Oleh : Fendi Kachonk
Sempat saya ingin tertawa tapi akhirnya saya tak mampu, hanya mampu tersenyum melihat dan membaca serta mencoba lebur dengan bangunan puisi yang Lia Amalia Sulaksmi tuliskan, keharuan, kesenyapan, memang selalu akan menjadi warna tersendiri membaca tulisan-tulisan Lia Amalia, seorang perempuan yang halus melembutkan tanda-tanda dalam puisinya yang berjudul “Rumah Kayu”, hingga menjadikan saya ingin belajar bagaimana menulis puisi ala Lia Amalia Sulaksmi. Awalnya saya menjadi tertarik dengan Judul, kenapa judul menjadi hal yang paling kita dekatkan dengan mata, mungkin karena judul seolah pintu, seolah celah-celah untuk benar-benar masuk ke dalam rumah puisi, atau “RUMAH KAYU” puisi Lia Amalia Sulaksmi itu sendiri.
Menjadi menarik ketika Lia Amalia Sulaksmi dengan jeli menggelitik pembaca dengan menggunakan kesan pada pandangan pertama, kemana jatuhnya pandangan pertama dalam puisi itu? Jelas bagi saya oleh karena puisi ini yang awal saya rasakan adalah judul. Kenapa dengan judul? Saya juga akhirnya meraba-raba mula saya berpapasan dengan puisi Rumah Kayu karya Lia. Ah. Dengan Judul Rumah Kayu, saya terasa mesti membangun imajinasinya dari sana, dan dari sana pula saya merasakan pintu imajinasi dari puisi Lia itu bisa dimasuki meski mungkin sunyi, karya dengan pemilihan judul sudah ada rasa senyap, hampa dan entah rasa apa lagi.
Pelan-pelan saya meraba wajah judul itu, rumah, kita bisa membayangkan sebuah rumah, berbentuk apapun, sekilas kita mendapatkan halaman, selalu ada saja misalnya di berandanya ada kursi, dan seolah kita sudah merasakan rumah impian dalam benak kita yang pasti tak sama, nah lahir dari sini keindahan dengan kata rumah, lalu didempetkan pula dengan “KAYU” oleh Lia, yang awalnya kita sudah merasakan keindahan oleh imajinasi kita terhantar pada ruang di mana kita memandang rumah harapan, rumah impian dari kita masing-masing.
Tetapi akhirnya ada imajinasi sampiran oleh ketika direkatkan dua kata Rumah dan Kayu, sehingga imajinasi dari rumah itu menjadi utuh, oleh kehadiran kata kayu membangun kesimpulan akhirnya, bahwa sebuah rumah masa depan dan harapan itu adalah rumah yang memakai kayu, dan dari keutuhan imajinasi rumah kayu tersebut, kembali kita diajak jalan-jalan oleh hanya “Rumah Kayu” sebuah rumah mungil di tepi pantai, yang kaki-kakinya tidak memakai bata, dengan begitu ombak hanya menjilati kaki rumah yang menggunakan kayu yang pada akhirnya akan membuat lapuk kaki rumah kayu tersebut. Dari sinilah dapat kita petikkan sebuah pengetahuan kecil, dalam puisi kejelian memilih judul juga bisa membuat pembaca hanyut untuk semakin terusik dan ingin tahu kseluruhan dari tubuh puisi.
Saya semakin memasuki ruang imajinasi dari ketika membuka pintu dengan pelan-pelan dari Rumah Kayu ini, terasa suasana getir, halaman yang seakan-akan tanpa rawatan, pot-pot bunga yang kosong dan bunga-bunga yang layu tak terurus, saya kembali menghela napas, oleh ingin tenang dan pelan-pelan memasuki rumah kayu dari sebuah bangunan puisi Lia Amalia Sulaksmi ini. Dari bait per bait terasa sekali kehampaan itu, sebuah misteri yang menohok langsung pada jantung dengan pembangunan suasana, maka saya kembali merajut, menulis puisi dan atau satu cara serta karekter dari kepenulisan Lia ini adalah termasuk dari pembangunan suasana yang meneteskan kemisteriannya dalam bait per bait, mari saya tarik satu bait pembuka dari puisi “Rumah Kayu”.
perahu tertambat, di pintu rumahmu
ada sisa-sisa bunga, kering tertiup angin.
Setelah awalnya saya terpana dengan Judul, kini saya kembali terkejut dengan kesan-kesan dari apa yang terbangun suasananya dari puisi Lia Amalia Sulaksmi ini, dengan lentik Lia menyematkan kalimat “ perahu tertambat, di pintu rumahmu” dengan teks ini sudah ada pembangunan suasana dan kemisteriannya serta bunyi yang mengalun tak terpaksa dari jiwa oleh karena endapan puisi yang meminta dituliskannya, sehingga pertemuan “U” di perahu tertambat, di pintu rumahmu, tidak menggeser suasana yang tercipta dalam jiwa, inilah mungkin yang bisa saya tarik kesimpulan, puisi yang datang dari dalam jiwa akan menyediakan segala bentuk kebutuhan dari fisik puisi tersebut. Mari saya lanjutkan dengan senyapnya baris, ada sisa-sisa bunga, kering tertiup angin.
Dari bait pertama ini dari sisi imajinasi, Lia telah mengantarkan ke suasana yang miris, campur aduk dalam hampa, senyap, sunyi dengan kata perahu dan sisa bunga yang tertiup angin, bukankah dapat kita rasakan, di sana tak ada siapa-siapa, di sana hanya hening dan sunyi yang lebih nyala dari sekedar lilin. Lalu bagaimana bait selanjutnya?
meja dingin, kursi kosong halaman tanpa rumput
kayu berderik, langkah pelan pada bingkai kisah
Sepertinya pengembaraan saya belum usai di bait pertama, terus suasana itu dibangun dengan senyap oleh Lia Amalia Sulaksmi, dan saya mendapati kembali pelajaran, menulis dan tehnik puisi Lia di Rumah Kayu ini, memang tak hanya dari judul, suasana misteri, dan rima yang mengalun serta tak hadir dengan ketat, cukup dan sekedarnya saja musikalisasi di bait perbait itu semakin meneguhkan ruang pencitraanya. Setelah bait pertama dengan perahu tertambat dan sisa bunga yang kering tertiup angin, Lia meluaskan pembangunan suasananya, dengan meja dan kursi yang kosong dan langkah pelan pada bingkai kisah, nah! kembali saya ingin memotong sedikit dengan langkah pelan pada bingkai kisah rupanya, ada yang ingin dihantarkan setelah pembangunan suasana, maka ada yang menyelinap, imajinasi seorang yang melangkah, atau hanya ingatan yang melangkah pada bingkai kisah.
Dari bait, langkah pelan pada bingkai kisah membuka pintu ketiga yaitu sibakan warna konflik, atau ada tokoh, peran yang menegaskan kepemilikan dari judul “rumah kayu” bagaiman konflik ini menjadi plot di mana saya selaku orang yang belajar pada puisi Lia Amalia Sulaksmi semakin mendapat banyak hal, lihat bait selanjutnya ini.
kami pergi, ketika mendung tak pernah berakhir
tanpa kunci, debu puluhan tahun
menempel karat di hati berbatu
Konflik yang menarik ketika bait ini hadir sebagai sebuah warta, cerita panjang dari sebuah perjalanan, entah, semuanya berlandaskan dunia nyata atau hanya fiktif belaka, saya tak punya daya jelajah untuk masuk pada penggalian yang se bukan dari teks, teks ini menjadi bagian acuan, ketika iya menggambarkan berbagai macam romantika yang luas yang terjadi di dalam rumah. Sebuah citraan yang kembali menguatkan bait per bait dan akhirnya saya kembali lagi belajar bahwa puisi Lia Amalia Sulaksmi dengan rumah kayu, memiliki kekuatan dari selain yang di atas saya utarakan dan kemampuan menyusun bait per bait yang rekat mengikatkan saling topang menopang sehingga dan seolah dia menjadi novel kehidupan, novel ini menjadi pendek dalam bentuk puisi, atau mungkinkah keberhasilan sebuah puisi itu adalah dari semua ciri khas yang saya sampaikan?
Tetapi selalu akan ada yang lemah dan kuat, oleh memang tak semua kesempurnaan itu dimiliki oleh manusia, dan teks ini hadir sebagai bentuk kemanusiawian dari sebuah pelaku kehidupan yang melepas semua endapan masalah ke dalam bentuk puisi, maaf, dipandangan saya, dan saya pun kembali pada awal kata saya ingin tertawa, tapi tak mampu, hanya mampu tersenyum karena akhirnya saya mendapatkan pertanyaan serta kesimpulan yang terbangun dari teks puisi ini, karena sedemikian kuatnya manusia akan ada titik lemahnya juga, sama dengan sedemikian bagusnya puisi pasti ada celah yang mengisyaratkan tak ada yang sempurna. Saya hadirkan bait penutup dari puisi Rumah Kayu ini.
perahu tertambat bertambah di pintu rumahmu
hujan belum datang, arakan kelabu
masih memandu, mata tombak menghujam danau
perahu terlayarkan
sisa bunga tergeletak, beku
Saya akhirnya ingin menutup semua belajar saya ini dengan membaca secara utuh mulai dari bait per bait dari puisi “Rumah Kayu” semua berhasil oleh karena dengan rasa saya mendapatkan apa yang ingin disampaikan dari teks ini, namun akhirnya ada yang tertolak logika ketika “ perahu tertambat” Hujan belum datang” dan menjadi misteri kembali ketika Lia seolah tanpa sadar berkata bahwa dirinya bukan Tuhan yang memiliki segala kesempurnaan, dan logika saya juga berkata, teks ini manusiawi ketika tak ada hujan kenapa bisa perahu terlayarkan?
Secara logika sadar dan andai teks ini adalah teks yang bukan puisi maka akan menjadi titik lemah tersendiri. Tetapi akhirnya saya memahami bahwa itu adalah teks puisi yang oleh kadang logika tak mampu menjangkau, tetapi keinginan penulis “ MENGIBARATKAN” tak ada hujan, perahu terlayarkan, di sini ruang imajinasi saya tercabik-cabik oleh membayangkan keadaan tersebut. Akhirnya saya berterima kasih dan membuat simpulan sendiri pada perahu itu, bahwa menulis puisi dengan ekspresionis sangat butuh peleburan pada tema, pemberian judul yang bagus, bait per bait yang saling menguatkan dan nanti saya akan lanjutkan pelajaran saya pada puisi kawan-kawan yang lain. Maaf dan salam
RUMAH KAYU
perahu tertambat, di pintu rumahmu
ada sisa-sisa bunga, kering tertiup angin
meja dingin, kursi kosong halaman tanpa rumput
kayu berderik, langkah pelan pada bingkai kisah
kami pergi, ketika mendung tak pernah berakhir
tanpa kunci, debu puluhan tahun
menempel karat di hati berbatu
perahu tertambat bertambah di pintu rumahmu
hujan belum datang, arakan kelabu
masih memandu, mata tombak menghujam danau
perahu terlayarkan
sisa bunga tergeletak, beku
Bandung, 29-5-14
Moncek, 01Juni14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar