Senin, 29 September 2014

KETIKA HUJAN MENCINTAI UMIRAH RAMATA

Oleh: Fendi Kachonk

Aku hanya mematung melihat dan membaca puisi Umirah Ramata dengan judul “Ketika Hujan Mencintai Kita”. Diam aku menikmati suasana yang diantarkan ke dada malam yang disusui oleh sepi, senyap juga dalam bahasa Umirah ini serasa ketat aku berjalan di rinainya, akupun tak paham kembali, tetapi aku tiba-tiba ingin menulis tanpa dasar apa-apa kecuali dasar rasaku saja yang mendapatkan kehampaan dan kemisterian mendengar kata hujan mencintai kita.

Seperti halnya penulis yang lain, hujan memang selalu bisa jadi tema yang sangat dingin dan memilukan, struktur kata hampa yang terbangun mampu menghanyutkan bayangan-bayangan kecil akan masa lalu, masa kenang yang tanpa tedeng aling-aling selalu dibawa oleh hujan, hujan selalu menunjukkan sisi lemah seorang manusia, yang tak bisa lari dari jejak-jejak kecil, masa lalu, kenangan, rindu, cinta bahkan dendam yang tersembunyi di balik hati yang sepi. Kadang oleh sepi dan hujan itulah, tiba-tiba sang penulis merasakan denyut nadi jadi lamban, detak jantung seolah ada yang menindihnya, maka pada waktu itulah mungkin moment puitik itu tiba-tiba datang tanpa diundang dan menyediakan segudang kata-kata untuk membahasakan hujan.

Aku tak lagi berteori dengan berbagai macam ilmu pengetahuan yang mengikat tubuh puisi tetapi kuresapi aliran yang pelan-pelan memenuhi pori-poriku, yang seolah sedang bermain hujan-hujanan, kata Afrilia Utami, sampai kita demam sebulan, kalau tak salah, atau kita juga menjadi pengingat puisi sang maestro Sapardi Joko Damono, Hujan bulan Juni. Ah akhirnya sekian panjang proses tubuh bahasa dalam nyawa tubuh penulisnya menjadikan tema hujan seolah hidup dan tak akan pernah ada mati-matinya, kuasa hujan sangat meluluh lantahkan kekuatan manusia untuk selalu mengingat yang telah dan pernah terjadi, hanya saja hujan selalu jadi perawan mengikat dirinya kepada para penyair, sehingga hujan juga bisa menetes dari mata yang mengingat hujan yang sebenarnya, dan jarak tempuh dikikis begitu saja, sampai tak ada jarak, antara kerinduan-kerinduan yang telah mengatur jarak, sampai semua tempat, sampai semua ruang kembali utuh dalam imajinasi hujan.

Bagaimana Umirah Ramata bercakap dengan hujan lewat puisinya yang ketika hujan mencintai kita, di sini aku juga merasakan kehangatan yang menetes pelan-pelan dari lembar daun pisang sampai tak ada jarak antara tubuh-tubuh yang awalnya berdiameter serta bersenti meter, sehingga seolah ada syukur yang tak terucapkan, atau diucapkan dengan sengat unik, karena kalau tidak hujan, mungkin kita akan sulit mengenang kehampaan, kebahagiaan, mungkin juga kalau tak ada hujan kita gagal menjadi manusia karena sentuhannya membuat kita rapuh.

Di bait pertamanya, Umirah menjelaskan semuanya dengan mengalir, dan ia menjadi hujan yang rintik-rintik menghanyutkan ke muara tempat segala kenangan itu lahir seperti bayi yang menangisi segala kekurangan bila tak ada orang lain yang memberikan kehangatan. Mari kita rasakan sesuatu yang pelan dan hampa di bait pertama puisi Umirah Ramata ini.

aku masih mencintai hujan
hujan di waktu yang sama seperti saat itu
saat semua kenangan tercipta  dari butiran mutiara langit
langit yang menyenjakan mimpi-mimpi kita

Ada pengakuan, masih mencintai hujan, oleh penulis yang karena hujan itu masih sama seperti hujan yang dulu saat penulis merasakan sesuatu, meski mungkin tidak sama keadaannya, tapi yang sama oleh karena hujan telah menciptakan dan mengembalikan kembali pada titik kenang, titik temu yang ditotok dalam ingatannya, yang tak lekang oleh keadaan, tak berubah karena benihnya telah tumbuh, dan serabutnya semakin menjalar kemanan-mana, sampai tubuh penulis itu seolah hujan itu sendiri. Di bait ini pun terasa sekali ada kehilangan yang terpendam di balik genangan-genangan hujan dan kembali juga rintiknya yang jatuh di genteng serasa mengetuknya kembali.  langit yang menyenjakan mimpi-mimpi kita.

Pada sebaris kalimat dalam puisi Umirah ini aku diam, aku tak ingin menangkap hujan di dalam pikiranku, tapi aku ingin bebas menjadi kenangan yang termaktub dengan perih yang diam-diam menghadirkan kengiluan pada rumah jiwaku. Ah, sepi sekali kata itu, ada yang terbungkus dengan sederhana seolah di balik kata menyenja itu adalah awalnya senja, senja berarti tempat yang ingin digambarkan oleh Umirah sebagai nuansa dan suasana perasaannya dengan bermain simbol itu Umirah mampu membuatku terperosok ke jurang-jurang kehampaan. Karena senja, seolah usia, waktu dan umur, dengan direkatkan ke kata mimpi-mimpi. Seolah ingin juga aku putuskan bahwa ada yang pupus pada hujan itu, hujan yang masih dicinta meski pernah menyenjakan mimpi-mimpi.

Dari bait pertama, jelajah imajinasiku tak mau berhenti dia mencari celah-celah kabar dari hujan. Ada kabar berita apa lagikah yang ingin disampaikan penulis dengan mengatakan aku masih mencintai hujan? Bait kedua aku hadirkan.

sayup suara itu membangunkanku dari sejenak rindu yang diam
diam menuturkan kalimat tanpa titik di bibirmu
bibir yang sejak tadi seolah membunuhku perlahan
perlahan tak pula lekang di telan masa

Benar sekali. Ternyata ada lanjutan gelombang pemikiran yang mengendap dan terlepas dengan ngilunya dalam puisi ini, sayup suara itu adalah rinai hujan yang mengantarkannya, dan rinai itu juga adalah hujan yang terbendung di dalam jiwa, iya malih rupa pada pembentukan dari wajah asal yang kongkrit dalam bentuk hujan yang nyata dan abstrak menjadi sayup suara hujan dalam jiwa penulis. Sayup kerinduan itu telah diam tapi mampu menuturkan kalimat pada titik di bibir seorang, kini hujan itu telah menjadi kata-kata seseorang, mari kita baca bersama ketika ada kalimat “ bibir yang sejak tadi seolah membunuhku, perlahan, perlahan tak pula lekang di telan masa”.

Yang unik adalah, puisi ini berbicara masa lalu, tapi kini ditarik sedemikian pendek, seolah kejadian masa lalu terjadi hari ini, saat ini, dan tetapi dia adalah kekuasaan hujan yang mengantarkannya sedemikian dekat, sedemikian tanpa jarak, sampai ada pentaukidan bahwa itu masa lampau dengan dimansuhnya kembali kejadian hari ini menjadi “tak pula lekang di telan masa lalu”.

hujan masih berdiri
berdiri di depan pintu dengan sebuah kado ungu
ungu yang melekat di bajumu sejak kemarin
kemarin saat kau memelukku erat dalam malam

Tak habis pikir kemampuan Umirah dalam menelanjangi hujan, merobeknya ke bentuk yang lain dan mengepang tubuh hujan di tubuh seseorang yang kini seolah hujan itu sendiri. Kuasa imajinasilah ini yang membuatku semakin khusyuk untuk apa hujan itu hadir dan kenapa dia seolah meranumkan segala kenangan menjadi mungil dan bayi kembali. Di bait inilah ujud hujan itu disulap oleh Umirah dengan manis sekali, dengan hujan masih berdiri di depan pintu dengan kado ungu sama dengan ketika kamu memelukku berkemeja ungu. Aih, Umirah sedang apa kamu sekarang ya? Hujan pertama seolah mengetuk pintu, ia ingin masuk ke dalam jiwa seseorang, dan ia memeluk seseorang itu sehingga absurd juga akhirnya ketika tubuh berlapis ungu itu adalah hujan yang dicintai Umirah. Aje Gile Umi.

Setelah tubuh hujan itu datang, puisi ini semakin mengalir menjadi bagian-bagian yang utuh lihatlah, akhirnya setelah hujan bertandang, ada keakraban dan perbincangan yang intim yang kembali dibangun oleh Umirah Ramata.

kita tak pernah bisa berdusta
berdusta pada mata yang enggan berkedip menatap wujudmu
wujudmu dalam diriku

Wah, ada obrolan hangat seolah bait bercerita sesuatu, kita tak pernah bisa berdusta, katanya. Pada mata yang enggan berkedip menatap wujudmu, wujudmu dalam diriku. Ah, betapa hujan itu telah menyatu setelah berkeping-keping menjadi bentuk-bentuk yang dibangun dalam imajinasinya Umirah Ramata. Dan benar sekali, ada kejujuran kita tak bisa berbohong atau mendustai kehadiran hujan yang selalu punya cara menyatu dan mampu menempelkan kenangan menjadi tubuh kita sendiri. Bagiku dalam puisi ini, aku sangat menikamati, meski mungkin untuk sebagian pembaca yang lain pengulangan kata-kata dari baris ke baris itu akan sedikit mengganggu, Cuma sementara ini aku sangat menikmatinya. Perkara ada pendapat yang lain, menjadi merdeka dalam ruang lainnya.

Dan, walhasil sampai juga pada titik di mana hujan juga akan reda, entah ada apakah ketika hujan akan reda itu? Apakah hujan akan kembali menghadirkan kisah-kisah yang sama memilukan. Lihatlah bagaimana Umirah menghentikan semuanya.

ketika hujan mencintai kita
kita bukanlah siapa-siapa

Demikianlah, Umirah Ramata menutup puisinya dengan sedikit gerakkan tangan ke langit dan menadah hujan-hujan akhir dalam dirinya, tubuhnya, tubuh hujan sendiri sambil ia berkata : ketika hujan mencintai kita, kita bukanlah siapa-siapa. Memilukan dan kita kembali berbicara hak miliknya, kita hanya menikmatinya saja tanpa bisa memilikinya, dan hanya kerinduan yang akan terus berdoa semoga hujan esok kembali, dan kau kembali menjadi hujan yang selalu membuatku rindu, kata Umirah pelan-pelan.

Mohon maaf akhirnya pada hujan dan pembaca, saya menikmati dengan cara saya tanpa kaidah apa-apa.


Ketika Hujan Mencintai Kita

aku masih mencintai hujan
hujan di waktu yang sama seperti saat itu
saat semua kenangan tercipta  dari butiran mutiara langit
langit yang menyenjakan mimpi-mimpi kita

sayup suara itu membangunkanku dari sejenak rindu yang diam
diam menuturkan kalimat tanpa titik di bibirmu
bibir yang sejak tadi seolah membunuhku perlahan
perlahan tak pula lekang di telan masa

hujan masih berdiri
berdiri di depan pintu dengan sebuah kado ungu
ungu yang melekat di bajumu sejak kemarin
kemarin saat kau memelukku erat dalam malam

kita tak pernah bisa berdusta
berdusta pada mata yang enggan berkedip menatap wujudmu
wujudmu dalam diriku

ketika hujan mencintai kita
kita bukanlah siapa-siapa

Taipie, 17 Juli 2014

Tidak ada komentar: