Senin, 29 September 2014

Bagian Kedua Musim Trengguli Yuli Nugrahani

Oleh : Fendi Kachonk

Sebelum saya masuk membaca puisi Yuli Nugrahani, saya jadi teringat beberapa hal dari kejadian kemarin, kembali saya membaca buku-buku kritik sastra, dan apa itu esai, fungsinya apa dan kenapa? Nah saya mulai menemukan titik kunci kalau esai dalam kamus bahasa Indonesia adalah opini penulis pada subyek, sedang opini dalam bahasa Indonesia adalah pendapat, sederhananya esai adalah pendapat penulis (baca: penulis esai itu sendiri) bukan pendapat penulis puisi, misalnya kita sedang membaca puisi seseorang. Hal ini saya hadirkan adalah karena minat belajar pada hal yang obyektif dari kata esai itu sendiri sedangkan esai itu sendiri lebih bermain dari subyektif merunut dari kamus dan arti kata sebuah esai yang artinya adalah opini penulis.

Dalam proses ini saya lalu mencoba belajar lagi membaca tentu dengan pengalaman saya dan keterbatasan saya, oleh tak harus esais memahami semua seluk beluk tulisan, ini juga ada dalam rijit penjelasan wikipedia hanya rabaan sekilas, saya sudah cek kesana kemari dan dalam esai itu sendiri tak melulu harus mengahdirkan kritik, ada berapa cabangnya juga, ada esai kritik, ada esai apresiatif, nah pada bagian ini, agar tidak mentok pada ranah baca yang idealis terhadap penggambaran esai itu hal yang menakutkan dan mesti sama dengan pembacaan orang lain maka menjadi sangat penting ada pelurusan hal ini, karena semesta ini juga sangat menyimpan ke ambiguitasannya sendiri-sendiri. Apa yang ingin saya sampaikan, ruang ini adalah ruang baca saya, karena kembali berbenturan pada pemahaman saya, esais juga pembaca, apa yang dibaca adalah subyek, subyek hari ini apa? Jelas saya kembali menghadirkan puisi Yuli Nugrahani.

Siapa Yuli Nugrahani, saya juga tak paham betul siapa Yuli Nugrahani, memang ada cabang pengetahuannya juga, kalau membaca karya bisa melihat dari latar belakang pengarangnya. Saya mencoba bertarung dengan keinginan saya, untuk menghadirkan keutuhan agar dari hal yang saya baca mungkin ada manfaatnya juga bagi sebagian orang. Menjadi hal yang wajar ketika alam demokrasi yang kita diami adalah menjaga dan melestarikan semua orang untuk bebas berpendapat karena sepertinya itu juga diatur oleh undang-undang, pendapat seperti apa, dan kejujuran seperti apa, maka ketika kita tarik benang merahnya kembali kepada pengertian di atas sebuah esai adalah opini, opini adalah pendapat penulis esai tersebut kepada subyek. Memang sepertinya masih berlari-lari di tempat tulisan ini. Tapi ini penting menurut hematku yang tak boros-boros.

Waduh, mesti terpotong sejenak, beli rokok dulu.

                Halaman 40 buku pembatas buku, dari puisi Yuli Nugrahani ke 24. Judulnya

NAMA YANG TERSEMBUNYI

Sesekali trengguli adalah si pemahat
mengetam aksara pada serat hujan

Di dalamnya ada nama, sebuah nama
tercampur dalam cecap hingga darah
melulu hanya namanya, sebuah nama
tak berani aku gambar maupun ucap.

Semesta merapikannya dalam desah
tersembunyi tertahan keagungan
terlipat di pokok kecil ragi roti
ditaburkan diam-diam, nanti.

Tapi aku serupa asap saja tanpanya
melayang cemburu merindukan perjumpaan
jadi kadang kutinggalkan raga, menyerta
gerak persembunyiannya di mata pahat.

Kini aku paham muasal Gibran dan Ziadah
rela saling berpaling wajah, tak menyentuh
tak bertubuh, dan membiarkan ruh saja,
ruh saja mengembarai padang mahsyar.

Pada bentang jarak raga tercipta sketsa
meradukan kata, mengabadikan rasa.

2014

Pada bagian tulisan saya pertama kali, musim trengguli dari puisi Yuli Nugrahani telah saya baca, meski mungkin saya menjadi tertarik membaca kembali serta mencoba mengaitkan, bagian pertama Yuli memberikan suasana yang terbangun rapi, sesuatu yang ia coba sembunyikan dengan musim trengguli. Ada rasa berdosa dalam diri saya, ketika membawa puisi musim trengguli itu tidak utuh dengan puisi ini, karena menurut saya juga (bukan menurut orang lain) ada kaitan yang sangat kuat sekali mengalun di ruang-ruang kehampaan, kesunyian dan kesendirian di ruang paling hening. Musim trengguli pertama saya membacanya Yuli memiliki kemampuan mengalirkan sesuatu yang tersembunyi ke ruang dan daya lingkup cinta lingkungan, meski memang suasananya sangat romantis dan manis. Nah! Ada yang saya ambil pelajaran kembali, bagi saya kemampuan Yuli dalam memainkan tema dan memilih diksi mampu melahirkan ke ambiguan yang mampu memberi ruang pembaca untuk membaca serta menangkap pesan dan kesan oleh bangunan yang sesuai dan atau tulisan itu dibiarkan menemui pembacanya lewat nasib dan takdirnya.

Sesekali trengguli adalah si pemahat
mengetam aksara pada serat hujan

Inilah bait pertama yang menurut saya memiliki kaitan dan bangunan yang multi tafsir dari apa yang saya baca pada bagian awalnya, di puisi berjudul musim trengguli, kalau tak salah ingat ada bait ini dalam penutupnya, di sana, kita bercengkerama  dan beberapa puisi Yuli Nugrahani mungkin kalau tak salah, tema trengguli ini hadir mewarnai puisi Yuli. Apa yang saya ingin hadirkan dari ketika saya membaca puisi Yuli Nugrahani ini adalah penempatan kata “SI” di bait pertama ini membuat saya tertarik dengan hanya kata si, si itu siapakah? Yang pasti dia bukan Tuhan, tetapi ada yang ingin disampaikan secara samar oleh si itu, berari si itu alam, sepertinya begitu, bukan yang selain Tuhan kita sebut alam, nah “si” dalam puisi Yuli ini kita coba cari, dia mungkin waktu atau musim, tapi saya lebih berani merekatkan “si” itu sebagai manusia, orang, nah ada yang unik dari “si” itu ketika saya mengatakan “si” itu adalah orang, seolah musim dan waktu menjadi penegas dia bukan orang, dengan kata “si” saya mengerutkan kening, mencoba membangun subyektifitas saya ini ke hal yang lebih masuk akal, dan saya menyimpulkan, bagaimana kalau “si” itu adalang “sang” inilah permainan unik dari pemilihan kata per kata, sambung menyambung membangun dan memberikan ruang untuk menafsirkannya sendiri-sendiri, inikah ambiguitas dari hanya kata “si” itu? Apa akan marah ketika si itu adalah fendi, atau si itu yuli, atau bisa jadi si itulah hewan.

Di dalamnya ada nama, sebuah nama
tercampur dalam cecap hingga darah
melulu hanya namanya, sebuah nama
tak berani aku gambar maupun ucap.

Mari simak lanjutan dari bait pertama ke bait kedua dari Yuli Nugrahani ini, dia tak menjelaskan apa-apa. Hanya sebuah nama, nama yang menjadi darah dan memenuhi seluruh tubuh pori-pori, nama yang memompa jantung, nama yang kuasa menghadirkan segala kemisterian dari “si” di atas, nama yang membangun tafsirnya, karena memang terlihat ada yang sengaja disembunyikan dan kita sangat memiliki ruang yang sangat luas untuk mendekatkan siapa “si” dalam puisi Yuli ini. Bait kedua pun memiliki dan menambah kemisterian tersebut, si itu nama kata puisi yuli yang berdialog denganku, aku bertanya siapa si itu, puisi yuli menjawab, itu hanya nama, nama yang tak pernah aku lupa, nama yang membuat segala suasana, si itu nama, katanya. Aku diam karena teks ini membiarkan aku bebas menafsirkan si itu adalah nama, nama itu adalah terserah pembaca.

Saya benar-benar berdialog dengan puisi Yuli ini, karena seperti yang saya baca dari esai bagian pertama kalau ada kata penutupnya “di sana, kita bercengkerama”  membuat saya kembali berdialog dan membangun pertanyaan, berilah aku kejelasan siapa nama tersebut yang kamu sebut sebagai nama? Dan di bait selanjutnya ada jawaban.

Semesta merapikannya dalam desah
tersembunyi tertahan keagungan
terlipat di pokok kecil ragi roti
ditaburkan diam-diam, nanti.

Aduh, jawaban dari pertanyaanku semakin berbuntut pada kemisteriusan si dan nama tersebut dan memang hal yang terbangun ini menjadi perhatian tersendiri bagi seorang Yuli menyimpan rapi siapa “si” yang beralih rupa pada “nama” dan nama itu katanya dirapikan oleh semesta, dan kata rapi pun saya rekatkan dirahasiakan sedemikian rapi oleh semesta, oleh waktu dan sangat tersembunyi keagungannya. Sangat indah ketika yuli memberi pengandaian, atau majas yang manis terlipat di pokok kecil ragi roti, di taburkan diam-diam, nanti. Nah, helo! Kataku pada diriku tersenyum melihat baris manis ini mampu menyusun suasananya. Dia tidak lebay kok. Ah bagi sebagian orang seh, karena mungkin kelembutan juga di jaman yang keras ini sudah kehilangan kelembutannya, bila ada yang mengatakan baris itu lebay.  Kenapa kamu begitu memulyakan sebuah nama itu? Kataku pada teks puisi Yuli, dan ini jawabannya.

Tapi aku serupa asap saja tanpanya
melayang cemburu merindukan perjumpaan
jadi kadang kutinggalkan raga, menyerta
gerak persembunyiannya di mata pahat.

Lihat perumpaan asap oleh aku lirik andai tak ada si dari sebuah nama tersebut. Ia akan melayang cemburu merindukan perjumpaan, jadi kadang kata aku lirik sampai meninggalkan raga, menyerta gerak persembunyiannya di mata pahat. Ini juga seperti dongeng dan laila dan manjun atau legenda-legenda yang lainnya, nah di puisi ini sebenarnya ada kisah-kisah yang sublim yang bebas kita tafsirkan kemana pembaca menjangkaunya. Jelas saya sedang membaca dan menuliskan dari apa yang saya rasa ini lalu saya tuliskan sebagai temuan pribadiku dan siapa tahu berguna pada teman-teman yang lain. Dan cobalah masuki sepenuhnya imajinasi menjadi asap itu. Betapa tubuh dan raga hilang, dan pengembaraan itu tak berbentuk tapi kita serasa terbang kemana tempat persembunyiannya.

Kini aku paham muasal Gibran dan Ziadah
rela saling berpaling wajah, tak menyentuh
tak bertubuh, dan membiarkan ruh saja,
ruh saja mengembarai padang mahsyar.

Ini sudah menunggu satu tahap lagi, dari bangunan puisi yuli untuk sekedar menceritakan apa dan bagaimana dan seperti apa sosok “si” dalam “sebuah nama” yang misterius itu. Tapi kata aku lirik setelah melepas kata asap tadi dia menyadari, ada hal pelajaran masa lalu muasalnya dari Gibran dan Ziadah, rela saling berpaling wajah, tak menyentuh, tak bertubuh, dan membiarkan ruh saja, ini penegas, hubungan aku lirik dengan “si dari sebuah nama” ada yang suci dari sebuah rasa yang dia diam dan nyaman di singgasana hatinya, dan nanti hanya ruh saja mengembarai padang mahsyar.

Di kata ruh saja mengembarai padang mahsyar ini rupanya Yuli telah menjangkau bahasa tuhan dengan bersembunyi dari sebuah nama tersebut, dari “si” ia menyelami kesucian, ah sangat memukau dan aku semangat membacanya, seperti baca novel-novel besar dari karya-karya dunia yang kini dihadirkan ke dalam bentuk puisi dengan aku lirik serta pengalaman dan keluasaan berfikir penulisnya.

Pada bentang jarak raga tercipta sketsa
meradukan kata, mengabadikan rasa.

Inilah kalimat penutup yang mengharukan, pada bentang jarak raga tercipta sketsa meradukan kata, mengabdikan rasa. Dan akhirnya adalah satu rasa pengabadian yang luhur oleh aku lirik pada satu nama, dan saya simpulkan pembacaan ini hanya oleh keterbatasan saya sehingga apapun misal ada yang kurang berkenan silahkan ruang membaca di ruang yang lain dibuka untuk menutupi segala kemungkinan-kemungkinan yang ada. Sebelum saya akhiri saya menjadi teringat puisi saya sendiri yang saya tulis pada tahun 2012 dengan judul.

“ Sebuah Nama”

Menulis namamu
Satu-satunya yang aku gemari

Matamu yang seperti purnama
Dan lesung pipit yang merona
Laksana lembaran buku
Penuh makna

Selalu ingin kubaca
Namamu
Dalam ejaan cinta yang sempurna

Bagi saya, tak ada hubungannya dengan esai di atas, hanya numpang narsis. Salam.

Moncek Tengah, 060614

Tidak ada komentar: