Senin, 29 September 2014

Bagian Kedua Musim Trengguli Yuli Nugrahani

Oleh : Fendi Kachonk

Sebelum saya masuk membaca puisi Yuli Nugrahani, saya jadi teringat beberapa hal dari kejadian kemarin, kembali saya membaca buku-buku kritik sastra, dan apa itu esai, fungsinya apa dan kenapa? Nah saya mulai menemukan titik kunci kalau esai dalam kamus bahasa Indonesia adalah opini penulis pada subyek, sedang opini dalam bahasa Indonesia adalah pendapat, sederhananya esai adalah pendapat penulis (baca: penulis esai itu sendiri) bukan pendapat penulis puisi, misalnya kita sedang membaca puisi seseorang. Hal ini saya hadirkan adalah karena minat belajar pada hal yang obyektif dari kata esai itu sendiri sedangkan esai itu sendiri lebih bermain dari subyektif merunut dari kamus dan arti kata sebuah esai yang artinya adalah opini penulis.

Dalam proses ini saya lalu mencoba belajar lagi membaca tentu dengan pengalaman saya dan keterbatasan saya, oleh tak harus esais memahami semua seluk beluk tulisan, ini juga ada dalam rijit penjelasan wikipedia hanya rabaan sekilas, saya sudah cek kesana kemari dan dalam esai itu sendiri tak melulu harus mengahdirkan kritik, ada berapa cabangnya juga, ada esai kritik, ada esai apresiatif, nah pada bagian ini, agar tidak mentok pada ranah baca yang idealis terhadap penggambaran esai itu hal yang menakutkan dan mesti sama dengan pembacaan orang lain maka menjadi sangat penting ada pelurusan hal ini, karena semesta ini juga sangat menyimpan ke ambiguitasannya sendiri-sendiri. Apa yang ingin saya sampaikan, ruang ini adalah ruang baca saya, karena kembali berbenturan pada pemahaman saya, esais juga pembaca, apa yang dibaca adalah subyek, subyek hari ini apa? Jelas saya kembali menghadirkan puisi Yuli Nugrahani.

Siapa Yuli Nugrahani, saya juga tak paham betul siapa Yuli Nugrahani, memang ada cabang pengetahuannya juga, kalau membaca karya bisa melihat dari latar belakang pengarangnya. Saya mencoba bertarung dengan keinginan saya, untuk menghadirkan keutuhan agar dari hal yang saya baca mungkin ada manfaatnya juga bagi sebagian orang. Menjadi hal yang wajar ketika alam demokrasi yang kita diami adalah menjaga dan melestarikan semua orang untuk bebas berpendapat karena sepertinya itu juga diatur oleh undang-undang, pendapat seperti apa, dan kejujuran seperti apa, maka ketika kita tarik benang merahnya kembali kepada pengertian di atas sebuah esai adalah opini, opini adalah pendapat penulis esai tersebut kepada subyek. Memang sepertinya masih berlari-lari di tempat tulisan ini. Tapi ini penting menurut hematku yang tak boros-boros.

Waduh, mesti terpotong sejenak, beli rokok dulu.

                Halaman 40 buku pembatas buku, dari puisi Yuli Nugrahani ke 24. Judulnya

NAMA YANG TERSEMBUNYI

Sesekali trengguli adalah si pemahat
mengetam aksara pada serat hujan

Di dalamnya ada nama, sebuah nama
tercampur dalam cecap hingga darah
melulu hanya namanya, sebuah nama
tak berani aku gambar maupun ucap.

Semesta merapikannya dalam desah
tersembunyi tertahan keagungan
terlipat di pokok kecil ragi roti
ditaburkan diam-diam, nanti.

Tapi aku serupa asap saja tanpanya
melayang cemburu merindukan perjumpaan
jadi kadang kutinggalkan raga, menyerta
gerak persembunyiannya di mata pahat.

Kini aku paham muasal Gibran dan Ziadah
rela saling berpaling wajah, tak menyentuh
tak bertubuh, dan membiarkan ruh saja,
ruh saja mengembarai padang mahsyar.

Pada bentang jarak raga tercipta sketsa
meradukan kata, mengabadikan rasa.

2014

Pada bagian tulisan saya pertama kali, musim trengguli dari puisi Yuli Nugrahani telah saya baca, meski mungkin saya menjadi tertarik membaca kembali serta mencoba mengaitkan, bagian pertama Yuli memberikan suasana yang terbangun rapi, sesuatu yang ia coba sembunyikan dengan musim trengguli. Ada rasa berdosa dalam diri saya, ketika membawa puisi musim trengguli itu tidak utuh dengan puisi ini, karena menurut saya juga (bukan menurut orang lain) ada kaitan yang sangat kuat sekali mengalun di ruang-ruang kehampaan, kesunyian dan kesendirian di ruang paling hening. Musim trengguli pertama saya membacanya Yuli memiliki kemampuan mengalirkan sesuatu yang tersembunyi ke ruang dan daya lingkup cinta lingkungan, meski memang suasananya sangat romantis dan manis. Nah! Ada yang saya ambil pelajaran kembali, bagi saya kemampuan Yuli dalam memainkan tema dan memilih diksi mampu melahirkan ke ambiguan yang mampu memberi ruang pembaca untuk membaca serta menangkap pesan dan kesan oleh bangunan yang sesuai dan atau tulisan itu dibiarkan menemui pembacanya lewat nasib dan takdirnya.

Sesekali trengguli adalah si pemahat
mengetam aksara pada serat hujan

Inilah bait pertama yang menurut saya memiliki kaitan dan bangunan yang multi tafsir dari apa yang saya baca pada bagian awalnya, di puisi berjudul musim trengguli, kalau tak salah ingat ada bait ini dalam penutupnya, di sana, kita bercengkerama  dan beberapa puisi Yuli Nugrahani mungkin kalau tak salah, tema trengguli ini hadir mewarnai puisi Yuli. Apa yang saya ingin hadirkan dari ketika saya membaca puisi Yuli Nugrahani ini adalah penempatan kata “SI” di bait pertama ini membuat saya tertarik dengan hanya kata si, si itu siapakah? Yang pasti dia bukan Tuhan, tetapi ada yang ingin disampaikan secara samar oleh si itu, berari si itu alam, sepertinya begitu, bukan yang selain Tuhan kita sebut alam, nah “si” dalam puisi Yuli ini kita coba cari, dia mungkin waktu atau musim, tapi saya lebih berani merekatkan “si” itu sebagai manusia, orang, nah ada yang unik dari “si” itu ketika saya mengatakan “si” itu adalah orang, seolah musim dan waktu menjadi penegas dia bukan orang, dengan kata “si” saya mengerutkan kening, mencoba membangun subyektifitas saya ini ke hal yang lebih masuk akal, dan saya menyimpulkan, bagaimana kalau “si” itu adalang “sang” inilah permainan unik dari pemilihan kata per kata, sambung menyambung membangun dan memberikan ruang untuk menafsirkannya sendiri-sendiri, inikah ambiguitas dari hanya kata “si” itu? Apa akan marah ketika si itu adalah fendi, atau si itu yuli, atau bisa jadi si itulah hewan.

Di dalamnya ada nama, sebuah nama
tercampur dalam cecap hingga darah
melulu hanya namanya, sebuah nama
tak berani aku gambar maupun ucap.

Mari simak lanjutan dari bait pertama ke bait kedua dari Yuli Nugrahani ini, dia tak menjelaskan apa-apa. Hanya sebuah nama, nama yang menjadi darah dan memenuhi seluruh tubuh pori-pori, nama yang memompa jantung, nama yang kuasa menghadirkan segala kemisterian dari “si” di atas, nama yang membangun tafsirnya, karena memang terlihat ada yang sengaja disembunyikan dan kita sangat memiliki ruang yang sangat luas untuk mendekatkan siapa “si” dalam puisi Yuli ini. Bait kedua pun memiliki dan menambah kemisterian tersebut, si itu nama kata puisi yuli yang berdialog denganku, aku bertanya siapa si itu, puisi yuli menjawab, itu hanya nama, nama yang tak pernah aku lupa, nama yang membuat segala suasana, si itu nama, katanya. Aku diam karena teks ini membiarkan aku bebas menafsirkan si itu adalah nama, nama itu adalah terserah pembaca.

Saya benar-benar berdialog dengan puisi Yuli ini, karena seperti yang saya baca dari esai bagian pertama kalau ada kata penutupnya “di sana, kita bercengkerama”  membuat saya kembali berdialog dan membangun pertanyaan, berilah aku kejelasan siapa nama tersebut yang kamu sebut sebagai nama? Dan di bait selanjutnya ada jawaban.

Semesta merapikannya dalam desah
tersembunyi tertahan keagungan
terlipat di pokok kecil ragi roti
ditaburkan diam-diam, nanti.

Aduh, jawaban dari pertanyaanku semakin berbuntut pada kemisteriusan si dan nama tersebut dan memang hal yang terbangun ini menjadi perhatian tersendiri bagi seorang Yuli menyimpan rapi siapa “si” yang beralih rupa pada “nama” dan nama itu katanya dirapikan oleh semesta, dan kata rapi pun saya rekatkan dirahasiakan sedemikian rapi oleh semesta, oleh waktu dan sangat tersembunyi keagungannya. Sangat indah ketika yuli memberi pengandaian, atau majas yang manis terlipat di pokok kecil ragi roti, di taburkan diam-diam, nanti. Nah, helo! Kataku pada diriku tersenyum melihat baris manis ini mampu menyusun suasananya. Dia tidak lebay kok. Ah bagi sebagian orang seh, karena mungkin kelembutan juga di jaman yang keras ini sudah kehilangan kelembutannya, bila ada yang mengatakan baris itu lebay.  Kenapa kamu begitu memulyakan sebuah nama itu? Kataku pada teks puisi Yuli, dan ini jawabannya.

Tapi aku serupa asap saja tanpanya
melayang cemburu merindukan perjumpaan
jadi kadang kutinggalkan raga, menyerta
gerak persembunyiannya di mata pahat.

Lihat perumpaan asap oleh aku lirik andai tak ada si dari sebuah nama tersebut. Ia akan melayang cemburu merindukan perjumpaan, jadi kadang kata aku lirik sampai meninggalkan raga, menyerta gerak persembunyiannya di mata pahat. Ini juga seperti dongeng dan laila dan manjun atau legenda-legenda yang lainnya, nah di puisi ini sebenarnya ada kisah-kisah yang sublim yang bebas kita tafsirkan kemana pembaca menjangkaunya. Jelas saya sedang membaca dan menuliskan dari apa yang saya rasa ini lalu saya tuliskan sebagai temuan pribadiku dan siapa tahu berguna pada teman-teman yang lain. Dan cobalah masuki sepenuhnya imajinasi menjadi asap itu. Betapa tubuh dan raga hilang, dan pengembaraan itu tak berbentuk tapi kita serasa terbang kemana tempat persembunyiannya.

Kini aku paham muasal Gibran dan Ziadah
rela saling berpaling wajah, tak menyentuh
tak bertubuh, dan membiarkan ruh saja,
ruh saja mengembarai padang mahsyar.

Ini sudah menunggu satu tahap lagi, dari bangunan puisi yuli untuk sekedar menceritakan apa dan bagaimana dan seperti apa sosok “si” dalam “sebuah nama” yang misterius itu. Tapi kata aku lirik setelah melepas kata asap tadi dia menyadari, ada hal pelajaran masa lalu muasalnya dari Gibran dan Ziadah, rela saling berpaling wajah, tak menyentuh, tak bertubuh, dan membiarkan ruh saja, ini penegas, hubungan aku lirik dengan “si dari sebuah nama” ada yang suci dari sebuah rasa yang dia diam dan nyaman di singgasana hatinya, dan nanti hanya ruh saja mengembarai padang mahsyar.

Di kata ruh saja mengembarai padang mahsyar ini rupanya Yuli telah menjangkau bahasa tuhan dengan bersembunyi dari sebuah nama tersebut, dari “si” ia menyelami kesucian, ah sangat memukau dan aku semangat membacanya, seperti baca novel-novel besar dari karya-karya dunia yang kini dihadirkan ke dalam bentuk puisi dengan aku lirik serta pengalaman dan keluasaan berfikir penulisnya.

Pada bentang jarak raga tercipta sketsa
meradukan kata, mengabadikan rasa.

Inilah kalimat penutup yang mengharukan, pada bentang jarak raga tercipta sketsa meradukan kata, mengabdikan rasa. Dan akhirnya adalah satu rasa pengabadian yang luhur oleh aku lirik pada satu nama, dan saya simpulkan pembacaan ini hanya oleh keterbatasan saya sehingga apapun misal ada yang kurang berkenan silahkan ruang membaca di ruang yang lain dibuka untuk menutupi segala kemungkinan-kemungkinan yang ada. Sebelum saya akhiri saya menjadi teringat puisi saya sendiri yang saya tulis pada tahun 2012 dengan judul.

“ Sebuah Nama”

Menulis namamu
Satu-satunya yang aku gemari

Matamu yang seperti purnama
Dan lesung pipit yang merona
Laksana lembaran buku
Penuh makna

Selalu ingin kubaca
Namamu
Dalam ejaan cinta yang sempurna

Bagi saya, tak ada hubungannya dengan esai di atas, hanya numpang narsis. Salam.

Moncek Tengah, 060614

PEMBATAS BUKU KUMPULAN PUISI YULI NUGRAHANI

Oleh : Fendi Kachonk
Kemarin, setelah seharian bekerja dan baru sampai rumah, seperti biasa saya istrihat dan masuk ke ruang bacaku, yaitu Taman Baca Arena Pon Nyonar, di atas meja telah ada bungkusan rapi, aku lihat-lihat dan ternyata buku Yuli Nugrahani telah sampai, satu buku Antologi puisinya yang berjudul “Pembatas Buku” dari tema atau judul buku ini, aku merasakan ada goresan kata, yang sengaja dialirkan dengan liris “pembatas buku” . Saya masih saja mengeyam kata-kata itu, pembatas buku, sambil menerka-nerka apa maksud dari tujuan Yuli melekatkan “pembatas buku” di kumpulan puisi pertamanya. Saya menerka-nerka mungkin buku kumpulan puisi ini seperti pembatas buku dan tulisan Yuli, yang biasanya lebih mendalami cerpen, atau tulisan yang lain, kini Yuli juga menulis buku, atau bisa jadi juga ini adalah pembatas keadaan, ah sudahlah, intinya saya dengan pemilihan tema atau judul ini telah merasakan keunikan dan kecerdasan seorang Yuli dalam merangkai kata menjadi luar biasa.

Dalam Kumpulan Puisi Pembatas Buku ini, ada 40 puisi yang ditulis Yuli, dan mungkin sekedarnya saja aku mengenal Yuli di dunia maya, tetapi yang saya ketahui Yuli dengan produktifitasnya mampu melahirkan tulisan-tulisan yang senyap, seolah hampa dan seolah tanpa ada emosi yang menggerogoti  anak-anak kata dan kalimat yang dibungkus dengan kedewasaan bahasanya yang lugas, bercerita dan seolah ini cerpen dalam bentuk puisi, tetapi ini adalah puisi bukan cerpen, namun pencitraan dan pembangunan suasananya, dialektika yang terbangun, seolah itu adalah khas seorang Penyair Perempuan Lampung yang kaya dengan tema, oleh juga dirinya adalah pegiat dan pemerhati sosial yang masih aktif sampai sekarang.

Satu persatu saya membaca puisi Yuli, dan saya semakin mengenal karekter bahasanya, mengalun, sederhana dan perhitungan pemilihan diksi yang sangat ketat, saya mendapati tak ada yang longgar semuanya berbobot nilai estetika, tetapi bagi saya, oleh pandangan saya dan cara saya menggauli puisi, jiwa saya akan mencari jiwa dalam beberapa puisi yang ditulis, dan sampai juga pada penyisiran tiga puisi yang saya amat kagumi, dalam tiga puisi ini Yuli tak menggunakan dialektikanya, tetapi ia langsung menuju suasana mistik yang terbangun dan saya amat tertegun, kekuasaan tiga puisi ini membuat saya tak berhenti untuk mengulang membacanya, membacanya dan lagi. Sepertinya secara tersirat Yuli Nugrahani mengisyaratkan bahwa “Pembatas Buku” itu dalam tiga puisi ini, mari saya hadirkan tiga puisi tersebut di sidang pembaca.

MUSIM BAGI TRENGGULI

Di rumah lain aku bisa menemuimu
kenari kecil yang penuh rinai

Trengguli sudah sampai di musim bertabur
mencipta harum sebagai beranda
di sana, kita bercengkerema

Nopember, 2013

Saya menikmati dengan pemilihan diksi dan suasana yang terbangun, oleh rima dengan kesederhanaan yang mengalir mengantarkan kepada ruang imajinasi kita, di suatu musim  bagi trengguli, dan kita juga mesti menyadarinya, bahwa Yuli Nugrahani di puisi-puisi ini tak semata menghadirkan kesayuan dan kesahduan semata-mata, tetapi dia mampu memotret lingkungannya dengan indah dan ciamik, mari saya bawa kepengangkatan tema “trengguli” yang adalah :

Trengguli (Cassia fistula) atau biasa disebut dengan bak buraktha, papa pauno,tengguli, klohor, kalabur, kayu raja, biraksa, bubundelan ini mempunyai kandungan kimia seperti saponin, tanin, gom, gula, hidroksimetil, asam sitrat, asam hidrisianik, pektin. Sementara kulitnya mengandung zat samak. Anggota famili Leguminosae ini bersifat rasa manis, antringen, pencahar dan penurun demam.

Saya baru menyadari, bahwa suasana yang romantis ini tak semata-mata sederhana secara kebermaknaan dari teks tersebut, Yuli Nugrahani mengajak kita semakin mencintai alam, kembali ke lingkungan dan dia juga memberitakan hal yang terdalam, bahwa alam ini telah banyak menyediakan imun bagi tubuh kita, lihatlah bagaimana trengguli itu juga berfungsi sebagai penurun demam, silahkan bisa dilanjutkan pencaritahuan pada tema trengguli dan pesan yang secara samar Yuli sampaikan, kembalilah ke lingkungan dan “di sana kita bercengkerema” bait penutup yang romantis, romantisme sebuah ajakan yang terbangun dan sengaja diendapkan dalam puisi “ Musim Bagi Trengguli”.

Maka dari puisi tersebut kembali saya mengimani, bahwa puisi memang tak akan jauh dari realitas sosial pengarangnya, dan saya merekatkan puisi tersebut, hadir dan lahir dari pergulatan Yuli dalam kegiatan-kegiatannya, amatannya dan menjadi puisi yang manis menyampaikan pesan secara romantis dan samar.

Bagaimana jiwa bahasa Yuli dan cara Yuli mengantarkan pembaca pada tempat yang sejuk? Setelah puisi di atas, saya juga sangat tertarik menghadirkan puisi kedua yang juga membuat saya merasakan suasananya, kemampuan Yuli, memainkan kata sederhana dan meneguhkan ruh tulisan pada pesan yang akan disampaikan tetapi begitulah Yuli juga tak serta merta meninggalkan keindahan-keindahan dalam memberi busana yang pantas dalam puisi-puisinya.

Yuli Nugrahani ini, memang kaya dengan tema, dan semuanya sama dengan apa yang telah saya sampaikan di atas, semuanya hasil dari pengamatan dan kejeliannya, tetapi kadang Yuli bermain dengan senyap sekali, sehingga saya membaca puisi ini juga hanyut, pada perbedaan angin laut di sebuah pagi, yang sama-sama memiliki tugas dan tanggung jawab dalam mengatur keseimbangan alam, jika pun tidak ada pengrusakan, angin juga tak akan mengantarkan sebuah kemelut di laut, mencintai lingkungan dan membangun tema sosial serta mengalurkan dalam bentuk puisi adalah cara yang sangat unik dan menarik dalam puisi-puisi Yuli Nugrahani. Mari kita simak.

PESAN ANGIN LAUT PADA PAGI

Takdirku
adalah pantai siang hari
mengantarkan nelayan
pulang ke bilik istrinya

Tapi kau,
pagi, kekasihku abadi
tempat kuhamparkan
pasang sepenuh daya.

Januari 2014

Membaca puisi ini, serasa senyap, ada luka yang diam dan sublim di dalam, perasaan saya seolah merasakan hal itu, bagaimana takdir alam dan waktu kadang mampu menghadirkan kesenduan. Sedang dalam tulisan ini Yuli Nugrahani tetap menggugah pembaca untuk kembali membaca alam, waktu, keadaan serta fungsi masing-masing sebagai alam, itulah warna dan jiwa bahasa Yuli. Senyap terasa dengan kata “Takdir” itu yang mesti mengantarkan nelayan pada bilik istrinya, dan hanyut kembali dengan bait-bait selanjutnya, tapi kau, pagi, kekasihku abadi. Dan saya sambungkan dengan puisi yang sangat dan bagus sekali oleh perasaanku merasakan pertempuran di medan senyap dan sepi dan di medan kuasa tanpa kuasa di puisi terakhir yang ingin saya hadirkan dan saya bersepakat pada jiwa saya, inti, ruh dan kata pembatas buku ini, ada di puisi ini. Menurut pandangan saya.

MENUJU RUMAHMU

Satu kali, satu kali saja aku berhenti
di sisi genangan air sisa hujan semalam

Lalu kembali aku bergegas, walau tahu
Aku tak akan pernah sampai di rumahmu

2014

Saya ingin belajar dan mencoba bermain-main dengan puisi ini, dari kemarin saya tertarik dan saya mencoba memasuki ruangnya, menjadi saya di medan konflik itu aku lirik itu, yang mencoba melangkah satu kali, lalu berhenti lagi langkahku, satu kali lagi, aku mencoba berjalan di sisi genangan air sisa hujan, aih kulihat kak Yuli menjinjing sepatunya, takut kotor dan melangkah lagi, satu kali, artinya hati-hati dulu, lalu melangkah dan terus satu kali. Itulah ruang imajinasi dalam puisi ini sangat bagus, tak mesti puisi hadir dengan pemilihan diksi yang berat-berat, yang sok-sok puitis tapi tak mengena ke jiwa, atau tak pernah ada jiwanya, di sini puisi Yuli Nugrahani, kata klise menjadi menarik dan diolah dengan matang, oleh karena Yuli Nugrahani tak hanya mampu berimajinasi, tetapi dia ada di medan  konflik itu.

Begitupun bait kedua dari puisi “menuju rumahmu” judulnya saja telah mampu membangun suasana, dan lihat, “lalu kembali aku bergegas” di bait pertama ada kata berhenti, satu kali saja, tetapi selalu ada spirit perjuangan dan tak mau mengalah untuk sampai pada rumahmu, rumahmu itu bisa apa saja, harapan, impian dan atau rumah kekekasih yang di atas singgasana, yaitu Tuhan, kenapa Yuli sangat berhasil melahirkan semuanya di puisi ini? mari kita coba rekatkan pada hubungan, aku lirik yang menjadi hamba menuju rumah Tuhannya, seolah di sana, aku lirik berkata, ada genangan air sisa hujan, seperti mengabarkan, ada yang becek, kotor dan si aku lirik telah mencoba berusaha melewatinya, berusaha berhenti dari kotor genangan air sisa hujan yang jadi lambang sebuah renungan jiwa aku lirik atau bisa jadi aku Yuli sebagai penulis puisi ini. Betapa kotor aku lirik menujumu, tetapi tak ada kata putus asa, satu kali lagi melangkah memperbaiki diri, terus seperti itu aku lirik meski juga tak akan sampai, karena mungkin rumahMu terlalu suci tetapi aku lirik mencobanya terus. Satu kali, satu kali berhenti dan aku bergegas melangkah lagi, menuju rumahmu tuhan, walau aku tahu tak akan pernah sampai.

Demikian kepada kak Yuli Nugrahani, semoga tetap menulis, semakin semangat dan bagi para kawan-kawan tak ada ruginya memiliki buku ini, oleh sebab kedewasaan berbahasanya yang kuat, bisa jadi buku “Pembatas Buku” ini menjadi pembatas dari buku-buku yang kurang menarik. Salam.

TEKNIK MENULIS PUISI RUMAH KAYU Lia Amalia Sulaksmi

Oleh : Fendi Kachonk

Sempat saya ingin tertawa tapi akhirnya saya tak mampu,  hanya mampu tersenyum melihat dan membaca serta mencoba lebur dengan bangunan puisi yang Lia Amalia Sulaksmi tuliskan, keharuan, kesenyapan, memang selalu akan menjadi warna tersendiri membaca tulisan-tulisan Lia Amalia, seorang perempuan yang halus melembutkan tanda-tanda dalam puisinya yang berjudul “Rumah Kayu”, hingga menjadikan saya ingin belajar bagaimana menulis puisi ala Lia Amalia Sulaksmi. Awalnya saya menjadi tertarik dengan Judul, kenapa judul menjadi hal yang paling kita dekatkan dengan mata, mungkin karena judul seolah pintu, seolah celah-celah untuk benar-benar masuk ke dalam rumah puisi, atau “RUMAH KAYU” puisi Lia Amalia Sulaksmi itu sendiri.

Menjadi menarik ketika Lia Amalia Sulaksmi dengan jeli menggelitik pembaca dengan menggunakan  kesan pada pandangan pertama, kemana jatuhnya pandangan pertama dalam puisi itu? Jelas bagi saya oleh karena puisi ini yang awal saya rasakan adalah judul. Kenapa dengan judul? Saya juga akhirnya meraba-raba mula saya berpapasan dengan puisi Rumah Kayu karya Lia. Ah. Dengan Judul Rumah Kayu, saya terasa mesti membangun imajinasinya dari sana, dan dari sana pula saya merasakan pintu imajinasi dari puisi Lia itu bisa dimasuki meski mungkin sunyi, karya dengan pemilihan judul sudah ada rasa senyap, hampa dan entah rasa apa lagi.

Pelan-pelan saya meraba wajah judul itu, rumah, kita bisa membayangkan sebuah rumah, berbentuk apapun, sekilas kita mendapatkan halaman, selalu ada saja misalnya di berandanya ada kursi, dan seolah kita sudah merasakan rumah impian dalam benak kita yang pasti tak sama, nah lahir dari sini keindahan dengan kata rumah, lalu didempetkan pula dengan “KAYU” oleh Lia, yang awalnya kita sudah merasakan keindahan oleh imajinasi kita terhantar pada ruang di mana kita memandang rumah harapan, rumah impian dari kita masing-masing.

Tetapi akhirnya ada imajinasi sampiran oleh ketika direkatkan dua kata Rumah dan Kayu, sehingga imajinasi dari rumah itu menjadi utuh, oleh kehadiran kata kayu membangun kesimpulan akhirnya, bahwa sebuah rumah masa depan dan harapan itu adalah rumah yang memakai kayu, dan dari keutuhan imajinasi rumah kayu tersebut, kembali kita diajak jalan-jalan oleh hanya “Rumah Kayu” sebuah rumah mungil di tepi pantai, yang kaki-kakinya tidak memakai bata, dengan begitu ombak hanya menjilati kaki rumah yang menggunakan kayu yang pada akhirnya akan membuat lapuk kaki rumah kayu tersebut. Dari sinilah dapat kita petikkan sebuah pengetahuan kecil, dalam puisi kejelian memilih judul juga bisa membuat pembaca hanyut untuk semakin terusik dan ingin tahu kseluruhan dari tubuh puisi.

Saya semakin memasuki ruang imajinasi dari ketika membuka pintu dengan pelan-pelan dari Rumah Kayu ini, terasa suasana getir, halaman yang seakan-akan tanpa rawatan, pot-pot bunga yang kosong dan bunga-bunga yang layu tak terurus, saya kembali menghela napas, oleh ingin tenang dan pelan-pelan memasuki rumah kayu dari sebuah bangunan puisi Lia Amalia Sulaksmi ini. Dari bait per bait terasa sekali kehampaan itu, sebuah misteri yang menohok langsung pada jantung dengan pembangunan suasana, maka saya kembali merajut, menulis puisi dan atau satu cara serta karekter dari kepenulisan Lia ini adalah termasuk dari pembangunan suasana yang meneteskan kemisteriannya dalam bait per bait, mari saya tarik satu bait pembuka dari puisi “Rumah Kayu”.

perahu tertambat, di pintu rumahmu
ada sisa-sisa bunga, kering tertiup angin.

Setelah awalnya saya terpana dengan Judul, kini saya kembali terkejut dengan kesan-kesan dari apa yang terbangun suasananya dari puisi Lia Amalia Sulaksmi ini, dengan lentik Lia menyematkan kalimat “ perahu tertambat, di pintu rumahmu” dengan teks ini sudah ada pembangunan suasana dan kemisteriannya serta bunyi yang mengalun tak terpaksa dari jiwa oleh karena endapan puisi yang meminta dituliskannya, sehingga pertemuan “U” di perahu tertambat, di pintu rumahmu, tidak menggeser suasana yang tercipta dalam jiwa, inilah mungkin yang bisa saya tarik kesimpulan, puisi yang datang dari dalam jiwa akan menyediakan segala bentuk kebutuhan dari fisik puisi tersebut. Mari saya lanjutkan dengan senyapnya baris, ada sisa-sisa bunga, kering tertiup angin.

Dari bait pertama ini dari sisi imajinasi, Lia telah mengantarkan ke suasana yang miris, campur aduk dalam hampa, senyap, sunyi dengan kata perahu dan sisa bunga yang tertiup angin, bukankah dapat kita rasakan, di sana tak ada siapa-siapa, di sana hanya hening dan sunyi yang lebih nyala dari sekedar lilin. Lalu bagaimana bait selanjutnya?

meja dingin, kursi kosong halaman tanpa rumput
kayu berderik, langkah pelan pada bingkai kisah

Sepertinya pengembaraan saya belum usai di bait pertama, terus suasana itu dibangun dengan senyap oleh Lia Amalia Sulaksmi, dan saya mendapati kembali pelajaran, menulis dan tehnik puisi Lia di Rumah Kayu ini, memang tak hanya dari judul, suasana misteri, dan rima yang mengalun serta tak hadir dengan ketat, cukup dan sekedarnya saja musikalisasi di bait perbait itu semakin meneguhkan ruang pencitraanya. Setelah bait pertama dengan perahu tertambat dan sisa bunga yang kering tertiup angin, Lia meluaskan pembangunan suasananya, dengan meja dan kursi yang kosong dan langkah pelan pada bingkai kisah, nah! kembali saya ingin memotong sedikit dengan langkah pelan pada bingkai kisah rupanya, ada yang ingin dihantarkan setelah pembangunan suasana, maka ada yang menyelinap, imajinasi seorang yang melangkah, atau hanya ingatan yang melangkah pada bingkai kisah.

Dari bait, langkah pelan pada bingkai kisah membuka pintu ketiga yaitu sibakan warna konflik, atau ada tokoh, peran yang menegaskan kepemilikan dari judul “rumah kayu” bagaiman konflik ini menjadi plot di mana saya selaku orang yang belajar pada puisi Lia Amalia Sulaksmi semakin mendapat banyak hal, lihat bait selanjutnya ini.

kami pergi, ketika mendung tak pernah berakhir
tanpa kunci, debu puluhan tahun
menempel karat di hati berbatu

Konflik yang menarik ketika bait ini hadir sebagai sebuah warta, cerita panjang dari sebuah perjalanan, entah, semuanya berlandaskan dunia nyata atau hanya fiktif belaka, saya tak punya daya jelajah untuk masuk pada penggalian yang se bukan dari teks, teks ini menjadi bagian acuan, ketika iya menggambarkan berbagai macam romantika yang luas yang terjadi di dalam rumah. Sebuah citraan yang kembali menguatkan bait per bait dan akhirnya saya kembali lagi belajar bahwa puisi Lia Amalia Sulaksmi dengan rumah kayu, memiliki kekuatan dari selain yang di atas saya utarakan dan kemampuan menyusun bait per bait yang rekat mengikatkan saling topang menopang sehingga dan seolah dia menjadi novel kehidupan, novel ini menjadi pendek dalam bentuk puisi, atau mungkinkah keberhasilan sebuah puisi itu adalah dari semua ciri khas yang saya sampaikan?

Tetapi selalu akan ada yang lemah dan kuat, oleh memang tak semua kesempurnaan itu dimiliki oleh manusia, dan teks ini hadir sebagai bentuk kemanusiawian dari sebuah pelaku kehidupan yang melepas semua endapan masalah ke dalam bentuk puisi, maaf, dipandangan saya, dan saya pun kembali pada awal kata saya ingin tertawa, tapi tak mampu, hanya mampu tersenyum karena akhirnya saya mendapatkan pertanyaan serta kesimpulan yang terbangun dari teks puisi ini, karena sedemikian kuatnya manusia akan ada titik lemahnya juga, sama dengan sedemikian bagusnya puisi pasti ada celah yang mengisyaratkan tak ada yang sempurna. Saya hadirkan bait penutup dari puisi Rumah Kayu ini.

perahu tertambat bertambah di pintu rumahmu
hujan belum datang, arakan kelabu
masih memandu, mata tombak menghujam danau
perahu terlayarkan
sisa bunga tergeletak, beku

Saya akhirnya ingin menutup semua belajar saya ini dengan membaca secara utuh mulai dari bait per bait dari puisi “Rumah Kayu” semua berhasil oleh karena dengan rasa saya mendapatkan apa yang ingin disampaikan dari teks ini, namun akhirnya ada yang tertolak logika ketika “ perahu tertambat” Hujan belum datang” dan menjadi misteri kembali ketika Lia seolah tanpa sadar berkata bahwa dirinya bukan Tuhan yang memiliki segala kesempurnaan, dan logika saya juga berkata, teks ini manusiawi ketika tak ada hujan kenapa bisa perahu terlayarkan?

Secara logika sadar dan andai teks ini adalah teks yang bukan puisi maka akan menjadi titik lemah tersendiri. Tetapi akhirnya saya memahami bahwa itu adalah teks puisi yang oleh kadang logika tak mampu menjangkau, tetapi keinginan penulis “ MENGIBARATKAN” tak ada hujan, perahu terlayarkan, di sini ruang imajinasi saya tercabik-cabik oleh membayangkan keadaan tersebut. Akhirnya saya berterima kasih dan membuat simpulan sendiri pada perahu itu, bahwa menulis puisi dengan ekspresionis sangat butuh peleburan pada tema, pemberian judul yang bagus, bait per bait yang saling menguatkan dan nanti saya akan lanjutkan pelajaran saya pada puisi kawan-kawan yang lain. Maaf dan salam

RUMAH KAYU

perahu tertambat, di pintu rumahmu
ada sisa-sisa bunga, kering tertiup angin

meja dingin, kursi kosong halaman tanpa rumput
kayu berderik, langkah pelan pada bingkai kisah

kami pergi, ketika mendung tak pernah berakhir
tanpa kunci, debu puluhan tahun
menempel karat di hati berbatu

perahu tertambat bertambah di pintu rumahmu
hujan belum datang, arakan kelabu
masih memandu, mata tombak menghujam danau
perahu terlayarkan
sisa bunga tergeletak, beku

Bandung, 29-5-14

Moncek, 01Juni14

KETIKA HUJAN MENCINTAI UMIRAH RAMATA

Oleh: Fendi Kachonk

Aku hanya mematung melihat dan membaca puisi Umirah Ramata dengan judul “Ketika Hujan Mencintai Kita”. Diam aku menikmati suasana yang diantarkan ke dada malam yang disusui oleh sepi, senyap juga dalam bahasa Umirah ini serasa ketat aku berjalan di rinainya, akupun tak paham kembali, tetapi aku tiba-tiba ingin menulis tanpa dasar apa-apa kecuali dasar rasaku saja yang mendapatkan kehampaan dan kemisterian mendengar kata hujan mencintai kita.

Seperti halnya penulis yang lain, hujan memang selalu bisa jadi tema yang sangat dingin dan memilukan, struktur kata hampa yang terbangun mampu menghanyutkan bayangan-bayangan kecil akan masa lalu, masa kenang yang tanpa tedeng aling-aling selalu dibawa oleh hujan, hujan selalu menunjukkan sisi lemah seorang manusia, yang tak bisa lari dari jejak-jejak kecil, masa lalu, kenangan, rindu, cinta bahkan dendam yang tersembunyi di balik hati yang sepi. Kadang oleh sepi dan hujan itulah, tiba-tiba sang penulis merasakan denyut nadi jadi lamban, detak jantung seolah ada yang menindihnya, maka pada waktu itulah mungkin moment puitik itu tiba-tiba datang tanpa diundang dan menyediakan segudang kata-kata untuk membahasakan hujan.

Aku tak lagi berteori dengan berbagai macam ilmu pengetahuan yang mengikat tubuh puisi tetapi kuresapi aliran yang pelan-pelan memenuhi pori-poriku, yang seolah sedang bermain hujan-hujanan, kata Afrilia Utami, sampai kita demam sebulan, kalau tak salah, atau kita juga menjadi pengingat puisi sang maestro Sapardi Joko Damono, Hujan bulan Juni. Ah akhirnya sekian panjang proses tubuh bahasa dalam nyawa tubuh penulisnya menjadikan tema hujan seolah hidup dan tak akan pernah ada mati-matinya, kuasa hujan sangat meluluh lantahkan kekuatan manusia untuk selalu mengingat yang telah dan pernah terjadi, hanya saja hujan selalu jadi perawan mengikat dirinya kepada para penyair, sehingga hujan juga bisa menetes dari mata yang mengingat hujan yang sebenarnya, dan jarak tempuh dikikis begitu saja, sampai tak ada jarak, antara kerinduan-kerinduan yang telah mengatur jarak, sampai semua tempat, sampai semua ruang kembali utuh dalam imajinasi hujan.

Bagaimana Umirah Ramata bercakap dengan hujan lewat puisinya yang ketika hujan mencintai kita, di sini aku juga merasakan kehangatan yang menetes pelan-pelan dari lembar daun pisang sampai tak ada jarak antara tubuh-tubuh yang awalnya berdiameter serta bersenti meter, sehingga seolah ada syukur yang tak terucapkan, atau diucapkan dengan sengat unik, karena kalau tidak hujan, mungkin kita akan sulit mengenang kehampaan, kebahagiaan, mungkin juga kalau tak ada hujan kita gagal menjadi manusia karena sentuhannya membuat kita rapuh.

Di bait pertamanya, Umirah menjelaskan semuanya dengan mengalir, dan ia menjadi hujan yang rintik-rintik menghanyutkan ke muara tempat segala kenangan itu lahir seperti bayi yang menangisi segala kekurangan bila tak ada orang lain yang memberikan kehangatan. Mari kita rasakan sesuatu yang pelan dan hampa di bait pertama puisi Umirah Ramata ini.

aku masih mencintai hujan
hujan di waktu yang sama seperti saat itu
saat semua kenangan tercipta  dari butiran mutiara langit
langit yang menyenjakan mimpi-mimpi kita

Ada pengakuan, masih mencintai hujan, oleh penulis yang karena hujan itu masih sama seperti hujan yang dulu saat penulis merasakan sesuatu, meski mungkin tidak sama keadaannya, tapi yang sama oleh karena hujan telah menciptakan dan mengembalikan kembali pada titik kenang, titik temu yang ditotok dalam ingatannya, yang tak lekang oleh keadaan, tak berubah karena benihnya telah tumbuh, dan serabutnya semakin menjalar kemanan-mana, sampai tubuh penulis itu seolah hujan itu sendiri. Di bait ini pun terasa sekali ada kehilangan yang terpendam di balik genangan-genangan hujan dan kembali juga rintiknya yang jatuh di genteng serasa mengetuknya kembali.  langit yang menyenjakan mimpi-mimpi kita.

Pada sebaris kalimat dalam puisi Umirah ini aku diam, aku tak ingin menangkap hujan di dalam pikiranku, tapi aku ingin bebas menjadi kenangan yang termaktub dengan perih yang diam-diam menghadirkan kengiluan pada rumah jiwaku. Ah, sepi sekali kata itu, ada yang terbungkus dengan sederhana seolah di balik kata menyenja itu adalah awalnya senja, senja berarti tempat yang ingin digambarkan oleh Umirah sebagai nuansa dan suasana perasaannya dengan bermain simbol itu Umirah mampu membuatku terperosok ke jurang-jurang kehampaan. Karena senja, seolah usia, waktu dan umur, dengan direkatkan ke kata mimpi-mimpi. Seolah ingin juga aku putuskan bahwa ada yang pupus pada hujan itu, hujan yang masih dicinta meski pernah menyenjakan mimpi-mimpi.

Dari bait pertama, jelajah imajinasiku tak mau berhenti dia mencari celah-celah kabar dari hujan. Ada kabar berita apa lagikah yang ingin disampaikan penulis dengan mengatakan aku masih mencintai hujan? Bait kedua aku hadirkan.

sayup suara itu membangunkanku dari sejenak rindu yang diam
diam menuturkan kalimat tanpa titik di bibirmu
bibir yang sejak tadi seolah membunuhku perlahan
perlahan tak pula lekang di telan masa

Benar sekali. Ternyata ada lanjutan gelombang pemikiran yang mengendap dan terlepas dengan ngilunya dalam puisi ini, sayup suara itu adalah rinai hujan yang mengantarkannya, dan rinai itu juga adalah hujan yang terbendung di dalam jiwa, iya malih rupa pada pembentukan dari wajah asal yang kongkrit dalam bentuk hujan yang nyata dan abstrak menjadi sayup suara hujan dalam jiwa penulis. Sayup kerinduan itu telah diam tapi mampu menuturkan kalimat pada titik di bibir seorang, kini hujan itu telah menjadi kata-kata seseorang, mari kita baca bersama ketika ada kalimat “ bibir yang sejak tadi seolah membunuhku, perlahan, perlahan tak pula lekang di telan masa”.

Yang unik adalah, puisi ini berbicara masa lalu, tapi kini ditarik sedemikian pendek, seolah kejadian masa lalu terjadi hari ini, saat ini, dan tetapi dia adalah kekuasaan hujan yang mengantarkannya sedemikian dekat, sedemikian tanpa jarak, sampai ada pentaukidan bahwa itu masa lampau dengan dimansuhnya kembali kejadian hari ini menjadi “tak pula lekang di telan masa lalu”.

hujan masih berdiri
berdiri di depan pintu dengan sebuah kado ungu
ungu yang melekat di bajumu sejak kemarin
kemarin saat kau memelukku erat dalam malam

Tak habis pikir kemampuan Umirah dalam menelanjangi hujan, merobeknya ke bentuk yang lain dan mengepang tubuh hujan di tubuh seseorang yang kini seolah hujan itu sendiri. Kuasa imajinasilah ini yang membuatku semakin khusyuk untuk apa hujan itu hadir dan kenapa dia seolah meranumkan segala kenangan menjadi mungil dan bayi kembali. Di bait inilah ujud hujan itu disulap oleh Umirah dengan manis sekali, dengan hujan masih berdiri di depan pintu dengan kado ungu sama dengan ketika kamu memelukku berkemeja ungu. Aih, Umirah sedang apa kamu sekarang ya? Hujan pertama seolah mengetuk pintu, ia ingin masuk ke dalam jiwa seseorang, dan ia memeluk seseorang itu sehingga absurd juga akhirnya ketika tubuh berlapis ungu itu adalah hujan yang dicintai Umirah. Aje Gile Umi.

Setelah tubuh hujan itu datang, puisi ini semakin mengalir menjadi bagian-bagian yang utuh lihatlah, akhirnya setelah hujan bertandang, ada keakraban dan perbincangan yang intim yang kembali dibangun oleh Umirah Ramata.

kita tak pernah bisa berdusta
berdusta pada mata yang enggan berkedip menatap wujudmu
wujudmu dalam diriku

Wah, ada obrolan hangat seolah bait bercerita sesuatu, kita tak pernah bisa berdusta, katanya. Pada mata yang enggan berkedip menatap wujudmu, wujudmu dalam diriku. Ah, betapa hujan itu telah menyatu setelah berkeping-keping menjadi bentuk-bentuk yang dibangun dalam imajinasinya Umirah Ramata. Dan benar sekali, ada kejujuran kita tak bisa berbohong atau mendustai kehadiran hujan yang selalu punya cara menyatu dan mampu menempelkan kenangan menjadi tubuh kita sendiri. Bagiku dalam puisi ini, aku sangat menikamati, meski mungkin untuk sebagian pembaca yang lain pengulangan kata-kata dari baris ke baris itu akan sedikit mengganggu, Cuma sementara ini aku sangat menikmatinya. Perkara ada pendapat yang lain, menjadi merdeka dalam ruang lainnya.

Dan, walhasil sampai juga pada titik di mana hujan juga akan reda, entah ada apakah ketika hujan akan reda itu? Apakah hujan akan kembali menghadirkan kisah-kisah yang sama memilukan. Lihatlah bagaimana Umirah menghentikan semuanya.

ketika hujan mencintai kita
kita bukanlah siapa-siapa

Demikianlah, Umirah Ramata menutup puisinya dengan sedikit gerakkan tangan ke langit dan menadah hujan-hujan akhir dalam dirinya, tubuhnya, tubuh hujan sendiri sambil ia berkata : ketika hujan mencintai kita, kita bukanlah siapa-siapa. Memilukan dan kita kembali berbicara hak miliknya, kita hanya menikmatinya saja tanpa bisa memilikinya, dan hanya kerinduan yang akan terus berdoa semoga hujan esok kembali, dan kau kembali menjadi hujan yang selalu membuatku rindu, kata Umirah pelan-pelan.

Mohon maaf akhirnya pada hujan dan pembaca, saya menikmati dengan cara saya tanpa kaidah apa-apa.


Ketika Hujan Mencintai Kita

aku masih mencintai hujan
hujan di waktu yang sama seperti saat itu
saat semua kenangan tercipta  dari butiran mutiara langit
langit yang menyenjakan mimpi-mimpi kita

sayup suara itu membangunkanku dari sejenak rindu yang diam
diam menuturkan kalimat tanpa titik di bibirmu
bibir yang sejak tadi seolah membunuhku perlahan
perlahan tak pula lekang di telan masa

hujan masih berdiri
berdiri di depan pintu dengan sebuah kado ungu
ungu yang melekat di bajumu sejak kemarin
kemarin saat kau memelukku erat dalam malam

kita tak pernah bisa berdusta
berdusta pada mata yang enggan berkedip menatap wujudmu
wujudmu dalam diriku

ketika hujan mencintai kita
kita bukanlah siapa-siapa

Taipie, 17 Juli 2014

DI BALIK HUJAN KAMPOENG JERAMI ADA DAUN-DAUN HITAM YANG BASAH

Oleh: Fendi Kachonk 

“Sebuah catatan proses agenda”
Peluncuran Antologi Hujan Kampoeng Jerami dan Daun-daun Hitam
Oleh: Fendi Kachonk

“Semalam ada berapa hal yang tak aku nikmati, sembari ingin memejamkan mata, ingin terlena dibuai mimpi. Tapi, tak bisa aku kalahkan berapa pikiranku. Agenda yang aku susun hari ini, dan berapa halnya lagi aku tak mengerti datang, timbul lalu tenggelam."

“Hey, Fen!” sapa Encing, seorang yang aku tak paham dari mana awalnya mengenali dan dekat sekali. Bekerja di Pos Lenteng, tempat aku ngutang duit, bahkan kadang kantor pos aku jadikan tempat aku singgah, istrihat, makan dan minum serta pernah aku jadikan kantor Pos Lenteng sebagai tempat pertemuan kecil dengan kawan-kawan kala tak menemukan tempat yang gratis saat ada acara ngumpul bareng semacam diskusi.

Jam, 6.23 WIB, aku sudah rapi, dengan berbagai daftar kegiatan hari ini. Tiba-tiba aku merasakan ada sedikit keharuan. Melihat tumpukan buku “ANTOLOGI HUJAN KAMPOENG JERAMI” lalu terbayang semua kejadian, seminggu yang lalu kami mengadakan tiga acara peluncuran buku,”Hujan Kampoeng Jerami dan Daun-Daun Hitam” kumpulan cerpen seorang kawan dari Lampung.

Perempuan itu kadang aku panggil Yuli Nugrahani, Kadang juga aku panggil Kakak, tapi tak pernah aku panggil dia dengan sebutan mba’ karena aku selalu menganggap kakak, dan kurindukan kakak laki-laki dalam kehidupanku. Maklum kakak dan adikku perempuan. Oleh berapa ingatanku, aku sempat tertegun. Wajah Umirah Ramata, adikku yang ada di Taiwan, Lia Amalia Sulaksmi, Teteh, begitu biasa aku sebut dia. Tangan-tangan mereka yang mampu dan sabar selama ini berproses dengan kami, membangun Kampoeng Jerami dengan semangat, naik turun emosi dan semua luapan kejadian yang sama pernah kami alami.

Lebih kurang dari setengah bulan, aku, Yuli, Lia, dan Umirah memutar dengan cepat proses Buku “ Hujan Kampoeng Jerami” itu proses yang sebelumnya berapa bulan sempat terkendala. Tetapi, semangat yang luar biasa dari mereka membuat buku ini siap. Kemarin tepatnya seminggu yang lalu, aku mengulang kenangan, pada hari : Jum’at, 5 September 2014 kami meluncurkan buku Hujan Kampoeng Jerami dan Daun-daun Hitam. Di tiga tempat itu ada pos kerja yang sangat aku banggakan dengan kegigihan anak muda yang luar biasa semangatnya, aku biasa memanggilnya dengan sebutan “alek” dalam bahasa madura yang bisa diartikan ke Indonesia dengan “adik”.

Ferli seorang adik yang mengawal pertemuan pembuka dan sangat takjub, agenda yang aku pikir akan sangat kecil tingkat kehadiran peserta malah sampai full dan tak kurang dari 50 orang jadi peserta. Tak kalah membanggakan fasilitator yang menyempatkan diri di mana kesibukannya sangat padat. K. Muhammad Muzammiel El-Muttaqien berkenan hadir dan membuat situasi hangat serta menyehatkan.

Oh, waktu begitu cepat, seminggu yang lalu itu telah berlalu, tinggal kenangan dan kumpulan semangat untuk merenda hari dengan berproses dan belajar terus masih kental di dalam ingatan. ingatan aku juga berputar pada suatu siang, setelah acara di laksamuda Sumenep kami evaluasi dengan sederhana bersama kawan-kawan, “Sukses acaramu, Fen”. Ujar kawan-kawan kepadaku. Dan pada saat itu, setelah berapa saat mengajak Yuli berputar di seputaran kota. Melihat keraton lebih dekat, dan lalu aku harus fokus pada waktu pertemuan kedua di Pondok Pesantren Putri “ Tarbiyatul Banat.” Di hape sudah ada berapa kali miskol, tepatnya telpon yang tak terangkat dari K. Ali Faruq. Sesampai di rumah, aku masih mencuri pandang pada wajah Yuli yang masih kerap tersenyum dan siratan letih mulai ada. Tapi, aku memang sangat kejam ketika sudah fokus. “Yuk, Yul. Kamu boleh mandi atau cuci muka sebentar lagi kita berangkat.” Kataku pada Yuli dan Yuli tak ada komentar hanya menuruti. Ih. Maaf ya, Yul. Bisikku dalam hati.

Lalu teringat pada kawanku yang sangat luar biasa dalam membantu aku selama ini. “Sigit, kamu di mana?” Bathinku. Aku SMS Moh Ghufron Cholid. Lalu mereka berdua segera sampai di rumah, Sigit selama ini begitu sangat peka mengambil peran-peran penting yang tak bisa aku lakukan sendiri. Karena memang ketika dalam ruangan, aku tak bisa ada di dua keadaan, moderator dan mengambil dokumentasi. Maka Sigit sangat sigap mengambil peran itu dan memainkannya dengan mulus. Temanku yang satu ini memang luar biasa, dia bisa memahami gerak dan kebutuhanku tanpa aku harus ngomong. Jiwa senimannya yang seorang pelukis, pemusik dan penulis mengasah kepekaannya selama ini. Terima kasih banyak cuy.

Siang itu, dengan rasa yang mulai letih, oleh sebab sebelum masuk pada kegiatan di Sumenep, kami berlima, aku, Yuli, Gufron, Jailani, dan Ferli adikku ini masih juga berdiskusi di Asta Tinggi, membaca puisi dan cerpen dilanjutkan ke Taman Bunga Sumenep dan tentu kami ngopi bareng demi merayakan satu keindahan dengan cara sederhana, lesehan di Taman Bunga.

 “K. Faizi apa bisa rawuh, Fen?” Tanya K. Ali Faruq. Dan, aku mulai kebingungan ada yang lepas dari ingatan untuk mengkomfirmasi ulang ke K. Faizi. Beliau aku sms, aku telpon dan belum ada jawaban. Tapi, selang berapa menit kemudian. “saya sudah siap-siap mau berangkat.” Sms di hape jadul saya memberiku telaga yang bening oleh konfirmasi K. Faizi tersebut.

Aku berjudi dengan waktu, sesegera mungkin acara segera kami mulai, Nyai Ulfah sebagai MC mulai mengatur acara dan memperkenalkan Yuli Nugrahani, Ufron dan Sigit telah bertindak sebagai penyokong keberhasilan acara di sana. Sampai pada sesi acara diskusi dan bedah buku, “Antologi Hujan Kampoeng Jerami dan Daun-daun hitam.” Aku memandu. Sambil menunggu kedatangan K. Faizi, aku dan Yuli memberi semangat kepada santri perempuan untuk menulis, menulis apapun, mulai dari sekarang dan jangan ditunda, itu inti dari yang kami sampaikan berdua.

Wow, mataku dan Yuli tak berkedip melihat K. Ali Faruq membacakan puisinya dan sangat luar biasa, aliran energi di ruangan itu jadi hangat sekali. Aku merasakan ada di tempat yang membakar seluruh badanku. Yah, oleh semangat yang buncah. Sekitar 15-20 menit K. Faizi sudah bergabung bersama kami. Beliau dengan lembut, serta humor yang manis memberikan suasana yang luar biasa jadi gurih dan renyah. Waktu terus berlalu. Tak terasa sudah mau magrib. Akhirnya usai sudah agenda. Kami akhirnya berpamitan, terlebih dahulu aku berterima kasih kepada K. Faizi dan akhirnya beliau pamit undur diri lebih awal karena persoalan pesantren yang sudah menunggu beliau. Di Tarbiyatul Banat inilah, dulu aku mengenal K. Faizi,  sewaktu beliau jadi Juri baca Puisi Tingkat Madura dan kebetulan saya jadi di antara pemenangnya. Pada waktu itu, K. Mursyid begitu aktif dan hatiku kembali berbisik. Mari kita gairahkan kembali K. Mursyid. Serupa doa aku lepas dengan memandang langit.

Moncek sudah diselimuti malam, sampai juga di rumahku, Taman Baca Arena Pon Nyonar, taman baca sekaligus tempat aku menulis dan membaca. Yuli sudah aku lihat kuyu, hanya binar matanya masih berbicara, tepatnya, sok kuat dan masih bergairah. Sedang geraknya mulai lamban. Aku meminta Sigit menemaninya. Sedang aku pura-pura menemani Surga hanya untuk sebentar memberi lelap pada mataku. Ah, akhirnya kami dapat telpon dari adikku. Hasmidi Ustad ketua Sanggar Rakyat Merdeka dulu kami berproses bersama di sana. “Kak, Kawan-kawan KKN INSTIKA putri sudah ngumpul. Mariklah mohon dicepatkan rodanya.” Aku tersenyum dengan bujukan manis adikku yang kemarin jadi lulusan terbaik di sebuah perguruan tinggi di kotaku ini. Dan, mereka paham, dalam keletihan mereka tak akan mendesakku, kecuali membujukku dengan lembut. Aih. Ah. Lebay kau, Fen. Biarin. Hehe.

Bukan karena ada Yuli di motorku. Tapi, memang dalam setiap segala suasana, aku biasa menyanyi waktu naik motor, waktu apapun, apalagi saat letih dan capek. Aku biasa menghibur diriku. Inilah cara paling hemat untuk kembali melonggarkan syaraf-syaraf otakku. Dan memang luar biasa, berasa semangat, berasa muda dan lagi, dan yang paling hebat jarak tempuh tak terasakan sama sekali. Sedang yang aku bonceng mungkin telah hidup dengan dunianya. Melamun dan bisa jadi sedang bilang, “Ne, anak kok gila ya?”

Maka, sampai pada tempat itu, tepatnya acara ketiga kami sangat menarik dan sangat tak kalah unik dan menggemaskannya sama dengan dua acara sebelumnya. Yuli jadi magnit, dan pembicaraan mulai soal tulis menulis sama seperti jarum jam yang terus berputar. Bergantian. Hasmidi, Ufron dan Mahasiswi membacakan Kumpulan Puisi Hujan Kampoeng Jerami dan Yuli Membacakan satu cerpennya dari kumpulan cerpen Daun-daun Hitam. Sampai akhirnya Yuli menutupnya dengan pantun yang tak kalah legitnya.

Kami pulang, Jailani, Ufron, Sigit, aku dan Yuli sampai juga di rumahku. Yuli bertanya, “Fen, kita berangkat jam berapa ke Surabaya? Yang pasti saya harus sampai di Kediri sekitar jam 8 atau paling telat jam 9 karena aku harus meminta sarapan kesukaanku pada ibu. “Jam 11.30 “. Jawabku. “Oke” kata yuli. “Kalau begitu aku aktifin alarmku ya?”. Tapi, setelah jam 11 malam ke setengah jam selanjutnya tak ada tanda Yuli bangun, dan aku paham pasti dia capek kataku. Dan aku akan memenuhi undangan kawan-kawan di Surabaya untuk monolog "suara-suara hampa" di Dewan Kesenian Surabaya.

Sampai jam 12 malam aku gugah. “Kak, Kak. Jadi pulang malam ini” suaranya parau. “Iya,” katanya. Dia pun keluar dari kamar dengan masih melipat wajah dengan bentuk persegi empat. Aku tersenyum. Di hatiku membantin, kau tak sempat makan nasi jagung, sate madura, dan legen. Tapi, aku juga merasakan keletihan, bagiku. Dan Yuli, mengingat masa muda waktu masih disebut aktifis jalanan, kami akhirnya bergerak ke Prenduan. Yuli dan aku. Sigit dan Ufron melaju dan menerebas dingin desa-desa kami.

“Uiy, Fen!” Encing mengagetkan aku. “Melamun saja dari tadi” lanjutnya dan ternyata aku melamun di kantor Pos Lenteng. "Eh, Cing, duitku tak cukup neh, aku hanya ada 150 ribu. Ngutang dulu boleh gak?” kataku pada Encing si Pegawai Pos itu.

“Boleh, apa yang tidak untukmu, Fen.”

Aku tersenyum dan semua mengalir bersama dengan waktu, proses kami baru mulai dari buku Hujan Kampoeng Jerami membuat kami sadar. Bahwa hidup akan selalu terus berlalu, dan aku bagian orang yang tak mau diam tanpa melakukan sesuatu. Aku tak mau menunggu, bergerak dan belajar bersama, tersenyum dan bergembira. Inilah aku. Inilah kami yang sangat bahagia dengan proses sederhana kami. Mari terus menulis. Mari saling mendukung. Tak semudah membalikkan telapak tangan, semuanya butuh proses. Dan kuatlah wahai seluruh teman-temanku.

Demikian, terima kasih untuk semua orang yang telah mendukung Kampoeng Jerami.