KARYA
YULI NUGRAHANI
Sepenggal
Catatan Penikmat, oleh: Fendi Kachonk
Salah Satu Cabang Cemara Kumcer Yuli Nugrahani
Aku sendiri tidak akan tahan, berdiri
atau menunggu. Bahkan mungkin akan banyak gugatan bila membaca cerpen Yuli
Nugrahani ini. Ada rasa sebel, geram yang pelan-pelan melahirkan pemberontakan.
Entahlah! Aku tak habis pikir bila aku adalah pelaku. Mungkin memang akan terus
diiris-iris oleh kesunyian itu. Bagaimana tidak? Aku membayangkan tiga tahun
tidak bertemu dengan seseorang yang bisa setiap detik aku ingat, senyumnya,
bahkan setiap hal yang dibencipun darinya akan jadi tempat untuk pulangnya rindu ke dalam dada.
Suasananya terbangun dengan manis,
romansa ruangan yang akrab dan kita pernah ada dalam ruangan tersebut. Oleh
karena itu judul cerpen Yuli Nugrahani di Bukunya “salah satu cabang cemara”
yang paling saya sukai begitu hidup, “KAFE”. Dengan judul kafe ini saja, aku
sendiri telah ditarik ke dalam suasananya. Tak perlu lagi banyak susunan kata
untuk membangun suasananya. Bagian dari tema dan judul ini begitu akrab begitu
dekat diri sendiri. Suasana kafe, musik yang mengalun pelan, kopi entah juga
makanan yang seoalah jadi teman yang baik.
Selanjutnya, aku ingin menceritakan
pengalamanku pribadi ketika cerpen “Kafe” karya Yuli Nugrahani ini dibacakan
dengan penuh perasaan oleh seorang teman dari Forum Belajar Sastra (FBS) dan
Komunitas Kampoeng Jerami waktu peluncuran dua buku terbitan Komunitas Kampoeng
Jerami. Fia, panggilan akrab temanku membaca dengan perasaannya. Dan, ah seisi
forum begitu terhantar pada keheningan dan cara membacanya Fia cukup ritmis,
mengaluri ruang dan aku sendiri merasakan haru yang luar biasa. Buku itu aku
berikan ke Fia pada waktu itu aku memintanya memilih sendiri cerpen yang
disukai. Sebentar saja Fia langsung diam di pojok ruang dan aku melupakannya.
Sampai pada detik-detik ia akan membacakan cerpen ini, Fia mendekatiku. “Kak,
aku suka baca cerpen berjudul “Kafe” ini, jadi aku akan baca ini”
Mungkin, karena berbagai alasan, Kafe
cerpen Karya Yuli Nugrahani nuasanya sangat dingin, sangat kental sekali
suasananya, dingin itu mungkin bagian yang dimaksudkan sebagai bangunan tematik
dari Cerpen “Kafe” yang menceritakan dua orang yang lama tak bertemu dan
perpisahannya juga tanpa ada alasan: tiba-tiba hilang, tiba-tiba kembali
setelah tiga tahun lamanya. Seperti penggalan cerita di bawah ini:
Tiga tahun berlalu tanpa kuketahui
penyebab hilangnya komunikasiku dengan Nad. Dua hal yang kupikirkan : Nad sudah
mati atau Nad sangat membenciku. Dua alasan yang sama-sama tak bisa kuterima.
Tanpa penjelasan dan permintaan maaf seperlunya, kehadiran Nad menyentak
perasaanku. Seperti jin keluar dari botolnya, Nad datang begitu saja setelah
menyampaikan pesan singkat lewat ponsel beberapa hari lalu :
Pesan pertama, “Aku ingin ketemu.”
Pesan kedua,”Aku rindu. Andai kau
membolehkannya.”
Pesan ketiga,”Six Cafe, 12 Okt jam 19. ”
Usai aku membaca tiga pesan berturutan itu
aku langsung meneleponnya, tapi tak bersaut. SMS balasanku tidak dijawab. Jadi
aku datang pada hari dan jam sesuai pesannya, dan memutuskan menikmati
kegelisahan-kegelisahan yang muncul karena keputusan itu. Mungkin itu hanya SMS
seorang penipu, tapi aku tak boleh kehilangan harapan untuk kembali berjumpa
Nad. Selama tiga tahun aku sudah melakukan segala upaya tanpa hasil untuk
menemuinya kembali. Dan kini harapan itu menyeruak seperti
sulur-sulur sirih yang tumbuh di antara batu.
Sungguh, Nad benar-benar datang pada
tempat, hari dan jam yang dia bilang.
“Aku mendapat kecelakaan malam itu.
Kesalahpahaman yang berbuntut panjang. Aku tidak puny
kesalahan apa pun kecuali tidak
menghubungimu.”
Nah, begitulah, sepenggal
kisah tentang dua orang yang lama saling berpisah tanpa alasan dalam cerpen ini.
Meski hakikatnya tak ada yang tanpa sebab dan tanpa alasan. Tapi, kata tanpa
alasan itu aku maksudkan adalah ketika ruang komunikasi yang lama terbangun dan
tiba-tiba hilang, tiba-tiba datang. Menjadi menarik untuk aku masuki sebagai
kejelian dari cara dan teknik menulisnya Yuli Nugrahani di buku “salah satu
cabang cemara” kumpulan cerpennya dan salah satu yang paling aku suka adalah
“kafe”. Sebab, alasanku begitu banyak cerpen yang semua memainkan peran-peran
keluar, tapi dalam cerpen-cerpennya Yuli lebih berperan ke dalam jiwa. Yang aku
akan pertegas sebagai sesuatu kekayaan dalam cerpen-cerpennya Yuli Nugrahani
lebih menajamkan pada konflik bathin.
Aku mesti
menganggap perlu membicarakan ketika buku ini diluncurkan bersamaan dengan
pertemuan rutinnya “Forum Belajar Sastra” Komunitas Kampoeng Jerami ketika
tiba-tiba Fia begitu menikmati, begitu memahami, mungkin aku mendapatkan Fia
selaku pembaca sangat menikmati bahkan aku melihat Fia seolah-seolah membicarakan
dirinya sendiri. Iya, Fia adalah pelaku di cerpen itu dan walhasil alunan gitar
yang mengiringi pembacaan cerpen itu serasa sangat serasi dan melahirkan
kedinginan sebagaimana dinginnya perbincangan seorang “aku dan Nad” dalam
cerpen kafe karya Yuli Nugrahani.
Nad pasti melihat rasa tidak percaya yang
terpancar dari mataku. Dia tidak berusaha memahami dan menjawab penasaran itu.
Dia mengabaikan perasaanku sama sekali (atau pura-pura mengabaikan?) walau
matanya tak putus melihatku sejak mata kami bertemu, sejak tubuhnya muncul di
depan pintu kafe beberapa menit yang lalu. Dia berbicara dengan nada biasa
seolah kami baru saja terpisah selama beberapa jam. Seolah sebuah kecelakaan
yang menimpanya entah apapun seperti tergambar dalam kalimatnya, hanyalah peristiwa biasa saja.
Nad menyalamiku (masih dengan menatapku)
lalu duduk dan mulai mengulang kisah-kisah yang pernah kami alami sebelum tiga
tahun perpisahan. Kisah yang aku tahu karena memang kami terlibat bersama-sama
di dalamnya. Aku tak perlu mendengarnya sungguh-sungguh karena aku juga masih
mengingatnya.
Jadi aku memperhatikan wajahnya yang
bergerak, berkerinyut mengikuti gerak mulutnya dan segala ekspresi yang
ditampilkannya. (Suaranya hanya terpotong sebentar oleh datangnya pelayan yang
mengantar pesanan kami.) Dan setiap detil baru yang kudapatkan pada wajahnya,
membuat sebulir air mata matang di ujung mataku. (Dia tidak melihatnya, atau
pura-pura tidak melihatnya.)
Dari penggalan di atas, betapa sangat
kuatnya. Mungkin ini yang dianggap kepura-puraan yang sungguh amat menyiksa.
Rindu ddan banyaknya pertanyaan tapi semua tak bisa diungkapkan secara harfiah. Bagi
“Aku dan Nad” dalam cerpen “Kafe” karya Yuli Nugrahani seoalah pertemuan bahasa
itu telah larung dalam gerak, dalam tatapan, dalam sesekali obrolan yang
sebenarnya tidak mengarah pada tujuan yang sesungguhnya. Atau bisa dibilang
“Konflik Bathin” ini akan jadi “karekteristik seorang Yuli Nugrahani” dalam
cerpen-cerpennya.
Entahlah! Keunikan dan ketajaman
memainkan konflik bathin ini, aku kira patut dapat apresiasi. Kenapa? Seorang
penulis bisa sangat mampu menggambarkan dengan mudah dalam bentuk tulisan, bisa
saja kata-katanya lepas dan sangat sarkas. Tapi, tidak dalam cerpen “Kafe” ini.
Dalam cerpen ini: dingin dan pertempuran bathin yang sama-sama ditutup-tutupi
mampu menjadi satu kekuatan tersendiri dalam menarik perhatian pembacanya.
Jadi, pada suatu jeda, tanpa sadar (atau
mungkin justru itu satu-satunya keingintahuanku saat ingin bertemu dengannya) aku
bertanya dengan nada rendah, “Nad, mengapa kau tak menghubungiku selama ini?” Ada
nada terburu-buru dalam suaraku.
Nad terdiam, menyentuh jemari tangan
kiriku, menekannya beberapa kali seperti sebuah pijitan refleksi. Kukunya
nyaris menyakitiku tapi aku tak peduli. Aku senang disentuh olehnya entah
dengan cara apapun. Bahkan aku lebih suka bila dia mencubitku, menamparku atau
menyakitiku dengan tubuhnya asalkan dia lakukan dengan nyata, karena saat
itulah aku tahu bahwa aku sedang bersamanya.
Dia mencondongkan tubuhnya.
“Tiga tahun aku tak bisa kemana-mana
bahkan untuk menemuimu. Kini aku bebas, walau sebentar, aku bebas. Tapi setelah
ini aku masih harus melakukan beberapa pekerjaan yang tertunda. Aku rindu
padamu,
jadi aku menemuimu. Percayalah.”
Dia melihat jam di dinding kafe dengan
ujung mata.
“Kau akan pergi lagi.” Suaraku terdengar
aneh mengambang pada ruang di antara kami.
“Tapi percayalah. Aku sama sekali tidak
bersalah. Aku masuk dalam situasi ini karena kesalahan. Kesalahpahaman.
Kecelakaan. Tepatnya kau bisa sebut sebagai kecelakaan.”
Akhirnya, ketajaman konflik bathin
itu mesti dipindah-pindah dari obrolan yang satu ke obrolan yang lain.
Sampai, ketika lama waktu bergulir dan seolah ini disengaja untuk menghabiskan
pertemuan hanya untuk hal-hal yang lain. Atau semacam itulah ketika komunikasi
berjeda sekian tahun, butuh cara lagi untuk saling mengenal, saling
(pura-pura) menjadi orang yang asing. Padahal senyatanya, kerinduan dan sekian
banyak pertanyaan tak akan tuntas hanya sekali bertemu di Kafe itu. Namun,
bagi, “aku dan Nad” dalam cerpen “Kafe” ini seolah saling memerankan
kepribadian yang tak mudah untuk terus terang, tak mudah blak-blakan. Dan dari
sinilah konflik sejatinya lahir jadi konflik bathin di cerpen “kafe” ini.
Dari awal sampai akhir cerpen ini
sangat kuat memainkan konflik bathinnya. Tetapi, di samping keunikan “konflik
bathin dan dingin” di Kafe, Yuli Nugrahani juga memiliki ciri khas yang lainnya.
Semisal ia tak menentukan ending yang jelas. Dan, itu juga diperjelas oleh
pengantarnya dalam buku “salah satu cabang cemara”.
Kafe bercerita tentang
seorang ‘aku’ yang berada dalam penantian dan perpisahan. Si ‘aku’ sangat
merindukan Nad, namun Nad bukan orang yang mudah untuk ditunggu. Keinginan untuk
bertemu Nad menjadi batu sandungan bagi langkah si ‘aku’. Menjadi sumber
kegelisahan sekaligus menjadi bahan pengharapan. Pada suatu waktu nanti, batu
ini mungkin akan benar-benar melukai atau mungkin malah menjadi batu pijakan
bagi lompatan hidup ‘aku’. Sekejap perjumpaan mereka telah menjadi sarana untuk mengambil keputusan
di masa mendatang, jika diperlukan.
Saya tidak menentukan akhir
yang pasti dan jelas dalam cerpen ini. Dengan cara begitu cerpen ini menjadi
sindiran bagi saya sendiri yang sering kali menciptakan ‘batu-batu’ dari
penantian dan perpisahan yang
muncul dalam
hidup. Saya yakin bahwa saya mendapatkan hikmahnya ketika saya sudah
menuliskan Kafe dengan sadar.
Demikian saya berharap pembaca bisa mengambil suatu pengalaman saat membaca
cerpen ini.
Aku
mengutip dari tulisan pengantarnya Yuli Nugrahani. Meski menurutku itu tak
begitu penting. Sebab, pada tulisan-tulisannya memang Yuli Nugrahani tak ingin
menutup dari segala alur ceritanya. Yuli menurutku juga tak ingin membunuh pembaca di tulisannya. Tapi, tulisannya mengajak pembaca untuk menentukan dan memilih sendiri akhir dari
segala alur atau konflik dalam cerpen-cerpennya. Bukankah itu juga bisa kita
baca bersama di karya-karya Borges. Pembaca dibiarkan merdeka menafsir,
menghentikan atau melanjutkan segala alur dalam cerpen-cerpen tersebut. Aku pun
ingin menuntaskan segala pengalamanku dan keterlibatanku dari semenjak membaca
cerpen “kafe” ini.
“Bayar kopiku, ya. Jika nanti kita ketemu,
aku akan menggantinya. Jika tidak, kau harus belajar mengiklaskannya.”
Nad menghabiskan kopi yang tersisa di
cangkirnya, lalu meletakkan kembali cangkir itu di pinggir meja dekat siku
kiriku.
“Aku harus pergi. Kau tak perlu memasukkan
hal-hal ini dalam hati.”
Nad menggeser kursinya dengan tergesa.
Memakai topinya (sejak kapan Nad suka pakai topi?) Lalu sebelum aku sempat
mengatakan apapun dia sudah menyelinap di antara pintu yang kebetulan terbuka
karena sepasang anak muda sedang memasuki kafe. Dia mendapat sedikit gerutu
dari anak muda yang terkena ayunan tangannya, tapi dia lurus melangkah keluar,
tidak menoleh lagi.
Nad kembali menghilang. Dia tidak
meninggalkan apapun untuk kukenang, bahkan tidak memberiku sebuah cerita yang
masuk akal sebagai tanda bahwa dia pernah mengunjungiku di awal tahun ini, atau
bahkan tidak ada sekedar lambaian tangan.
Aku menggeser cangkirnya hingga
berdampingan dengan cangkir kopiku yang masih penuh. Mungkin ada baiknya aku
mengira bahwa dia sudah mati dan mulai mencari cara untuk melupakannya. Aku
mulai tidak tahan dengan ketidakjelasan yang dia munculkan.
Ruang kosong dalam hatiku mulai terbuka,
menganga, dan terasa nyeri.
Di luar, gerimis turun memukuli kanopi
kafe. *** (2016)
Catatan
ini, juga tanpa akhir yang jelas. Biarkan “Aku dan Nad” memenuhi nasibnya di
pembaca. Bisa jadi “Aku dan Nad” bertemu kembali. Atau Bisa jadi semuanya
sama-sama hidup klimaks di tulisan yang anti klimaks. Begitulah hidup, selalu
berputar pada porosnya. Mungkin pada bagian tertentu masih akan ada cerita lain
“aku dan Nad”.
Salam.