“Sebuah catatan proses agenda”
Peluncuran Antologi Hujan Kampoeng Jerami dan Daun-daun Hitam
Oleh: Fendi Kachonk
“Semalam ada berapa hal yang tak aku nikmati, sembari ingin memejamkan
mata, ingin terlena dibuai mimpi. Tapi, tak bisa aku kalahkan berapa
pikiranku. Agenda yang aku susun hari ini, dan berapa halnya lagi aku
tak mengerti datang, timbul lalu tenggelam."
“Hey,
Fen!” sapa Encing, seorang yang aku tak paham dari mana awalnya
mengenali dan dekat sekali. Bekerja di Pos Lenteng, tempat aku ngutang
duit, bahkan kadang kantor pos aku jadikan tempat aku singgah, istrihat,
makan dan minum serta pernah aku jadikan kantor Pos Lenteng sebagai
tempat pertemuan kecil dengan kawan-kawan kala tak menemukan tempat yang
gratis saat ada acara ngumpul bareng semacam diskusi.
Jam,
6.23 WIB, aku sudah rapi, dengan berbagai daftar kegiatan hari ini.
Tiba-tiba aku merasakan ada sedikit keharuan. Melihat tumpukan buku
“ANTOLOGI HUJAN KAMPOENG JERAMI” lalu terbayang semua kejadian, seminggu
yang lalu kami mengadakan tiga acara peluncuran buku,”Hujan Kampoeng
Jerami dan Daun-Daun Hitam” kumpulan cerpen seorang kawan dari Lampung.
Perempuan
itu kadang aku panggil Yuli Nugrahani, Kadang juga aku panggil Kakak,
tapi tak pernah aku panggil dia dengan sebutan mba’ karena aku selalu
menganggap kakak, dan kurindukan kakak laki-laki dalam kehidupanku.
Maklum kakak dan adikku perempuan. Oleh berapa ingatanku, aku sempat
tertegun. Wajah Umirah Ramata, adikku yang ada di Taiwan, Lia Amalia
Sulaksmi, Teteh, begitu biasa aku sebut dia. Tangan-tangan mereka yang
mampu dan sabar selama ini berproses dengan kami, membangun Kampoeng
Jerami dengan semangat, naik turun emosi dan semua luapan kejadian yang
sama pernah kami alami.
Lebih kurang dari
setengah bulan, aku, Yuli, Lia, dan Umirah memutar dengan cepat proses
Buku “ Hujan Kampoeng Jerami” itu proses yang sebelumnya berapa bulan
sempat terkendala. Tetapi, semangat yang luar biasa dari mereka membuat
buku ini siap. Kemarin tepatnya seminggu yang lalu, aku mengulang
kenangan, pada hari : Jum’at, 5 September 2014 kami meluncurkan buku
Hujan Kampoeng Jerami dan Daun-daun Hitam. Di tiga tempat itu ada pos
kerja yang sangat aku banggakan dengan kegigihan anak muda yang luar
biasa semangatnya, aku biasa memanggilnya dengan sebutan “alek” dalam
bahasa madura yang bisa diartikan ke Indonesia dengan “adik”.
Ferli
seorang adik yang mengawal pertemuan pembuka dan sangat takjub, agenda
yang aku pikir akan sangat kecil tingkat kehadiran peserta malah sampai
full dan tak kurang dari 50 orang jadi peserta. Tak kalah membanggakan
fasilitator yang menyempatkan diri di mana kesibukannya sangat padat. K.
Muhammad Muzammiel El-Muttaqien berkenan hadir dan membuat situasi
hangat serta menyehatkan.
Oh, waktu begitu
cepat, seminggu yang lalu itu telah berlalu, tinggal kenangan dan
kumpulan semangat untuk merenda hari dengan berproses dan belajar terus
masih kental di dalam ingatan. ingatan aku juga berputar pada suatu
siang, setelah acara di laksamuda Sumenep kami evaluasi dengan sederhana
bersama kawan-kawan, “Sukses acaramu, Fen”. Ujar kawan-kawan kepadaku.
Dan pada saat itu, setelah berapa saat mengajak Yuli berputar di
seputaran kota. Melihat keraton lebih dekat, dan lalu aku harus fokus
pada waktu pertemuan kedua di Pondok Pesantren Putri “ Tarbiyatul
Banat.” Di hape sudah ada berapa kali miskol, tepatnya telpon yang tak
terangkat dari K. Ali Faruq. Sesampai di rumah, aku masih mencuri
pandang pada wajah Yuli yang masih kerap tersenyum dan siratan letih
mulai ada. Tapi, aku memang sangat kejam ketika sudah fokus. “Yuk, Yul.
Kamu boleh mandi atau cuci muka sebentar lagi kita berangkat.” Kataku
pada Yuli dan Yuli tak ada komentar hanya menuruti. Ih. Maaf ya, Yul.
Bisikku dalam hati.
Lalu teringat pada
kawanku yang sangat luar biasa dalam membantu aku selama ini. “Sigit,
kamu di mana?” Bathinku. Aku SMS Moh Ghufron Cholid. Lalu mereka berdua
segera sampai di rumah, Sigit selama ini begitu sangat peka mengambil
peran-peran penting yang tak bisa aku lakukan sendiri. Karena memang
ketika dalam ruangan, aku tak bisa ada di dua keadaan, moderator dan
mengambil dokumentasi. Maka Sigit sangat sigap mengambil peran itu dan
memainkannya dengan mulus. Temanku yang satu ini memang luar biasa, dia
bisa memahami gerak dan kebutuhanku tanpa aku harus ngomong. Jiwa
senimannya yang seorang pelukis, pemusik dan penulis mengasah
kepekaannya selama ini. Terima kasih banyak cuy.
Siang
itu, dengan rasa yang mulai letih, oleh sebab sebelum masuk pada
kegiatan di Sumenep, kami berlima, aku, Yuli, Gufron, Jailani, dan Ferli
adikku ini masih juga berdiskusi di Asta Tinggi, membaca puisi dan
cerpen dilanjutkan ke Taman Bunga Sumenep dan tentu kami ngopi bareng
demi merayakan satu keindahan dengan cara sederhana, lesehan di Taman
Bunga.
“K. Faizi apa bisa rawuh, Fen?” Tanya
K. Ali Faruq. Dan, aku mulai kebingungan ada yang lepas dari ingatan
untuk mengkomfirmasi ulang ke K. Faizi. Beliau aku sms, aku telpon dan
belum ada jawaban. Tapi, selang berapa menit kemudian. “saya sudah
siap-siap mau berangkat.” Sms di hape jadul saya memberiku telaga yang
bening oleh konfirmasi K. Faizi tersebut.
Aku berjudi
dengan waktu, sesegera mungkin acara segera kami mulai, Nyai Ulfah
sebagai MC mulai mengatur acara dan memperkenalkan Yuli Nugrahani, Ufron
dan Sigit telah bertindak sebagai penyokong keberhasilan acara di sana.
Sampai pada sesi acara diskusi dan bedah buku, “Antologi Hujan Kampoeng
Jerami dan Daun-daun hitam.” Aku memandu. Sambil menunggu kedatangan K.
Faizi, aku dan Yuli memberi semangat kepada santri perempuan untuk
menulis, menulis apapun, mulai dari sekarang dan jangan ditunda, itu
inti dari yang kami sampaikan berdua.
Wow,
mataku dan Yuli tak berkedip melihat K. Ali Faruq membacakan puisinya
dan sangat luar biasa, aliran energi di ruangan itu jadi hangat sekali.
Aku merasakan ada di tempat yang membakar seluruh badanku. Yah, oleh
semangat yang buncah. Sekitar 15-20 menit K. Faizi sudah bergabung
bersama kami. Beliau dengan lembut, serta humor yang manis memberikan
suasana yang luar biasa jadi gurih dan renyah. Waktu terus berlalu. Tak
terasa sudah mau magrib. Akhirnya usai sudah agenda. Kami akhirnya
berpamitan, terlebih dahulu aku berterima kasih kepada K. Faizi dan
akhirnya beliau pamit undur diri lebih awal karena persoalan pesantren
yang sudah menunggu beliau. Di Tarbiyatul Banat inilah, dulu aku
mengenal K. Faizi, sewaktu beliau jadi Juri baca Puisi Tingkat Madura
dan kebetulan saya jadi di antara pemenangnya. Pada waktu itu, K.
Mursyid begitu aktif dan hatiku kembali berbisik. Mari kita gairahkan
kembali K. Mursyid. Serupa doa aku lepas dengan memandang langit.
Moncek
sudah diselimuti malam, sampai juga di rumahku, Taman Baca Arena Pon
Nyonar, taman baca sekaligus tempat aku menulis dan membaca. Yuli sudah
aku lihat kuyu, hanya binar matanya masih berbicara, tepatnya, sok kuat
dan masih bergairah. Sedang geraknya mulai lamban. Aku meminta Sigit
menemaninya. Sedang aku pura-pura menemani Surga hanya untuk sebentar
memberi lelap pada mataku. Ah, akhirnya kami dapat telpon dari adikku.
Hasmidi Ustad ketua Sanggar Rakyat Merdeka dulu kami berproses bersama
di sana. “Kak, Kawan-kawan KKN INSTIKA putri sudah ngumpul. Mariklah
mohon dicepatkan rodanya.” Aku tersenyum dengan bujukan manis adikku
yang kemarin jadi lulusan terbaik di sebuah perguruan tinggi di kotaku
ini. Dan, mereka paham, dalam keletihan mereka tak akan mendesakku,
kecuali membujukku dengan lembut. Aih. Ah. Lebay kau, Fen. Biarin. Hehe.
Bukan
karena ada Yuli di motorku. Tapi, memang dalam setiap segala suasana,
aku biasa menyanyi waktu naik motor, waktu apapun, apalagi saat letih
dan capek. Aku biasa menghibur diriku. Inilah cara paling hemat untuk
kembali melonggarkan syaraf-syaraf otakku. Dan memang luar biasa, berasa
semangat, berasa muda dan lagi, dan yang paling hebat jarak tempuh tak
terasakan sama sekali. Sedang yang aku bonceng mungkin telah hidup
dengan dunianya. Melamun dan bisa jadi sedang bilang, “Ne, anak kok gila
ya?”
Maka, sampai pada tempat itu, tepatnya acara ketiga
kami sangat menarik dan sangat tak kalah unik dan menggemaskannya sama
dengan dua acara sebelumnya. Yuli jadi magnit, dan pembicaraan mulai
soal tulis menulis sama seperti jarum jam yang terus berputar.
Bergantian. Hasmidi, Ufron dan Mahasiswi membacakan Kumpulan Puisi Hujan
Kampoeng Jerami dan Yuli Membacakan satu cerpennya dari kumpulan cerpen
Daun-daun Hitam. Sampai akhirnya Yuli menutupnya dengan pantun yang tak
kalah legitnya.
Kami pulang, Jailani,
Ufron, Sigit, aku dan Yuli sampai juga di rumahku. Yuli bertanya, “Fen,
kita berangkat jam berapa ke Surabaya? Yang pasti saya harus sampai di
Kediri sekitar jam 8 atau paling telat jam 9 karena aku harus meminta
sarapan kesukaanku pada ibu. “Jam 11.30 “. Jawabku. “Oke” kata yuli.
“Kalau begitu aku aktifin alarmku ya?”. Tapi, setelah jam 11 malam ke
setengah jam selanjutnya tak ada tanda Yuli bangun, dan aku paham pasti
dia capek kataku. Dan aku akan memenuhi undangan kawan-kawan di Surabaya
untuk monolog "suara-suara hampa" di Dewan Kesenian Surabaya.
Sampai
jam 12 malam aku gugah. “Kak, Kak. Jadi pulang malam ini” suaranya
parau. “Iya,” katanya. Dia pun keluar dari kamar dengan masih melipat
wajah dengan bentuk persegi empat. Aku tersenyum. Di hatiku membantin,
kau tak sempat makan nasi jagung, sate madura, dan legen. Tapi, aku juga
merasakan keletihan, bagiku. Dan Yuli, mengingat masa muda waktu masih
disebut aktifis jalanan, kami akhirnya bergerak ke Prenduan. Yuli dan
aku. Sigit dan Ufron melaju dan menerebas dingin desa-desa kami.
“Uiy,
Fen!” Encing mengagetkan aku. “Melamun saja dari tadi” lanjutnya dan
ternyata aku melamun di kantor Pos Lenteng. "Eh, Cing, duitku tak cukup
neh, aku hanya ada 150 ribu. Ngutang dulu boleh gak?” kataku pada Encing
si Pegawai Pos itu.
“Boleh, apa yang tidak untukmu, Fen.”
Aku
tersenyum dan semua mengalir bersama dengan waktu, proses kami baru
mulai dari buku Hujan Kampoeng Jerami membuat kami sadar. Bahwa hidup
akan selalu terus berlalu, dan aku bagian orang yang tak mau diam tanpa
melakukan sesuatu. Aku tak mau menunggu, bergerak dan belajar bersama,
tersenyum dan bergembira. Inilah aku. Inilah kami yang sangat bahagia
dengan proses sederhana kami. Mari terus menulis. Mari saling mendukung.
Tak semudah membalikkan telapak tangan, semuanya butuh proses. Dan
kuatlah wahai seluruh teman-temanku.
Demikian, terima kasih untuk semua orang yang telah mendukung Kampoeng Jerami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar