Oleh : Fendi Kachonk
Sebelum
saya masuk membaca puisi Yuli Nugrahani, saya jadi teringat beberapa
hal dari kejadian kemarin, kembali saya membaca buku-buku kritik sastra,
dan apa itu esai, fungsinya apa dan kenapa? Nah saya mulai menemukan
titik kunci kalau esai dalam kamus bahasa Indonesia adalah opini penulis
pada subyek, sedang opini dalam bahasa Indonesia adalah pendapat,
sederhananya esai adalah pendapat penulis (baca: penulis esai itu
sendiri) bukan pendapat penulis puisi, misalnya kita sedang membaca
puisi seseorang. Hal ini saya hadirkan adalah karena minat belajar pada
hal yang obyektif dari kata esai itu sendiri sedangkan esai itu sendiri
lebih bermain dari subyektif merunut dari kamus dan arti kata sebuah
esai yang artinya adalah opini penulis.
Dalam proses ini
saya lalu mencoba belajar lagi membaca tentu dengan pengalaman saya dan
keterbatasan saya, oleh tak harus esais memahami semua seluk beluk
tulisan, ini juga ada dalam rijit penjelasan wikipedia hanya rabaan
sekilas, saya sudah cek kesana kemari dan dalam esai itu sendiri tak
melulu harus mengahdirkan kritik, ada berapa cabangnya juga, ada esai
kritik, ada esai apresiatif, nah pada bagian ini, agar tidak mentok pada
ranah baca yang idealis terhadap penggambaran esai itu hal yang
menakutkan dan mesti sama dengan pembacaan orang lain maka menjadi
sangat penting ada pelurusan hal ini, karena semesta ini juga sangat
menyimpan ke ambiguitasannya sendiri-sendiri. Apa yang ingin saya
sampaikan, ruang ini adalah ruang baca saya, karena kembali berbenturan
pada pemahaman saya, esais juga pembaca, apa yang dibaca adalah subyek,
subyek hari ini apa? Jelas saya kembali menghadirkan puisi Yuli
Nugrahani.
Siapa Yuli Nugrahani, saya juga tak paham betul
siapa Yuli Nugrahani, memang ada cabang pengetahuannya juga, kalau
membaca karya bisa melihat dari latar belakang pengarangnya. Saya
mencoba bertarung dengan keinginan saya, untuk menghadirkan keutuhan
agar dari hal yang saya baca mungkin ada manfaatnya juga bagi sebagian
orang. Menjadi hal yang wajar ketika alam demokrasi yang kita diami
adalah menjaga dan melestarikan semua orang untuk bebas berpendapat
karena sepertinya itu juga diatur oleh undang-undang, pendapat seperti
apa, dan kejujuran seperti apa, maka ketika kita tarik benang merahnya
kembali kepada pengertian di atas sebuah esai adalah opini, opini adalah
pendapat penulis esai tersebut kepada subyek. Memang sepertinya masih
berlari-lari di tempat tulisan ini. Tapi ini penting menurut hematku
yang tak boros-boros.
Waduh, mesti terpotong sejenak, beli rokok dulu.
Halaman 40 buku pembatas buku, dari puisi Yuli Nugrahani ke 24. Judulnya
NAMA YANG TERSEMBUNYI
Sesekali trengguli adalah si pemahat
mengetam aksara pada serat hujan
Di dalamnya ada nama, sebuah nama
tercampur dalam cecap hingga darah
melulu hanya namanya, sebuah nama
tak berani aku gambar maupun ucap.
Semesta merapikannya dalam desah
tersembunyi tertahan keagungan
terlipat di pokok kecil ragi roti
ditaburkan diam-diam, nanti.
Tapi aku serupa asap saja tanpanya
melayang cemburu merindukan perjumpaan
jadi kadang kutinggalkan raga, menyerta
gerak persembunyiannya di mata pahat.
Kini aku paham muasal Gibran dan Ziadah
rela saling berpaling wajah, tak menyentuh
tak bertubuh, dan membiarkan ruh saja,
ruh saja mengembarai padang mahsyar.
Pada bentang jarak raga tercipta sketsa
meradukan kata, mengabadikan rasa.
2014
Pada
bagian tulisan saya pertama kali, musim trengguli dari puisi Yuli
Nugrahani telah saya baca, meski mungkin saya menjadi tertarik membaca
kembali serta mencoba mengaitkan, bagian pertama Yuli memberikan suasana
yang terbangun rapi, sesuatu yang ia coba sembunyikan dengan musim
trengguli. Ada rasa berdosa dalam diri saya, ketika membawa puisi musim
trengguli itu tidak utuh dengan puisi ini, karena menurut saya juga
(bukan menurut orang lain) ada kaitan yang sangat kuat sekali mengalun
di ruang-ruang kehampaan, kesunyian dan kesendirian di ruang paling
hening. Musim trengguli pertama saya membacanya Yuli memiliki kemampuan
mengalirkan sesuatu yang tersembunyi ke ruang dan daya lingkup cinta
lingkungan, meski memang suasananya sangat romantis dan manis. Nah! Ada
yang saya ambil pelajaran kembali, bagi saya kemampuan Yuli dalam
memainkan tema dan memilih diksi mampu melahirkan ke ambiguan yang mampu
memberi ruang pembaca untuk membaca serta menangkap pesan dan kesan
oleh bangunan yang sesuai dan atau tulisan itu dibiarkan menemui
pembacanya lewat nasib dan takdirnya.
Sesekali trengguli adalah si pemahat
mengetam aksara pada serat hujan
Inilah
bait pertama yang menurut saya memiliki kaitan dan bangunan yang multi
tafsir dari apa yang saya baca pada bagian awalnya, di puisi berjudul
musim trengguli, kalau tak salah ingat ada bait ini dalam penutupnya, di sana, kita bercengkerama dan
beberapa puisi Yuli Nugrahani mungkin kalau tak salah, tema trengguli
ini hadir mewarnai puisi Yuli. Apa yang saya ingin hadirkan dari ketika
saya membaca puisi Yuli Nugrahani ini adalah penempatan kata “SI” di
bait pertama ini membuat saya tertarik dengan hanya kata si, si itu
siapakah? Yang pasti dia bukan Tuhan, tetapi ada yang ingin disampaikan
secara samar oleh si itu, berari si itu alam, sepertinya begitu, bukan
yang selain Tuhan kita sebut alam, nah “si” dalam puisi Yuli ini kita
coba cari, dia mungkin waktu atau musim, tapi saya lebih berani
merekatkan “si” itu sebagai manusia, orang, nah ada yang unik dari “si”
itu ketika saya mengatakan “si” itu adalah orang, seolah musim dan waktu
menjadi penegas dia bukan orang, dengan kata “si” saya mengerutkan
kening, mencoba membangun subyektifitas saya ini ke hal yang lebih masuk
akal, dan saya menyimpulkan, bagaimana kalau “si” itu adalang “sang”
inilah permainan unik dari pemilihan kata per kata, sambung menyambung
membangun dan memberikan ruang untuk menafsirkannya sendiri-sendiri,
inikah ambiguitas dari hanya kata “si” itu? Apa akan marah ketika si itu
adalah fendi, atau si itu yuli, atau bisa jadi si itulah hewan.
Di dalamnya ada nama, sebuah nama
tercampur dalam cecap hingga darah
melulu hanya namanya, sebuah nama
tak berani aku gambar maupun ucap.
Mari
simak lanjutan dari bait pertama ke bait kedua dari Yuli Nugrahani ini,
dia tak menjelaskan apa-apa. Hanya sebuah nama, nama yang menjadi darah
dan memenuhi seluruh tubuh pori-pori, nama yang memompa jantung, nama
yang kuasa menghadirkan segala kemisterian dari “si” di atas, nama yang
membangun tafsirnya, karena memang terlihat ada yang sengaja
disembunyikan dan kita sangat memiliki ruang yang sangat luas untuk
mendekatkan siapa “si” dalam puisi Yuli ini. Bait kedua pun memiliki dan
menambah kemisterian tersebut, si itu nama kata puisi yuli yang
berdialog denganku, aku bertanya siapa si itu, puisi yuli menjawab, itu
hanya nama, nama yang tak pernah aku lupa, nama yang membuat segala
suasana, si itu nama, katanya. Aku diam karena teks ini membiarkan aku
bebas menafsirkan si itu adalah nama, nama itu adalah terserah pembaca.
Saya
benar-benar berdialog dengan puisi Yuli ini, karena seperti yang saya
baca dari esai bagian pertama kalau ada kata penutupnya “di sana, kita bercengkerama” membuat
saya kembali berdialog dan membangun pertanyaan, berilah aku kejelasan
siapa nama tersebut yang kamu sebut sebagai nama? Dan di bait
selanjutnya ada jawaban.
Semesta merapikannya dalam desah
tersembunyi tertahan keagungan
terlipat di pokok kecil ragi roti
ditaburkan diam-diam, nanti.
Aduh,
jawaban dari pertanyaanku semakin berbuntut pada kemisteriusan si dan
nama tersebut dan memang hal yang terbangun ini menjadi perhatian
tersendiri bagi seorang Yuli menyimpan rapi siapa “si” yang beralih rupa
pada “nama” dan nama itu katanya dirapikan oleh semesta, dan kata rapi
pun saya rekatkan dirahasiakan sedemikian rapi oleh semesta, oleh waktu
dan sangat tersembunyi keagungannya. Sangat indah ketika yuli memberi
pengandaian, atau majas yang manis terlipat di pokok kecil ragi roti, di
taburkan diam-diam, nanti. Nah, helo! Kataku pada diriku tersenyum
melihat baris manis ini mampu menyusun suasananya. Dia tidak lebay kok.
Ah bagi sebagian orang seh, karena mungkin kelembutan juga di jaman yang
keras ini sudah kehilangan kelembutannya, bila ada yang mengatakan
baris itu lebay. Kenapa kamu begitu memulyakan sebuah nama itu? Kataku
pada teks puisi Yuli, dan ini jawabannya.
Tapi aku serupa asap saja tanpanya
melayang cemburu merindukan perjumpaan
jadi kadang kutinggalkan raga, menyerta
gerak persembunyiannya di mata pahat.
Lihat
perumpaan asap oleh aku lirik andai tak ada si dari sebuah nama
tersebut. Ia akan melayang cemburu merindukan perjumpaan, jadi kadang
kata aku lirik sampai meninggalkan raga, menyerta gerak persembunyiannya
di mata pahat. Ini juga seperti dongeng dan laila dan manjun atau
legenda-legenda yang lainnya, nah di puisi ini sebenarnya ada
kisah-kisah yang sublim yang bebas kita tafsirkan kemana pembaca
menjangkaunya. Jelas saya sedang membaca dan menuliskan dari apa yang
saya rasa ini lalu saya tuliskan sebagai temuan pribadiku dan siapa tahu
berguna pada teman-teman yang lain. Dan cobalah masuki sepenuhnya
imajinasi menjadi asap itu. Betapa tubuh dan raga hilang, dan
pengembaraan itu tak berbentuk tapi kita serasa terbang kemana tempat
persembunyiannya.
Kini aku paham muasal Gibran dan Ziadah
rela saling berpaling wajah, tak menyentuh
tak bertubuh, dan membiarkan ruh saja,
ruh saja mengembarai padang mahsyar.
Ini
sudah menunggu satu tahap lagi, dari bangunan puisi yuli untuk sekedar
menceritakan apa dan bagaimana dan seperti apa sosok “si” dalam “sebuah
nama” yang misterius itu. Tapi kata aku lirik setelah melepas kata asap
tadi dia menyadari, ada hal pelajaran masa lalu muasalnya dari Gibran
dan Ziadah, rela saling berpaling wajah, tak menyentuh, tak bertubuh,
dan membiarkan ruh saja, ini penegas, hubungan aku lirik dengan “si dari
sebuah nama” ada yang suci dari sebuah rasa yang dia diam dan nyaman di
singgasana hatinya, dan nanti hanya ruh saja mengembarai padang
mahsyar.
Di kata ruh saja mengembarai padang mahsyar ini
rupanya Yuli telah menjangkau bahasa tuhan dengan bersembunyi dari
sebuah nama tersebut, dari “si” ia menyelami kesucian, ah sangat memukau
dan aku semangat membacanya, seperti baca novel-novel besar dari
karya-karya dunia yang kini dihadirkan ke dalam bentuk puisi dengan aku
lirik serta pengalaman dan keluasaan berfikir penulisnya.
Pada bentang jarak raga tercipta sketsa
meradukan kata, mengabadikan rasa.
Inilah
kalimat penutup yang mengharukan, pada bentang jarak raga tercipta
sketsa meradukan kata, mengabdikan rasa. Dan akhirnya adalah satu rasa
pengabadian yang luhur oleh aku lirik pada satu nama, dan saya simpulkan
pembacaan ini hanya oleh keterbatasan saya sehingga apapun misal ada
yang kurang berkenan silahkan ruang membaca di ruang yang lain dibuka
untuk menutupi segala kemungkinan-kemungkinan yang ada. Sebelum saya
akhiri saya menjadi teringat puisi saya sendiri yang saya tulis pada
tahun 2012 dengan judul.
“ Sebuah Nama”
Menulis namamu
Satu-satunya yang aku gemari
Matamu yang seperti purnama
Dan lesung pipit yang merona
Laksana lembaran buku
Penuh makna
Selalu ingin kubaca
Namamu
Dalam ejaan cinta yang sempurna
Bagi saya, tak ada hubungannya dengan esai di atas, hanya numpang narsis. Salam.
Moncek Tengah, 060614