Oleh: Fendi Kachonk
Aku
hanya mematung melihat dan membaca puisi Umirah Ramata dengan judul
“Ketika Hujan Mencintai Kita”. Diam aku menikmati suasana yang
diantarkan ke dada malam yang disusui oleh sepi, senyap juga dalam
bahasa Umirah ini serasa ketat aku berjalan di rinainya, akupun tak
paham kembali, tetapi aku tiba-tiba ingin menulis tanpa dasar apa-apa
kecuali dasar rasaku saja yang mendapatkan kehampaan dan kemisterian
mendengar kata hujan mencintai kita.
Seperti halnya
penulis yang lain, hujan memang selalu bisa jadi tema yang sangat dingin
dan memilukan, struktur kata hampa yang terbangun mampu menghanyutkan
bayangan-bayangan kecil akan masa lalu, masa kenang yang tanpa tedeng
aling-aling selalu dibawa oleh hujan, hujan selalu menunjukkan sisi
lemah seorang manusia, yang tak bisa lari dari jejak-jejak kecil, masa
lalu, kenangan, rindu, cinta bahkan dendam yang tersembunyi di balik
hati yang sepi. Kadang oleh sepi dan hujan itulah, tiba-tiba sang
penulis merasakan denyut nadi jadi lamban, detak jantung seolah ada yang
menindihnya, maka pada waktu itulah mungkin moment puitik itu tiba-tiba
datang tanpa diundang dan menyediakan segudang kata-kata untuk
membahasakan hujan.
Aku tak lagi berteori dengan berbagai
macam ilmu pengetahuan yang mengikat tubuh puisi tetapi kuresapi aliran
yang pelan-pelan memenuhi pori-poriku, yang seolah sedang bermain
hujan-hujanan, kata Afrilia Utami, sampai kita demam sebulan, kalau tak
salah, atau kita juga menjadi pengingat puisi sang maestro Sapardi Joko
Damono, Hujan bulan Juni. Ah akhirnya sekian panjang proses tubuh bahasa
dalam nyawa tubuh penulisnya menjadikan tema hujan seolah hidup dan tak
akan pernah ada mati-matinya, kuasa hujan sangat meluluh lantahkan
kekuatan manusia untuk selalu mengingat yang telah dan pernah terjadi,
hanya saja hujan selalu jadi perawan mengikat dirinya kepada para
penyair, sehingga hujan juga bisa menetes dari mata yang mengingat hujan
yang sebenarnya, dan jarak tempuh dikikis begitu saja, sampai tak ada
jarak, antara kerinduan-kerinduan yang telah mengatur jarak, sampai
semua tempat, sampai semua ruang kembali utuh dalam imajinasi hujan.
Bagaimana
Umirah Ramata bercakap dengan hujan lewat puisinya yang ketika hujan
mencintai kita, di sini aku juga merasakan kehangatan yang menetes
pelan-pelan dari lembar daun pisang sampai tak ada jarak antara
tubuh-tubuh yang awalnya berdiameter serta bersenti meter, sehingga
seolah ada syukur yang tak terucapkan, atau diucapkan dengan sengat
unik, karena kalau tidak hujan, mungkin kita akan sulit mengenang
kehampaan, kebahagiaan, mungkin juga kalau tak ada hujan kita gagal
menjadi manusia karena sentuhannya membuat kita rapuh.
Di
bait pertamanya, Umirah menjelaskan semuanya dengan mengalir, dan ia
menjadi hujan yang rintik-rintik menghanyutkan ke muara tempat segala
kenangan itu lahir seperti bayi yang menangisi segala kekurangan bila
tak ada orang lain yang memberikan kehangatan. Mari kita rasakan sesuatu
yang pelan dan hampa di bait pertama puisi Umirah Ramata ini.
aku masih mencintai hujan
hujan di waktu yang sama seperti saat itu
saat semua kenangan tercipta dari butiran mutiara langit
langit yang menyenjakan mimpi-mimpi kita
Ada
pengakuan, masih mencintai hujan, oleh penulis yang karena hujan itu
masih sama seperti hujan yang dulu saat penulis merasakan sesuatu, meski
mungkin tidak sama keadaannya, tapi yang sama oleh karena hujan telah
menciptakan dan mengembalikan kembali pada titik kenang, titik temu yang
ditotok dalam ingatannya, yang tak lekang oleh keadaan, tak berubah
karena benihnya telah tumbuh, dan serabutnya semakin menjalar
kemanan-mana, sampai tubuh penulis itu seolah hujan itu sendiri. Di bait
ini pun terasa sekali ada kehilangan yang terpendam di balik
genangan-genangan hujan dan kembali juga rintiknya yang jatuh di genteng
serasa mengetuknya kembali. langit yang menyenjakan mimpi-mimpi kita.
Pada
sebaris kalimat dalam puisi Umirah ini aku diam, aku tak ingin
menangkap hujan di dalam pikiranku, tapi aku ingin bebas menjadi
kenangan yang termaktub dengan perih yang diam-diam menghadirkan
kengiluan pada rumah jiwaku. Ah, sepi sekali kata itu, ada yang
terbungkus dengan sederhana seolah di balik kata menyenja itu adalah
awalnya senja, senja berarti tempat yang ingin digambarkan oleh Umirah
sebagai nuansa dan suasana perasaannya dengan bermain simbol itu Umirah
mampu membuatku terperosok ke jurang-jurang kehampaan. Karena senja,
seolah usia, waktu dan umur, dengan direkatkan ke kata mimpi-mimpi.
Seolah ingin juga aku putuskan bahwa ada yang pupus pada hujan itu,
hujan yang masih dicinta meski pernah menyenjakan mimpi-mimpi.
Dari
bait pertama, jelajah imajinasiku tak mau berhenti dia mencari
celah-celah kabar dari hujan. Ada kabar berita apa lagikah yang ingin
disampaikan penulis dengan mengatakan aku masih mencintai hujan? Bait
kedua aku hadirkan.
sayup suara itu membangunkanku dari sejenak rindu yang diam
diam menuturkan kalimat tanpa titik di bibirmu
bibir yang sejak tadi seolah membunuhku perlahan
perlahan tak pula lekang di telan masa
Benar
sekali. Ternyata ada lanjutan gelombang pemikiran yang mengendap dan
terlepas dengan ngilunya dalam puisi ini, sayup suara itu adalah rinai
hujan yang mengantarkannya, dan rinai itu juga adalah hujan yang
terbendung di dalam jiwa, iya malih rupa pada pembentukan dari wajah
asal yang kongkrit dalam bentuk hujan yang nyata dan abstrak menjadi
sayup suara hujan dalam jiwa penulis. Sayup kerinduan itu telah diam
tapi mampu menuturkan kalimat pada titik di bibir seorang, kini hujan
itu telah menjadi kata-kata seseorang, mari kita baca bersama ketika ada
kalimat “ bibir yang sejak tadi seolah membunuhku, perlahan, perlahan tak pula lekang di telan masa”.
Yang
unik adalah, puisi ini berbicara masa lalu, tapi kini ditarik
sedemikian pendek, seolah kejadian masa lalu terjadi hari ini, saat ini,
dan tetapi dia adalah kekuasaan hujan yang mengantarkannya sedemikian
dekat, sedemikian tanpa jarak, sampai ada pentaukidan bahwa itu masa
lampau dengan dimansuhnya kembali kejadian hari ini menjadi “tak pula lekang di telan masa lalu”.
hujan masih berdiri
berdiri di depan pintu dengan sebuah kado ungu
ungu yang melekat di bajumu sejak kemarin
kemarin saat kau memelukku erat dalam malam
Tak
habis pikir kemampuan Umirah dalam menelanjangi hujan, merobeknya ke
bentuk yang lain dan mengepang tubuh hujan di tubuh seseorang yang kini
seolah hujan itu sendiri. Kuasa imajinasilah ini yang membuatku semakin
khusyuk untuk apa hujan itu hadir dan kenapa dia seolah meranumkan
segala kenangan menjadi mungil dan bayi kembali. Di bait inilah ujud
hujan itu disulap oleh Umirah dengan manis sekali, dengan hujan masih
berdiri di depan pintu dengan kado ungu sama dengan ketika kamu
memelukku berkemeja ungu. Aih, Umirah sedang apa kamu sekarang ya? Hujan
pertama seolah mengetuk pintu, ia ingin masuk ke dalam jiwa seseorang,
dan ia memeluk seseorang itu sehingga absurd juga akhirnya ketika tubuh
berlapis ungu itu adalah hujan yang dicintai Umirah. Aje Gile Umi.
Setelah
tubuh hujan itu datang, puisi ini semakin mengalir menjadi
bagian-bagian yang utuh lihatlah, akhirnya setelah hujan bertandang, ada
keakraban dan perbincangan yang intim yang kembali dibangun oleh Umirah
Ramata.
kita tak pernah bisa berdusta
berdusta pada mata yang enggan berkedip menatap wujudmu
wujudmu dalam diriku
Wah,
ada obrolan hangat seolah bait bercerita sesuatu, kita tak pernah bisa
berdusta, katanya. Pada mata yang enggan berkedip menatap wujudmu,
wujudmu dalam diriku. Ah, betapa hujan itu telah menyatu setelah
berkeping-keping menjadi bentuk-bentuk yang dibangun dalam imajinasinya
Umirah Ramata. Dan benar sekali, ada kejujuran kita tak bisa berbohong
atau mendustai kehadiran hujan yang selalu punya cara menyatu dan mampu
menempelkan kenangan menjadi tubuh kita sendiri. Bagiku dalam puisi ini,
aku sangat menikamati, meski mungkin untuk sebagian pembaca yang lain
pengulangan kata-kata dari baris ke baris itu akan sedikit mengganggu,
Cuma sementara ini aku sangat menikmatinya. Perkara ada pendapat yang
lain, menjadi merdeka dalam ruang lainnya.
Dan, walhasil
sampai juga pada titik di mana hujan juga akan reda, entah ada apakah
ketika hujan akan reda itu? Apakah hujan akan kembali menghadirkan
kisah-kisah yang sama memilukan. Lihatlah bagaimana Umirah menghentikan
semuanya.
ketika hujan mencintai kita
kita bukanlah siapa-siapa
Demikianlah,
Umirah Ramata menutup puisinya dengan sedikit gerakkan tangan ke langit
dan menadah hujan-hujan akhir dalam dirinya, tubuhnya, tubuh hujan
sendiri sambil ia berkata : ketika hujan mencintai kita, kita bukanlah
siapa-siapa. Memilukan dan kita kembali berbicara hak miliknya, kita
hanya menikmatinya saja tanpa bisa memilikinya, dan hanya kerinduan yang
akan terus berdoa semoga hujan esok kembali, dan kau kembali menjadi
hujan yang selalu membuatku rindu, kata Umirah pelan-pelan.
Mohon maaf akhirnya pada hujan dan pembaca, saya menikmati dengan cara saya tanpa kaidah apa-apa.
Ketika Hujan Mencintai Kita
aku masih mencintai hujan
hujan di waktu yang sama seperti saat itu
saat semua kenangan tercipta dari butiran mutiara langit
langit yang menyenjakan mimpi-mimpi kita
sayup suara itu membangunkanku dari sejenak rindu yang diam
diam menuturkan kalimat tanpa titik di bibirmu
bibir yang sejak tadi seolah membunuhku perlahan
perlahan tak pula lekang di telan masa
hujan masih berdiri
berdiri di depan pintu dengan sebuah kado ungu
ungu yang melekat di bajumu sejak kemarin
kemarin saat kau memelukku erat dalam malam
kita tak pernah bisa berdusta
berdusta pada mata yang enggan berkedip menatap wujudmu
wujudmu dalam diriku
ketika hujan mencintai kita
kita bukanlah siapa-siapa
Taipie, 17 Juli 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar