dari Yuli Nugrahani ini, dia tak menjelaskan apa-apa. Hanya sebuah nama, nama yang menjadi darah dan memenuhi seluruh tubuh pori-pori, nama yang memompa jantung, nama yang kuasa menghadirkan segala kemisterian dari “si” di atas, nama yang membangun tafsirnya, karena memang terlihat ada yang sengaja disembunyikan dan kita sangat memiliki ruang yang sangat luas untuk mendekatkan siapa “si” dalam puisi Yuli ini. Bait kedua pun memiliki dan menambah kemisterian tersebut, si itu nama kata puisi yuli yang berdialog denganku, aku bertanya siapa si itu, puisi yuli menjawab, itu hanya nama, nama yang tak pernah aku lupa, nama yang membuat segala suasana, si itu nama, katanya. Aku diam karena teks ini membiarkan aku bebas menafsirkan si itu adalah nama, nama itu adalah terserah pembaca.

Saya benar-benar berdialog dengan puisi Yuli ini, karena seperti yang saya baca dari esai bagian pertama kalau ada kata penutupnya “di sana, kita bercengkerama”  membuat saya kembali berdialog dan membangun pertanyaan, berilah aku kejelasan siapa nama tersebut yang kamu sebut sebagai nama? Dan di bait selanjutnya ada jawaban.

Semesta merapikannya dalam desah
tersembunyi tertahan keagungan
terlipat di pokok kecil ragi roti
ditaburkan diam-diam, nanti.

Aduh, jawaban dari pertanyaanku semakin berbuntut pada kemisteriusan si dan nama tersebut dan memang hal yang terbangun ini menjadi perhatian tersendiri bagi seorang Yuli menyimpan rapi siapa “si” yang beralih rupa pada “nama” dan nama itu katanya dirapikan oleh semesta, dan kata rapi pun saya rekatkan dirahasiakan sedemikian rapi oleh semesta, oleh waktu dan sangat tersembunyi keagungannya. Sangat indah ketika yuli memberi pengandaian, atau majas yang manis terlipat di pokok kecil ragi roti, di taburkan diam-diam, nanti. Nah, helo! Kataku pada diriku tersenyum melihat baris manis ini mampu menyusun suasananya. Dia tidak lebay kok. Ah bagi sebagian orang seh, karena mungkin kelembutan juga di jaman yang keras ini sudah kehilangan kelembutannya, bila ada yang mengatakan baris itu lebay.  Kenapa kamu begitu memulyakan sebuah nama itu? Kataku pada teks puisi Yuli, dan ini jawabannya.

Tapi aku serupa asap saja tanpanya
melayang cemburu merindukan perjumpaan
jadi kadang kutinggalkan raga, menyerta
gerak persembunyiannya di mata pahat.

Lihat perumpaan asap oleh aku lirik andai tak ada si dari sebuah nama tersebut. Ia akan melayang cemburu merindukan perjumpaan, jadi kadang kata aku lirik sampai meninggalkan raga, menyerta gerak persembunyiannya di mata pahat. Ini juga seperti dongeng dan laila dan manjun atau legenda-legenda yang lainnya, nah di puisi ini sebenarnya ada kisah-kisah yang sublim yang bebas kita tafsirkan kemana pembaca menjangkaunya. Jelas saya sedang membaca dan menuliskan dari apa yang saya rasa ini lalu saya tuliskan sebagai temuan pribadiku dan siapa tahu berguna pada teman-teman yang lain. Dan cobalah masuki sepenuhnya imajinasi menjadi asap itu. Betapa tubuh dan raga hilang, dan pengembaraan itu tak berbentuk tapi kita serasa terbang kemana tempat persembunyiannya.

Kini aku paham muasal Gibran dan Ziadah
rela saling berpaling wajah, tak menyentuh
tak bertubuh, dan membiarkan ruh saja,
ruh saja mengembarai padang mahsyar.

Ini sudah menunggu satu tahap lagi, dari bangunan puisi yuli untuk sekedar menceritakan apa dan bagaimana dan seperti apa sosok “si” dalam “sebuah nama” yang misterius itu. Tapi kata aku lirik setelah melepas kata asap tadi dia menyadari, ada hal pelajaran masa lalu muasalnya dari Gibran dan Ziadah, rela saling berpaling wajah, tak menyentuh, tak bertubuh, dan membiarkan ruh saja, ini penegas, hubungan aku lirik dengan “si dari sebuah nama” ada yang suci dari sebuah rasa yang dia diam dan nyaman di singgasana hatinya, dan nanti hanya ruh saja mengembarai padang mahsyar.

Di kata ruh saja mengembarai padang mahsyar ini rupanya Yuli telah menjangkau bahasa tuhan dengan bersembunyi dari sebuah nama tersebut, dari “si” ia menyelami kesucian, ah sangat memukau dan aku semangat membacanya, seperti baca novel-novel besar dari karya-karya dunia yang kini dihadirkan ke dalam bentuk puisi dengan aku lirik serta pengalaman dan keluasaan berfikir penulisnya.

Pada bentang jarak raga tercipta sketsa
meradukan kata, mengabadikan rasa.

Inilah kalimat penutup yang mengharukan, pada bentang jarak raga tercipta sketsa meradukan kata, mengabdikan rasa. Dan akhirnya adalah satu rasa pengabadian yang luhur oleh aku lirik pada satu nama, dan saya simpulkan pembacaan ini hanya oleh keterbatasan saya sehingga apapun misal ada yang kurang berkenan silahkan ruang membaca di ruang yang lain dibuka untuk menutupi segala kemungkinan-kemungkinan yang ada. Sebelum saya akhiri saya menjadi teringat puisi saya sendiri yang saya tulis pada tahun 2012 dengan judul.

“ Sebuah Nama”

Menulis namamu
Satu-satunya yang aku gemari

Matamu yang seperti purnama
Dan lesung pipit yang merona
Laksana lembaran buku
Penuh makna

Selalu ingin kubaca
Namamu
Dalam ejaan cinta yang sempurna

Bagi saya, tak ada hubungannya dengan esai di atas, hanya numpang narsis. Salam.

Moncek Tengah, 060614

PEMBATAS BUKU KUMPULAN PUISI YULI NUGRAHANI

Oleh : Fendi Kachonk
Kemarin, setelah seharian bekerja dan baru sampai rumah, seperti biasa saya istrihat dan masuk ke ruang bacaku, yaitu Taman Baca Arena Pon Nyonar, di atas meja telah ada bungkusan rapi, aku lihat-lihat dan ternyata buku Yuli Nugrahani telah sampai, satu buku Antologi puisinya yang berjudul “Pembatas Buku” dari tema atau judul buku ini, aku merasakan ada goresan kata, yang sengaja dialirkan dengan liris “pembatas buku” . Saya masih saja mengeyam kata-kata itu, pembatas buku, sambil menerka-nerka apa maksud dari tujuan Yuli melekatkan “pembatas buku” di kumpulan puisi pertamanya. Saya menerka-nerka mungkin buku kumpulan puisi ini seperti pembatas buku dan tulisan Yuli, yang biasanya lebih mendalami cerpen, atau tulisan yang lain, kini Yuli juga menulis buku, atau bisa jadi juga ini adalah pembatas keadaan, ah sudahlah, intinya saya dengan pemilihan tema atau judul ini telah merasakan keunikan dan kecerdasan seorang Yuli dalam merangkai kata menjadi luar biasa.

Dalam Kumpulan Puisi Pembatas Buku ini, ada 40 puisi yang ditulis Yuli, dan mungkin sekedarnya saja aku mengenal Yuli di dunia maya, tetapi yang saya ketahui Yuli dengan produktifitasnya mampu melahirkan tulisan-tulisan yang senyap, seolah hampa dan seolah tanpa ada emosi yang menggerogoti  anak-anak kata dan kalimat yang dibungkus dengan kedewasaan bahasanya yang lugas, bercerita dan seolah ini cerpen dalam bentuk puisi, tetapi ini adalah puisi bukan cerpen, namun pencitraan dan pembangunan suasananya, dialektika yang terbangun, seolah itu adalah khas seorang Penyair Perempuan Lampung yang kaya dengan tema, oleh juga dirinya adalah pegiat dan pemerhati sosial yang masih aktif sampai sekarang.

Satu persatu saya membaca puisi Yuli, dan saya semakin mengenal karekter bahasanya, mengalun, sederhana dan perhitungan pemilihan diksi yang sangat ketat, saya mendapati tak ada yang longgar semuanya berbobot nilai estetika, tetapi bagi saya, oleh pandangan saya dan cara saya menggauli puisi, jiwa saya akan mencari jiwa dalam beberapa puisi yang ditulis, dan sampai juga pada penyisiran tiga puisi yang saya amat kagumi, dalam tiga puisi ini Yuli tak menggunakan dialektikanya, tetapi ia langsung menuju suasana mistik yang terbangun dan saya amat tertegun, kekuasaan tiga puisi ini membuat saya tak berhenti untuk mengulang membacanya, membacanya dan lagi. Sepertinya secara tersirat Yuli Nugrahani mengisyaratkan bahwa “Pembatas Buku” itu dalam tiga puisi ini, mari saya hadirkan tiga puisi tersebut di sidang pembaca.

MUSIM BAGI TRENGGULI

Di rumah lain aku bisa menemuimu
kenari kecil yang penuh rinai

Trengguli sudah sampai di musim bertabur
mencipta harum sebagai beranda
di sana, kita bercengkerema

Nopember, 2013

Saya menikmati dengan pemilihan diksi dan suasana yang terbangun, oleh rima dengan kesederhanaan yang mengalir mengantarkan kepada ruang imajinasi kita, di suatu musim  bagi trengguli, dan kita juga mesti menyadarinya, bahwa Yuli Nugrahani di puisi-puisi ini tak semata menghadirkan kesayuan dan kesahduan semata-mata, tetapi dia mampu memotret lingkungannya dengan indah dan ciamik, mari saya bawa kepengangkatan tema “trengguli” yang adalah :

Trengguli (Cassia fistula) atau biasa disebut dengan bak buraktha, papa pauno,tengguli, klohor, kalabur, kayu raja, biraksa, bubundelan ini mempunyai kandungan kimia seperti saponin, tanin, gom, gula, hidroksimetil, asam sitrat, asam hidrisianik, pektin. Sementara kulitnya mengandung zat samak. Anggota famili Leguminosae ini bersifat rasa manis, antringen, pencahar dan penurun demam.

Saya baru menyadari, bahwa suasana yang romantis ini tak semata-mata sederhana secara kebermaknaan dari teks tersebut, Yuli Nugrahani mengajak kita semakin mencintai alam, kembali ke lingkungan dan dia juga memberitakan hal yang terdalam, bahwa alam ini telah banyak menyediakan imun bagi tubuh kita, lihatlah bagaimana trengguli itu juga berfungsi sebagai penurun demam, silahkan bisa dilanjutkan pencaritahuan pada tema trengguli dan pesan yang secara samar Yuli sampaikan, kembalilah ke lingkungan dan “di sana kita bercengkerema” bait penutup yang romantis, romantisme sebuah ajakan yang terbangun dan sengaja diendapkan dalam puisi “ Musim Bagi Trengguli”.

Maka dari puisi tersebut kembali saya mengimani, bahwa puisi memang tak akan jauh dari realitas sosial pengarangnya, dan saya merekatkan puisi tersebut, hadir dan lahir dari pergulatan Yuli dalam kegiatan-kegiatannya, amatannya dan menjadi puisi yang manis menyampaikan pesan secara romantis dan samar.

Bagaimana jiwa bahasa Yuli dan cara Yuli mengantarkan pembaca pada tempat yang sejuk? Setelah puisi di atas, saya juga sangat tertarik menghadirkan puisi kedua yang juga membuat saya merasakan suasananya, kemampuan Yuli, memainkan kata sederhana dan meneguhkan ruh tulisan pada pesan yang akan disampaikan tetapi begitulah Yuli juga tak serta merta meninggalkan keindahan-keindahan dalam memberi busana yang pantas dalam puisi-puisinya.

Yuli Nugrahani ini, memang kaya dengan tema, dan semuanya sama dengan apa yang telah saya sampaikan di atas, semuanya hasil dari pengamatan dan kejeliannya, tetapi kadang Yuli bermain dengan senyap sekali, sehingga saya membaca puisi ini juga hanyut, pada perbedaan angin laut di sebuah pagi, yang sama-sama memiliki tugas dan tanggung jawab dalam mengatur keseimbangan alam, jika pun tidak ada pengrusakan, angin juga tak akan mengantarkan sebuah kemelut di laut, mencintai lingkungan dan membangun tema sosial serta mengalurkan dalam bentuk puisi adalah cara yang sangat unik dan menarik dalam puisi-puisi Yuli Nugrahani. Mari kita simak.

PESAN ANGIN LAUT PADA PAGI

Takdirku
adalah pantai siang hari
mengantarkan nelayan
pulang ke bilik istrinya

Tapi kau,
pagi, kekasihku abadi
tempat kuhamparkan
pasang sepenuh daya.

Januari 2014

Membaca puisi ini, serasa senyap, ada luka yang diam dan sublim di dalam, perasaan saya seolah merasakan hal itu, bagaimana takdir alam dan waktu kadang mampu menghadirkan kesenduan. Sedang dalam tulisan ini Yuli Nugrahani tetap menggugah pembaca untuk kembali membaca alam, waktu, keadaan serta fungsi masing-masing sebagai alam, itulah warna dan jiwa bahasa Yuli. Senyap terasa dengan kata “Takdir” itu yang mesti mengantarkan nelayan pada bilik istrinya, dan hanyut kembali dengan bait-bait selanjutnya, tapi kau, pagi, kekasihku abadi. Dan saya sambungkan dengan puisi yang sangat dan bagus sekali oleh perasaanku merasakan pertempuran di medan senyap dan sepi dan di medan kuasa tanpa kuasa di puisi terakhir yang ingin saya hadirkan dan saya bersepakat pada jiwa saya, inti, ruh dan kata pembatas buku ini, ada di puisi ini. Menurut pandangan saya.

MENUJU RUMAHMU

Satu kali, satu kali saja aku berhenti
di sisi genangan air sisa hujan semalam

Lalu kembali aku bergegas, walau tahu
Aku tak akan pernah sampai di rumahmu

2014

Saya ingin belajar dan mencoba bermain-main dengan puisi ini, dari kemarin saya tertarik dan saya mencoba memasuki ruangnya, menjadi saya di medan konflik itu aku lirik itu, yang mencoba melangkah satu kali, lalu berhenti lagi langkahku, satu kali lagi, aku mencoba berjalan di sisi genangan air sisa hujan, aih kulihat kak Yuli menjinjing sepatunya, takut kotor dan melangkah lagi, satu kali, artinya hati-hati dulu, lalu melangkah dan terus satu kali. Itulah ruang imajinasi dalam puisi ini sangat bagus, tak mesti puisi hadir dengan pemilihan diksi yang berat-berat, yang sok-sok puitis tapi tak mengena ke jiwa, atau tak pernah ada jiwanya, di sini puisi Yuli Nugrahani, kata klise menjadi menarik dan diolah dengan matang, oleh karena Yuli Nugrahani tak hanya mampu berimajinasi, tetapi dia ada di medan  konflik itu.

Begitupun bait kedua dari puisi “menuju rumahmu” judulnya saja telah mampu membangun suasana, dan lihat, “lalu kembali aku bergegas” di bait pertama ada kata berhenti, satu kali saja, tetapi selalu ada spirit perjuangan dan tak mau mengalah untuk sampai pada rumahmu, rumahmu itu bisa apa saja, harapan, impian dan atau rumah kekekasih yang di atas singgasana, yaitu Tuhan, kenapa Yuli sangat berhasil melahirkan semuanya di puisi ini? mari kita coba rekatkan pada hubungan, aku lirik yang menjadi hamba menuju rumah Tuhannya, seolah di sana, aku lirik berkata, ada genangan air sisa hujan, seperti mengabarkan, ada yang becek, kotor dan si aku lirik telah mencoba berusaha melewatinya, berusaha berhenti dari kotor genangan air sisa hujan yang jadi lambang sebuah renungan jiwa aku lirik atau bisa jadi aku Yuli sebagai penulis puisi ini. Betapa kotor aku lirik menujumu, tetapi tak ada kata putus asa, satu kali lagi melangkah memperbaiki diri, terus seperti itu aku lirik meski juga tak akan sampai, karena mungkin rumahMu terlalu suci tetapi aku lirik mencobanya terus. Satu kali, satu kali berhenti dan aku bergegas melangkah lagi, menuju rumahmu tuhan, walau aku tahu tak akan pernah sampai.

Demikian kepada kak Yuli Nugrahani, semoga tetap menulis, semakin semangat dan bagi para kawan-kawan tak ada ruginya memiliki buku ini, oleh sebab kedewasaan berbahasanya yang kuat, bisa jadi buku “Pembatas Buku” ini menjadi pembatas dari buku-buku yang kurang menarik. Salam.

TEKNIK MENULIS PUISI RUMAH KAYU Lia Amalia Sulaksmi

Oleh : Fendi Kachonk

Sempat saya ingin tertawa tapi akhirnya saya tak mampu,  hanya mampu tersenyum melihat dan membaca serta mencoba lebur dengan bangunan puisi yang Lia Amalia Sulaksmi tuliskan, keharuan, kesenyapan, memang selalu akan menjadi warna tersendiri membaca tulisan-tulisan Lia Amalia, seorang perempuan yang halus melembutkan tanda-tanda dalam puisinya yang berjudul “Rumah Kayu”, hingga menjadikan saya ingin belajar bagaimana menulis puisi ala Lia Amalia Sulaksmi. Awalnya saya menjadi tertarik dengan Judul, kenapa judul menjadi hal yang paling kita dekatkan dengan mata, mungkin karena judul seolah pintu, seolah celah-celah untuk benar-benar masuk ke dalam rumah puisi, atau “RUMAH KAYU” puisi Lia Amalia Sulaksmi itu sendiri.

Menjadi menarik ketika Lia Amalia Sulaksmi dengan jeli menggelitik pembaca dengan menggunakan  kesan pada pandangan pertama, kemana jatuhnya pandangan pertama dalam puisi itu? Jelas bagi saya oleh karena puisi ini yang awal saya rasakan adalah judul. Kenapa dengan judul? Saya juga akhirnya meraba-raba mula saya berpapasan dengan puisi Rumah Kayu karya Lia. Ah. Dengan Judul Rumah Kayu, saya terasa mesti membangun imajinasinya dari sana, dan dari sana pula saya merasakan pintu imajinasi dari puisi Lia itu bisa dimasuki meski mungkin sunyi, karya dengan pemilihan judul sudah ada rasa senyap, hampa dan entah rasa apa lagi.

Pelan-pelan saya meraba wajah judul itu, rumah, kita bisa membayangkan sebuah rumah, berbentuk apapun, sekilas kita mendapatkan halaman, selalu ada saja misalnya di berandanya ada kursi, dan seolah kita sudah merasakan rumah impian dalam benak kita yang pasti tak sama, nah lahir dari sini keindahan dengan kata rumah, lalu didempetkan pula dengan “KAYU” oleh Lia, yang awalnya kita sudah merasakan keindahan oleh imajinasi kita terhantar pada ruang di mana kita memandang rumah harapan, rumah impian dari kita masing-masing.

Tetapi akhirnya ada imajinasi sampiran oleh ketika direkatkan dua kata Rumah dan Kayu, sehingga imajinasi dari rumah itu menjadi utuh, oleh kehadiran kata kayu membangun kesimpulan akhirnya, bahwa sebuah rumah masa depan dan harapan itu adalah rumah yang memakai kayu, dan dari keutuhan imajinasi rumah kayu tersebut, kembali kita diajak jalan-jalan oleh hanya “Rumah Kayu” sebuah rumah mungil di tepi pantai, yang kaki-kakinya tidak memakai bata, dengan begitu ombak hanya menjilati kaki rumah yang menggunakan kayu yang pada akhirnya akan membuat lapuk kaki rumah kayu tersebut. Dari sinilah dapat kita petikkan sebuah pengetahuan kecil, dalam puisi kejelian memilih judul juga bisa membuat pembaca hanyut untuk semakin terusik dan ingin tahu kseluruhan dari tubuh puisi.

Saya semakin memasuki ruang imajinasi dari ketika membuka pintu dengan pelan-pelan dari Rumah Kayu ini, terasa suasana getir, halaman yang seakan-akan tanpa rawatan, pot-pot bunga yang kosong dan bunga-bunga yang layu tak terurus, saya kembali menghela napas, oleh ingin tenang dan pelan-pelan memasuki rumah kayu dari sebuah bangunan puisi Lia Amalia Sulaksmi ini. Dari bait per bait terasa sekali kehampaan itu, sebuah misteri yang menohok langsung pada jantung dengan pembangunan suasana, maka saya kembali merajut, menulis puisi dan atau satu cara serta karekter dari kepenulisan Lia ini adalah termasuk dari pembangunan suasana yang meneteskan kemisteriannya dalam bait per bait, mari saya tarik satu bait pembuka dari puisi “Rumah Kayu”.

perahu tertambat, di pintu rumahmu
ada sisa-sisa bunga, kering tertiup angin.

Setelah awalnya saya terpana dengan Judul, kini saya kembali terkejut dengan kesan-kesan dari apa yang terbangun suasananya dari puisi Lia Amalia Sulaksmi ini, dengan lentik Lia menyematkan kalimat “ perahu tertambat, di pintu rumahmu” dengan teks ini sudah ada pembangunan suasana dan kemisteriannya serta bunyi yang mengalun tak terpaksa dari jiwa oleh karena endapan puisi yang meminta dituliskannya, sehingga pertemuan “U” di perahu tertambat, di pintu rumahmu, tidak menggeser suasana yang tercipta dalam jiwa, inilah mungkin yang bisa saya tarik kesimpulan, puisi yang datang dari dalam jiwa akan menyediakan segala bentuk kebutuhan dari fisik puisi tersebut. Mari saya lanjutkan dengan senyapnya baris, ada sisa-sisa bunga, kering tertiup angin.

Dari bait pertama ini dari sisi imajinasi, Lia telah mengantarkan ke suasana yang miris, campur aduk dalam hampa, senyap, sunyi dengan kata perahu dan sisa bunga yang tertiup angin, bukankah dapat kita rasakan, di sana tak ada siapa-siapa, di sana hanya hening dan sunyi yang lebih nyala dari sekedar lilin. Lalu bagaimana bait selanjutnya?

meja dingin, kursi kosong halaman tanpa rumput
kayu berderik, langkah pelan pada bingkai kisah

Sepertinya pengembaraan saya belum usai di bait pertama, terus suasana itu dibangun dengan senyap oleh Lia Amalia Sulaksmi, dan saya mendapati kembali pelajaran, menulis dan tehnik puisi Lia di Rumah Kayu ini, memang tak hanya dari judul, suasana misteri, dan rima yang mengalun serta tak hadir dengan ketat, cukup dan sekedarnya saja musikalisasi di bait perbait itu semakin meneguhkan ruang pencitraanya. Setelah bait pertama dengan perahu tertambat dan sisa bunga yang kering tertiup angin, Lia meluaskan pembangunan suasananya, dengan meja dan kursi yang kosong dan langkah pelan pada bingkai kisah, nah! kembali saya ingin memotong sedikit dengan langkah pelan pada bingkai kisah rupanya, ada yang ingin dihantarkan setelah pembangunan suasana, maka ada yang menyelinap, imajinasi seorang yang melangkah, atau hanya ingatan yang melangkah pada bingkai kisah.

Dari bait, langkah pelan pada bingkai kisah membuka pintu ketiga yaitu sibakan warna konflik, atau ada tokoh, peran yang menegaskan kepemilikan dari judul “rumah kayu” bagaiman konflik ini menjadi plot di mana saya selaku orang yang belajar pada puisi Lia Amalia Sulaksmi semakin mendapat banyak hal, lihat bait selanjutnya ini.

kami pergi, ketika mendung tak pernah berakhir
tanpa kunci, debu puluhan tahun
menempel karat di hati berbatu

Konflik yang menarik ketika bait ini hadir sebagai sebuah warta, cerita panjang dari sebuah perjalanan, entah, semuanya berlandaskan dunia nyata atau hanya fiktif belaka, saya tak punya daya jelajah untuk masuk pada penggalian yang se bukan dari teks, teks ini menjadi bagian acuan, ketika iya menggambarkan berbagai macam romantika yang luas yang terjadi di dalam rumah. Sebuah citraan yang kembali menguatkan bait per bait dan akhirnya saya kembali lagi belajar bahwa puisi Lia Amalia Sulaksmi dengan rumah kayu, memiliki kekuatan dari selain yang di atas saya utarakan dan kemampuan menyusun bait per bait yang rekat mengikatkan saling topang menopang sehingga dan seolah dia menjadi novel kehidupan, novel ini menjadi pendek dalam bentuk puisi, atau mungkinkah keberhasilan sebuah puisi itu adalah dari semua ciri khas yang saya sampaikan?

Tetapi selalu akan ada yang lemah dan kuat, oleh memang tak semua kesempurnaan itu dimiliki oleh manusia, dan teks ini hadir sebagai bentuk kemanusiawian dari sebuah pelaku kehidupan yang melepas semua endapan masalah ke dalam bentuk puisi, maaf, dipandangan saya, dan saya pun kembali pada awal kata saya ingin tertawa, tapi tak mampu, hanya mampu tersenyum karena akhirnya saya mendapatkan pertanyaan serta kesimpulan yang terbangun dari teks puisi ini, karena sedemikian kuatnya manusia akan ada titik lemahnya juga, sama dengan sedemikian bagusnya puisi pasti ada celah yang mengisyaratkan tak ada yang sempurna. Saya hadirkan bait penutup dari puisi Rumah Kayu ini.

perahu tertambat bertambah di pintu rumahmu
hujan belum datang, arakan kelabu
masih memandu, mata tombak menghujam danau
perahu terlayarkan
sisa bunga tergeletak, beku

Saya akhirnya ingin menutup semua belajar saya ini dengan membaca secara utuh mulai dari bait per bait dari puisi “Rumah Kayu” semua berhasil oleh karena dengan rasa saya mendapatkan apa yang ingin disampaikan dari teks ini, namun akhirnya ada yang tertolak logika ketika “ perahu tertambat” Hujan belum datang” dan menjadi misteri kembali ketika Lia seolah tanpa sadar berkata bahwa dirinya bukan Tuhan yang memiliki segala kesempurnaan, dan logika saya juga berkata, teks ini manusiawi ketika tak ada hujan kenapa bisa perahu terlayarkan?

Secara logika sadar dan andai teks ini adalah teks yang bukan puisi maka akan menjadi titik lemah tersendiri. Tetapi akhirnya saya memahami bahwa itu adalah teks puisi yang oleh kadang logika tak mampu menjangkau, tetapi keinginan penulis “ MENGIBARATKAN” tak ada hujan, perahu terlayarkan, di sini ruang imajinasi saya tercabik-cabik oleh membayangkan keadaan tersebut. Akhirnya saya berterima kasih dan membuat simpulan sendiri pada perahu itu, bahwa menulis puisi dengan ekspresionis sangat butuh peleburan pada tema, pemberian judul yang bagus, bait per bait yang saling menguatkan dan nanti saya akan lanjutkan pelajaran saya pada puisi kawan-kawan yang lain. Maaf dan salam

RUMAH KAYU

perahu tertambat, di pintu rumahmu
ada sisa-sisa bunga, kering tertiup angin

meja dingin, kursi kosong halaman tanpa rumput
kayu berderik, langkah pelan pada bingkai kisah

kami pergi, ketika mendung tak pernah berakhir
tanpa kunci, debu puluhan tahun
menempel karat di hati berbatu

perahu tertambat bertambah di pintu rumahmu
hujan belum datang, arakan kelabu
masih memandu, mata tombak menghujam danau
perahu terlayarkan
sisa bunga tergeletak, beku

Bandung, 29-5-14

Moncek, 01Juni14