Jumat, 28 Oktober 2016

KONFLIK BATHIN DAN JIWA YANG DINGIN DI “KAFE”




KARYA YULI NUGRAHANI
Sepenggal Catatan Penikmat, oleh: Fendi Kachonk

Salah Satu Cabang Cemara Kumcer Yuli Nugrahani


Aku sendiri tidak akan tahan, berdiri atau menunggu. Bahkan mungkin akan banyak gugatan bila membaca cerpen Yuli Nugrahani ini. Ada rasa sebel, geram yang pelan-pelan melahirkan pemberontakan. Entahlah! Aku tak habis pikir bila aku adalah pelaku. Mungkin memang akan terus diiris-iris oleh kesunyian itu. Bagaimana tidak? Aku membayangkan tiga tahun tidak bertemu dengan seseorang yang bisa setiap detik aku ingat, senyumnya, bahkan setiap hal yang dibencipun darinya akan jadi tempat untuk pulangnya rindu ke dalam dada.
Suasananya terbangun dengan manis, romansa ruangan yang akrab dan kita pernah ada dalam ruangan tersebut. Oleh karena itu judul cerpen Yuli Nugrahani di Bukunya “salah satu cabang cemara” yang paling saya sukai begitu hidup, “KAFE”. Dengan judul kafe ini saja, aku sendiri telah ditarik ke dalam suasananya. Tak perlu lagi banyak susunan kata untuk membangun suasananya. Bagian dari tema dan judul ini begitu akrab begitu dekat diri sendiri. Suasana kafe, musik yang mengalun pelan, kopi entah juga makanan yang seoalah jadi teman yang baik.
Selanjutnya, aku ingin menceritakan pengalamanku pribadi ketika cerpen “Kafe” karya Yuli Nugrahani ini dibacakan dengan penuh perasaan oleh seorang teman dari Forum Belajar Sastra (FBS) dan Komunitas Kampoeng Jerami waktu peluncuran dua buku terbitan Komunitas Kampoeng Jerami. Fia, panggilan akrab temanku membaca dengan perasaannya. Dan, ah seisi forum begitu terhantar pada keheningan dan cara membacanya Fia cukup ritmis, mengaluri ruang dan aku sendiri merasakan haru yang luar biasa. Buku itu aku berikan ke Fia pada waktu itu aku memintanya memilih sendiri cerpen yang disukai. Sebentar saja Fia langsung diam di pojok ruang dan aku melupakannya. Sampai pada detik-detik ia akan membacakan cerpen ini, Fia mendekatiku. “Kak, aku suka baca cerpen berjudul “Kafe” ini, jadi aku akan baca ini”
Mungkin, karena berbagai alasan, Kafe cerpen Karya Yuli Nugrahani nuasanya sangat dingin, sangat kental sekali suasananya, dingin itu mungkin bagian yang dimaksudkan sebagai bangunan tematik dari Cerpen “Kafe” yang menceritakan dua orang yang lama tak bertemu dan perpisahannya juga tanpa ada alasan: tiba-tiba hilang, tiba-tiba kembali setelah tiga tahun lamanya. Seperti penggalan cerita di bawah ini:

Tiga tahun berlalu tanpa kuketahui penyebab hilangnya komunikasiku dengan Nad. Dua hal yang kupikirkan : Nad sudah mati atau Nad sangat membenciku. Dua alasan yang sama-sama tak bisa kuterima. Tanpa penjelasan dan permintaan maaf seperlunya, kehadiran Nad menyentak perasaanku. Seperti jin keluar dari botolnya, Nad datang begitu saja setelah menyampaikan pesan singkat lewat ponsel beberapa hari lalu :
Pesan pertama, “Aku ingin ketemu.”
Pesan kedua,”Aku rindu. Andai kau membolehkannya.”
Pesan ketiga,”Six Cafe, 12 Okt jam 19. ”
Usai aku membaca tiga pesan berturutan itu aku langsung meneleponnya, tapi tak bersaut. SMS balasanku tidak dijawab. Jadi aku datang pada hari dan jam sesuai pesannya, dan memutuskan menikmati kegelisahan-kegelisahan yang muncul karena keputusan itu. Mungkin itu hanya SMS seorang penipu, tapi aku tak boleh kehilangan harapan untuk kembali berjumpa Nad. Selama tiga tahun aku sudah melakukan segala upaya tanpa hasil untuk menemuinya kembali. Dan kini harapan itu menyeruak seperti sulur-sulur sirih yang tumbuh di antara batu.
Sungguh, Nad benar-benar datang pada tempat, hari dan jam yang dia bilang.
“Aku mendapat kecelakaan malam itu. Kesalahpahaman yang berbuntut panjang. Aku tidak puny kesalahan apa pun kecuali tidak menghubungimu.”

Nah, begitulah, sepenggal kisah tentang dua orang yang lama saling berpisah tanpa alasan dalam cerpen ini. Meski hakikatnya tak ada yang tanpa sebab dan tanpa alasan. Tapi, kata tanpa alasan itu aku maksudkan adalah ketika ruang komunikasi yang lama terbangun dan tiba-tiba hilang, tiba-tiba datang. Menjadi menarik untuk aku masuki sebagai kejelian dari cara dan teknik menulisnya Yuli Nugrahani di buku “salah satu cabang cemara” kumpulan cerpennya dan salah satu yang paling aku suka adalah “kafe”. Sebab, alasanku begitu banyak cerpen yang semua memainkan peran-peran keluar, tapi dalam cerpen-cerpennya Yuli lebih berperan ke dalam jiwa. Yang aku akan pertegas sebagai sesuatu kekayaan dalam cerpen-cerpennya Yuli Nugrahani lebih menajamkan pada konflik bathin.
Aku mesti menganggap perlu membicarakan ketika buku ini diluncurkan bersamaan dengan pertemuan rutinnya “Forum Belajar Sastra” Komunitas Kampoeng Jerami ketika tiba-tiba Fia begitu menikmati, begitu memahami, mungkin aku mendapatkan Fia selaku pembaca sangat menikmati bahkan aku melihat Fia seolah-seolah membicarakan dirinya sendiri. Iya, Fia adalah pelaku di cerpen itu dan walhasil alunan gitar yang mengiringi pembacaan cerpen itu serasa sangat serasi dan melahirkan kedinginan sebagaimana dinginnya perbincangan seorang “aku dan Nad” dalam cerpen kafe karya Yuli Nugrahani.

Nad pasti melihat rasa tidak percaya yang terpancar dari mataku. Dia tidak berusaha memahami dan menjawab penasaran itu. Dia mengabaikan perasaanku sama sekali (atau pura-pura mengabaikan?) walau matanya tak putus melihatku sejak mata kami bertemu, sejak tubuhnya muncul di depan pintu kafe beberapa menit yang lalu. Dia berbicara dengan nada biasa seolah kami baru saja terpisah selama beberapa jam. Seolah sebuah kecelakaan yang menimpanya entah apapun seperti tergambar dalam kalimatnya, hanyalah peristiwa biasa saja.
Nad menyalamiku (masih dengan menatapku) lalu duduk dan mulai mengulang kisah-kisah yang pernah kami alami sebelum tiga tahun perpisahan. Kisah yang aku tahu karena memang kami terlibat bersama-sama di dalamnya. Aku tak perlu mendengarnya sungguh-sungguh karena aku juga masih mengingatnya.
Jadi aku memperhatikan wajahnya yang bergerak, berkerinyut mengikuti gerak mulutnya dan segala ekspresi yang ditampilkannya. (Suaranya hanya terpotong sebentar oleh datangnya pelayan yang mengantar pesanan kami.) Dan setiap detil baru yang kudapatkan pada wajahnya, membuat sebulir air mata matang di ujung mataku. (Dia tidak melihatnya, atau pura-pura tidak melihatnya.)

Dari penggalan di atas, betapa sangat kuatnya. Mungkin ini yang dianggap kepura-puraan yang sungguh amat menyiksa. Rindu ddan banyaknya pertanyaan tapi semua tak bisa diungkapkan secara harfiah. Bagi “Aku dan Nad” dalam cerpen “Kafe” karya Yuli Nugrahani seoalah pertemuan bahasa itu telah larung dalam gerak, dalam tatapan, dalam sesekali obrolan yang sebenarnya tidak mengarah pada tujuan yang sesungguhnya. Atau bisa dibilang “Konflik Bathin” ini akan jadi “karekteristik seorang Yuli Nugrahani” dalam cerpen-cerpennya.
Entahlah! Keunikan dan ketajaman memainkan konflik bathin ini, aku kira patut dapat apresiasi. Kenapa? Seorang penulis bisa sangat mampu menggambarkan dengan mudah dalam bentuk tulisan, bisa saja kata-katanya lepas dan sangat sarkas. Tapi, tidak dalam cerpen “Kafe” ini. Dalam cerpen ini: dingin dan pertempuran bathin yang sama-sama ditutup-tutupi mampu menjadi satu kekuatan tersendiri dalam menarik perhatian pembacanya.
Jadi, pada suatu jeda, tanpa sadar (atau mungkin justru itu satu-satunya keingintahuanku saat ingin bertemu dengannya) aku bertanya dengan nada rendah, “Nad, mengapa kau tak menghubungiku selama ini?” Ada nada terburu-buru dalam suaraku.
Nad terdiam, menyentuh jemari tangan kiriku, menekannya beberapa kali seperti sebuah pijitan refleksi. Kukunya nyaris menyakitiku tapi aku tak peduli. Aku senang disentuh olehnya entah dengan cara apapun. Bahkan aku lebih suka bila dia mencubitku, menamparku atau menyakitiku dengan tubuhnya asalkan dia lakukan dengan nyata, karena saat itulah aku tahu bahwa aku sedang bersamanya.
Dia mencondongkan tubuhnya.
“Tiga tahun aku tak bisa kemana-mana bahkan untuk menemuimu. Kini aku bebas, walau sebentar, aku bebas. Tapi setelah ini aku masih harus melakukan beberapa pekerjaan yang tertunda. Aku rindu padamu, jadi aku menemuimu. Percayalah.”
Dia melihat jam di dinding kafe dengan ujung mata.
“Kau akan pergi lagi.” Suaraku terdengar aneh mengambang pada ruang di antara kami.
“Tapi percayalah. Aku sama sekali tidak bersalah. Aku masuk dalam situasi ini karena kesalahan. Kesalahpahaman. Kecelakaan. Tepatnya kau bisa sebut sebagai kecelakaan.”

Akhirnya, ketajaman konflik bathin itu mesti dipindah-pindah dari obrolan yang satu ke obrolan yang lain. Sampai, ketika lama waktu bergulir dan seolah ini disengaja untuk menghabiskan pertemuan hanya untuk hal-hal yang lain. Atau semacam itulah ketika komunikasi berjeda sekian tahun, butuh cara lagi untuk saling mengenal, saling (pura-pura) menjadi orang yang asing. Padahal senyatanya, kerinduan dan sekian banyak pertanyaan tak akan tuntas hanya sekali bertemu di Kafe itu. Namun, bagi, “aku dan Nad” dalam cerpen “Kafe” ini seolah saling memerankan kepribadian yang tak mudah untuk terus terang, tak mudah blak-blakan. Dan dari sinilah konflik sejatinya lahir jadi konflik bathin di cerpen “kafe” ini.
Dari awal sampai akhir cerpen ini sangat kuat memainkan konflik bathinnya. Tetapi, di samping keunikan “konflik bathin dan dingin” di Kafe, Yuli Nugrahani juga memiliki ciri khas yang lainnya. Semisal ia tak menentukan ending yang jelas. Dan, itu juga diperjelas oleh pengantarnya dalam buku “salah satu cabang cemara”.

Kafe bercerita tentang seorang ‘aku’ yang berada dalam penantian dan perpisahan. Si ‘aku’ sangat merindukan Nad, namun Nad bukan orang yang mudah untuk ditunggu. Keinginan untuk bertemu Nad menjadi batu sandungan bagi langkah si ‘aku’. Menjadi sumber kegelisahan sekaligus menjadi bahan pengharapan. Pada suatu waktu nanti, batu ini mungkin akan benar-benar melukai atau mungkin malah menjadi batu pijakan bagi lompatan hidup ‘aku’. Sekejap perjumpaan mereka telah menjadi sarana untuk mengambil keputusan di masa mendatang, jika diperlukan.
Saya tidak menentukan akhir yang pasti dan jelas dalam cerpen ini. Dengan cara begitu cerpen ini menjadi sindiran bagi saya sendiri yang sering kali menciptakan ‘batu-batu’ dari penantian dan perpisahan yang muncul dalam hidup. Saya yakin bahwa saya mendapatkan hikmahnya ketika saya sudah menuliskan Kafe dengan sadar. Demikian saya berharap pembaca bisa mengambil suatu pengalaman saat membaca cerpen ini.

Aku mengutip dari tulisan pengantarnya Yuli Nugrahani. Meski menurutku itu tak begitu penting. Sebab, pada tulisan-tulisannya memang Yuli Nugrahani tak ingin menutup dari segala alur ceritanya. Yuli menurutku juga tak ingin membunuh pembaca di tulisannya. Tapi, tulisannya mengajak pembaca untuk menentukan dan memilih sendiri akhir dari segala alur atau konflik dalam cerpen-cerpennya. Bukankah itu juga bisa kita baca bersama di karya-karya Borges. Pembaca dibiarkan merdeka menafsir, menghentikan atau melanjutkan segala alur dalam cerpen-cerpen tersebut. Aku pun ingin menuntaskan segala pengalamanku dan keterlibatanku dari semenjak membaca cerpen “kafe” ini.

“Bayar kopiku, ya. Jika nanti kita ketemu, aku akan menggantinya. Jika tidak, kau harus belajar mengiklaskannya.”
Nad menghabiskan kopi yang tersisa di cangkirnya, lalu meletakkan kembali cangkir itu di pinggir meja dekat siku kiriku.
“Aku harus pergi. Kau tak perlu memasukkan hal-hal ini dalam hati.”
Nad menggeser kursinya dengan tergesa. Memakai topinya (sejak kapan Nad suka pakai topi?) Lalu sebelum aku sempat mengatakan apapun dia sudah menyelinap di antara pintu yang kebetulan terbuka karena sepasang anak muda sedang memasuki kafe. Dia mendapat sedikit gerutu dari anak muda yang terkena ayunan tangannya, tapi dia lurus melangkah keluar, tidak menoleh lagi.
Nad kembali menghilang. Dia tidak meninggalkan apapun untuk kukenang, bahkan tidak memberiku sebuah cerita yang masuk akal sebagai tanda bahwa dia pernah mengunjungiku di awal tahun ini, atau bahkan tidak ada sekedar lambaian tangan.
Aku menggeser cangkirnya hingga berdampingan dengan cangkir kopiku yang masih penuh. Mungkin ada baiknya aku mengira bahwa dia sudah mati dan mulai mencari cara untuk melupakannya. Aku mulai tidak tahan dengan ketidakjelasan yang dia munculkan.
Ruang kosong dalam hatiku mulai terbuka, menganga, dan terasa nyeri.
Di luar, gerimis turun memukuli kanopi kafe. *** (2016)

Catatan ini, juga tanpa akhir yang jelas. Biarkan “Aku dan Nad” memenuhi nasibnya di pembaca. Bisa jadi “Aku dan Nad” bertemu kembali. Atau Bisa jadi semuanya sama-sama hidup klimaks di tulisan yang anti klimaks. Begitulah hidup, selalu berputar pada porosnya. Mungkin pada bagian tertentu masih akan ada cerita lain “aku dan Nad”.

Salam.





Puisi Dalam Perspektif Musikalitas

Ramsi (Musisi dalam aksi)

Pada hari minggu kemaren tanggal 02 Oktober 2016, di acara rutinitasnya Masyarakat Santri Pesisiran (MSP) yang kebetulan saat itu mengusung tema "Bincang Buku Puisi Surat Dari Timur Karya Fendi Kachonk" dan saya yang diberi kesempatan untuk tampil di acara tersebut, sengaja membawakan musikalisasi puisi yang puisi-puisinya saya adopsi dari buku "Surat Dari Timur" karyanya Fendi Kachonk. Salah satu yang saya ambil dari buku tersebut ialah puisi yang berjudul "Menjadi Malam" saya ingin mengupas sedikit puisi ini dari cara dan jarak pandang yang berbeda yaitu bukan dari teori-teori sastra tapi dari dimensi musikalitas.

MENJADI MALAM
Sepertinya setiap suara akan pergi
menjadi nada di setiap dinding nyeri
yang kehilangan setiap iramanya;
Sepertinya kecemasan selalu begini
memaku dingin gerak kelambu kamar
menari-nari seperti bayangan lilin.
Yang tahu-tahu sujud ke dada hening
hanya ingatan tentang embun di pagi hari
disambut nyanyian burung; tarian ilalang.
Tapi menjadi malam tak begitu mudah
dia tempat kerinduan saat langit hitam;
bintang kembali jadi obor kepulangan.
Moncek, 2016

Sebelum saya masuk pada dimensi musikalitas saya ingin masuk dulu pada sebuah ruang-ruang dalam puisi di atas yaitu malam. Malam tidak akan lepas dari kehingan dan kesunyia seperti di bait pertama dalam puisi di atas yaitu "Sepertinya setiap suara akan pergi" sesuatu yang di dengar pada saat siang hari akan pergi bersama matahari dan kemudian akan masuk pada waktu malam yang sebagian di antara waktu itu ada waktu yang istijabah, di mana seorang hamba akan bersujud kepada tuhannya, seorang kekasih tengah merindukan kekasihnya, di waktu malam juga yang tidak terlihat akan terlihat, yang tidak terpikirkan akan terpikirkan dan suara-suara dalam diri yang tidak terdengar akan terdengar seperti suara napas, suara tasbih yang telah melewati satu putaran bahkan suara hati yang sedang berdzikir.
Sungguh betapa istimewanya malam yang telah menyimpan berjuta-juta kemesraan bagi seorang perindu seperti di bait terakhir dalam puisi di atas. Tapi di bait terakhir pula dikatakan bahwa "menjadi malam tak begitu mudah" kalimat tersebut mengungkapkan begitu sulitnya menguasai malam karena rata-rata orang-orang termasuk saya dikuasai oleh malam, dengan kata lain ketika dikuasai malam maka saya akan menjadikan malam sebagai waktu untuk terlelap sampai pagi.
Berikutnya saya akan masuk pada esensi pembahasan yaitu "Puisi Dalam Perspektif Musikalitas" di dalam teori puisi ada istilah rima yang masih terdiri dari banyak macam sub, diantaranya rima pengulangan di awal kalimat, ada juga di akhir kalimat dsb. Sebagian para pakar esais Puisi-puisinya Fendi Kachonk dianggap tidak mengandung rima dan hal itu membuat saya penasaran ingin mendalaminya tapi dari sisi yang berbeda yaitu dari sisi musikalitasnya.
Di dalam teori musik ada istilah beat, birama dan juga bar, birama adalah pola yang melingkupi bar misalkan dalam birama 4/4, di dalam satu bar atau ruang terdiri dari empat beat atau empat ketukan. Saya mencoba bereksperimen dan mengkolaborasikan teori ini dengan bait-bait puisi, puisi yang mengandung rima sangat mudah masuk pada birama karena bait-baitnya sangat teratur sehingga tidak ada kata atau kalimat yang dipaksakan masuk pada intonasi nada dan baet dalam bar, seakan rima dalam dunia puisi dan birama dalam dunia musik sangatlah berdekatan.
Saya menemukan pola di beberapa puisinya Fendi Kachonk yang mungkin secara teori puisi tidak mengandung rima tapi ketika ditinjau dari sisi musik mengandung birama. Ketika puisi masuk pada wilayah musikalitas atau lebih tepatnya ketika puisi dilagukan dan setiap kata sampai kalimatnya mampu mencapai intonasi harmonis yang seakan tidak ada kata yang nuansanya dipaksakan di dalam ketukan tiap-tiap barnya. Maka puisi sudah mengandung rima dan saya menemukannya di puisi-puisinya Fendi Kachonk.


Senin, 24 Oktober 2016

PRAKATA SURAT DARI TIMUR


(Sebuah Catatan Dan Ungkapan)
Fendi Kachonk


Saya bersyukur kepada Allah Yang Maha Esa, atas kesempatan ketiga untuk menerbitkan buku, dan limpahan kasih dan sayangnya kepada kedua orang tua saya. Dalam perjalanan proses, saya menjadikan semua orang adalah guru. Dan, dalam perjalanan berproses ini saya berterima kasih kepada: Pondok Pesantren Al-Ishlah Moncek Tengah dan seluruh guru serta keluarga besarnya KH. Miftahol Khair, SA. Di tempat ini saya mulai menyukai puisi dan karya sastra.

Seorang guru yang selama ini banyak memberikan masukan dalam perkembangan saya: H. Hudan Hidayat (Esais Nasional), seorang guru dan teman yang baik dalam mendiskusikan banyak hal terutamanya puisi. K. Muhammad Zamiel Muttaqien (pengasuh Bengkel Puisi An-nuqoyah, Guluk-guluk), Adek Alwi (Sastrawan Nasional) yang selalu hangat dan akrab, Jamal D Rahman (Redaktur Majalah Sastra Horison) yang menjadi saksi perjalanan awal menulis saya, dimulai sewaktu masih Tsanawiyah (setingkat SMP). Yuli Nugrahani (Penyair dan Cerpenis Lampung) kakak dan teman berproses yang baik.

Keluarga Besar Masyarakat Santri Pesisiran ( MSP), K. Turmidzi Djaka, Homaidy Ch, K. Muhammad Affan, Yosuki Kyabaru, Mahendra Cipta, Amin Bashiri, Alfaizin dan Latief Kophung. Begitupun untuk Keluarga Besar Forum Belajar Sastra (FBS) dan Tanian Kesenian Bluto (TKB), semua keluarga yang ada di “Rumah Proses” ini. Bagi saya adalah rumah saya sendiri, “Saya sayang kalian semua.”

Rasa hormat saya juga kepada: K. M. Faizi, Kuswaedi Syafi’ie, Syaf Anton WR, Hidayat Raharja, beliau semua adalah orang tua yang saya takzimi. Seluruh kawan-kawan, seluruh jaringan Komunitas Kampoeng Jerami (KKJ) di semua wilayah. Terima kasih yang tiada tara telah menerima saya, membantu proses saya selama ini.

Adikku Umirah Ramata, Sigit Wahyudi, Ferli Atmajaya, Isfa'aidi, Yuanda Isha, Alra Ramadhan, Wardi, Lia Amalia Sulaksmi, Cici Mulya Sari, Nova Linda, Kakakku Alinda Syam, Dewi Nurhalizah, Teratai Abadi (Malaysia) yang dari awal menjadi saksi perjalanan Komunitas Kampoeng Jerami (KKJ, dan kepada Joy Armada abahnya Taraka, Maimoen Ali Wafa penggerak “Rumah Ababiel”.

Dua seniman musik: Muhammad Ramsi dan Rifan Khoridi, “saya sungguh bangga punya teman dan saudara seperti kalian semua.” Seorang kawan di Medan pernah membaca puisi “Surat Dari Timur” Batari Ratih, padamu saya juga sampaikan terima kasih. Meisya Zahida, dukungan yang selalu ada, saat lelah pernah singgah. Jimmy S, Mudya dan Pradono Singkawang Kalimantan Barat dan seluruh kawan di sana.

Khusus untuk perempuan yang dengan tulus menemani semua proses saya, Insiyah dan dua permata yang selalu jadi penyemangat: Imanoel Adeodatus Fin dan Salsabila Putri Surga, terima kasih untuk semuanya.


Kawan-kawanku semua yang tak bisa saya sebutkan semuanya, terutama kawan-kawan di NTT-NTB yang pernah satu proses di kegiatan sosial, kelompok kedua yang paling riuh waktu di Jogja.  Kawan Pelangi Sastra Malang, Malam Baca Puisi Tangerang, Kedai Proses Bengkulu, Majelis Sastra Bandung (MSB), Dewan Kesenian Mojokerto dan Perpusda Mojokerto, Komunitas Tarian Pena Sang Pesastra (TPSP) dan Komunitas Puisi Kampoeng Bamboe (PKB), Komunitas Sastra Nasional (KSN), Sastra Reboan-Jakarta, semuanya tak terkecuali, terima kasih.

Sebagaimana saya menuliskannya di buku “Tanah Silam” di buku kedua saya tahun lalu. Bahwa puisi bagi saya sebuah jalan panjang, sebuah proses ke dalam, berusaha mengenali yang samar-samar dan nyaris hanya sebuah detak dan suara itu meminta tempat bagi tubuh bahasa saya untuk keluar sebagai kata-kata, sebagai yang tersembunyi dan sebagai ruang yang sama-sama menciptakan ruang bagi dirinya. Puisi dalam hemat saya, sebuah perkara. Seperti sebuah alat untuk melihat sesuatu yang kecil, sesuatu yang seolah tak ada tapi mereka juga hidup bersama saya.

Surat Dari Timur lahir sebagai tanda dan jejak. Bagai catatan proses yang selalu akan dilihat dan evaluasi, sebagai kekayaan, sebagai kemerdekaan berkata-kata, dan sebagai dirinya untuk mewakili dirinya sendiri. Di sini, selalu ada harapan dan doa, semoga dari buku ini, mampu menjadi semangat. Bagi saya secara khusus dan secara umum bagi pembacanya.

Terima kasih, salam dari Madura.

Moncek, 18 Agustus 2016

PULANG KE MOJOKERTO UNTUK SURAT DARI TIMUR

Perpustakaan Umum Mojokerto, Bedah Buku Surat dari Timur


Minggu, 16 Oktober 2016. Tempatnya di Perpustakaan Umum Mojokerto, setelah sehari sebelumnya saya main ke kawan-kawan Gubuk Tulis Malang dengan sangat gembira. Saya dan kawan-kawan (Ramsi dan Amin) teman seperjalanan yang ramai, yang mau menemaniku untuk urusan "Surat dari Timur" buku ketiga yang aku terbitkan lewat Komunitas Kampoeng Jerami ini seolah mengulang lagi sebuah perjalanan, kisah-kisah dan cerita-cerita satu tahun sebelumnya. Iya, tahun 2015, saya memang meluncurkan buku "Tanah Silam" yang juga dibincangkan di Kafe Pustaka Malang lalu ke Mojokerto dan kini seolah kembali pada masa itu maka saya tak menggunakan kata "datang" ke Mojokerto. Dan karena itulah, saya merasa "pulang" ke rumah sendiri. Entah apa karena nilai historis atau hanya tarikan ingatan yang memang seolah begitu adanya.

Kebahagiaan yang perlu saya ingat dan penghormatan yang luar biasa adalah ketika sambutan Ketua Dewan Kesenian Mojokerto yang tak lain dan tak bukan adalah Kepala Perpustakaan Umum di Mojokerto. Jemputan, sarapan pagi di Saung dan keceriaan dalam perbincangan yang santai membawa saya pada semangat baru, pada ruang dan cita-cita yang kini makin muda lagi. Iya, begitulah, di samping kebahagiaan yang lain yang serupa disediakan begitu banyak pada kami. Gegap gempita pertanyaan, serta tawa yang lepas, dan kami juga diijinkan untuk menyanyi, membaca puisi dan melagukan kenangan pada seluruh jiwa yang datang pada saat itu.


Dosen Sastra UIM Ach Fatoni Menyampaikan Ulasannya


Menjadi sangat pantas kalau hari ini, saya menuliskan ribuan terima kasih kepada Pak Indra, Kawan-kawan Serikat Buku, kawan-kawan RBAF dan Dosen Sastra Mas Fatoni yang jadi teman saat diserang pertanyaan yang bertubi-tubi. Ah, luar biasa, saya merasa selalu punya energi luar biasa di tengah-tengah kalian, memiliki hal yang lebih entah apa semua itu. Semuanya seoalah lepas, seolah tak ada sekat, hanya getar-getar yang membuat ruangan Perpus itu menjadi sangat karib kepadaku.

Terima kasih kepada seluruh kawan-kawan. Saya akan datang lagi, semoga pintu senantiasa terbuka untuk kami yang selalu akan datang ke tempat-tempat yang hangat dan penuh penghayatan. Haaaahhh...lega rasanya, Surat dari Timur telah beberapa kali dibincangkan, dinyanyikan, dibacakan, bahkan segalanya adalah hadiah bagi diri saya secara pribadi.
Seluruh Guru dan Kawan yang hadir untuk Surat dari Timur


Nah, Saya mencintai Mojokerto karena selalu ada ruang dan proses belajar, berikut adalah oleh-oleh yang dituliskan oleh Dosen Sastra UIM dan Pendiri RBAF (rumah budaya ahmad fatoni) :



Surat Cinta dari Pesisir[1]
Oleh Akhmad Fatoni[2]

“Puisi seperti sebuah alat untuk melihat sesuatu yang kecil,
sesuatu yang seolah tak ada tetapi mereka juga hidup bersama saya.”
(Fendi Kachonk)

Sebagai pembuka, saya mengutip pernyataan penyair dalam pengantar buku ini, Surat dari Timur. Di mana ia menyatakan (semacam kredo penyair) tentang puisi bagi dirinya. Tentu ketika kita ingin mendiskusikan hal itu, merupakan persoalan yang rumit. Bagaimana tidak: seolah tidak ada, tetapi hidup di antara kita. Memang begitulah seyogyanya puisi, seolah mudah tetapi jika serius menekuninya adalah sesuatu yang rumit. Sama halnya dengan cinta, sesuatu yang mudah tetapi juga rumit. Dan itulah kenapa saya memilih diksi “cinta” sebagai fokus dalam judul tulisan ini.

Rumi, Cinta, dan Sejarah
Buku kumpulan puisi Surat dari Timur karya Fendi Kachonk ini memuat 84 puisi yang terbagi ke dalam empat bagian. Masing-masing bagian memuat 20 puisi, kecuali bagian empat yang memuat 22 puisi. Lantas kenapa buku puisi ini diberi judul Surat dari Timur (selanjutnya dibaca SDT)? Tentu hal yang paling mendekati maksudnya, hanyalah penyair yang akan menjawabnya sendiri (dan itu pun jika penyairnya berkenan). Namun sebagai seorang pembaca, maka saya akan memberi tafsiran. Setelah melakukan pembacaan berulang-ulang kumpulan puisi dalam SDT, maka temuan itu adalah yang saya gunakan sebagai subjudul ini: Rumi, Cinta, dan Sejarah.
            Rumi atau Jalaluddin Rumi adalah penyair dari Timur Tengah, yang kecintaannya terhadap puisi sudah didengar di hampir seluruh pelosok dunia, termasuk Indonesia. Dan si penyair, merasa telah mendapatkan surat dari Rumi, melalui sajaknya “Surat dari Timur” yang juga dijadikan judul buku ini. Sebuah imajinasi yang dalam. Membuat saya teringat akan penyair dari Batam, Hasan Aspahani. Jika Fendi Kachong merasa mendapatkan surat dari Jalaludin Rumi, lain halnya dengan Hasan Aspahani. Ia merasa mendapatkan surat dari Rainer Maria Rilke (penyair Austrian, terkenal sebagai penyair bahasa Jerman terbesar abad 20). Atas dasar itulah, keterpengaruhan Fendi Kachonk begitu besar akan Rumi. Hal itu terbukti dari 90 persen sajak dalam buku SDT berbentuk naratif, seperti pola rumi yang selalu dalam sajaknya terdapat kisah. Meskipun ada beberapa sajak Fendi Kachonk yang liris, namun sajak lirisnya kalah kuat dengan sajak naratifnya.
            Keterpengaruhan Fendi Kachonk tidak hanya pada bentuk naratif, tetapi juga kekuatan cinta dalam sajak-sajaknya seperti halnya Rumi. Bentuk khas itu tercermin dalam hampir semua sajaknya bisa ditemui subjek dan objek: aku, kau, atau kita. Salah satu lingkaran itu bisa terbaca melalui sajak: Surat dari Timur, Untuk Mei, Surat dari Kampung, Surat Bulan Juli, Gerimis Airmata, Surat Hujan, dan Surat kepada Penyair. Lingkaran tersebut itulah yang membiaskan Rumi, Cinta, dan Sejarah. Namun Rumi secara tersirat, sedangkan dalam lingkaran tersebut lebih jelas mendetailkan Cinta dan Sejarah. Dan lingkaran terakhir dikukuhkan, dengan kecintaan tentang puisi melalui sajak Surat kepada Penyair.
            Surat kepada Penyair terdapat di bagian keempat, hal itu menyiratkan bagaimana tentang dunia kepenyairan. Salah satunya perihal sunyi, sepi, luka, dan tentang diri Fendi Kachong sendiri sebagai sosok penyair. Salah satunya tokoh-tokoh yang menarik perhatian penyair, kisah sunyi dalam luka dan linang airmata, juga romantisme dengan objek tentang masa lalu (baca sejarah). Sejarah yang disoal dalam SDT memang bukanlah sejarah universal, tetapi sejarah personal: tentang kampung dan kisah masa kecil. 

            “Jalan ini kian kehilangan kehijauannya
            cuma kelokan yang setia dengan sudut desa
            di tanah yang juga kehilangan humusnya
            seperti rindu yang tak tuntas diurus
           
            (Surat dari Kampung)

Dalam sajak Surat dari Kampung, selain menyampaikan tentang kampung sebagai penyimpan kenangan masa lalu, juga sebagai ciri khas Fendi Kachonk selalu memuat romansa. Hal itu tidak hanya dalam sajak ini saja, tetapi hampir semua sajak-sajaknya dalam buku ini.
            Kekuatan romansa itu pulalah yang mampu mengolah kepedihan menjadi sebuah ritmis yang begitu mengiris. Juga pelibatan emosional melalui subjek dan objek yang mampu mengikat psikologi pembaca. Tentunya, hal itulah yang mampu membuat SDT akan larut dalam tas, meja, dan ingatan pembaca. Begitulah seharusnya pecinta, menyampaikan kegaiban dari cinta yang misterius. Dan kiranya, kamu yang sedang jatuh cinta larutnya dalam buku Fendi Kachonk ini. Sebagai wujud apresiatif yang kekal, maka apresiasi dengan mengoleksi buku ketiga ini, sehingga engkau bisa mengobati kerinduan dengan membaca Surat Cinta dari Pesisir. Tabik. *




[1] Tulisan ini dipaparkan dalam bedah buku Surat dari Timur Kumpulan Puisi Fendi Kachonk di acara Terminal Sastra #29, Minggu, 16 Oktober 2016, bertempat di Kantor Perpustakaan Arsip dan Dokumentasi Kabupaten Mojokerto.
[2] Penyair, Cerpenis, Pendiri RBAF, dan Dosen Sastra Universitas Islam Majapahit (Unim) Mojokerto.


Terakhir kali, Terima kasih kawan-kawan, seluruh guru, teman dan saudara. Di sini kita berkumpul, menyanyikan lagu, puisi Surat dari Timur, semoga pada kesempatan yang lain semua masih sama dalam lindungan cinta, semangat untuk terus berbagi kegembiraan.

Salam.

Fendi Kachonk

Senin, 17 Oktober 2016

Menitipkan Surat (dan ketupat) dari Timur ke "Gubuk Tulis"

CERITA KE MALANG

- Hari Pertama.

Penyerahan buku terbitan Komunitas Kampoeng Jerami ke Gubuk Tulis



Saya, akhirnya harus memutar ulang kejadian dua hari kemarin, sebelum kami sampai ke tanah Mojokerto, dua kota untuk "surat dari timur" sangat luar biasa kebahagiaan ini disebabkan, kami mendapat penghargaan yang sangat nyata dan riil, penghargaan: pertemanan, persaudaraan, pertalian jiwa dengan jiwa. Bukan penghargaan yang bersifat hanya selembar kertas. Tapi kami bisa saling tertawa, saling tersenyum, saling merasakan betapa ruang dan waktu makin sempit, dan hanya orang-orang yang sama memiliki jiwa yang merasakan sesuatu dengan jiwa juga.

Istie, Amin dan Ramsi Baca Puisi Surat dari Timur dan Musikalisasi Puisi

Di Malang, kami punya rumah baru, sodara yang baik hati, Keturunan dan generasi ke lima "penggerak kesenian topeng" di Sumenep dan sampai sekarang : Istie Hasan tak kupikirkan awalnya, manusia ini sangat unik, sangat sibuk, sangat enerjik. Ah cerita demi cerita, kembali pulang ke masa lalu, masa-masa waktu itu masih sebagai kanak-kanak sedang para orang tua kami semua sedang menjadi pelaku sejarah pada ruang seni dan budaya. Dari perempuan sibuk ini, kami belajar mengenang apa yang telah diwariskan kepada kami semua. Dan, tersambungkan ke "Gubuk Tulis" komunitas yang sangat keren, pemuda-pemuda yang progresif dan berpikiran maju. Dari kawan-kawan di Malang, kami komunitas Kampoeng Jerami belajar memberi penghargaan yang tepat untuk lebih mencintai dunia tulis dan baca.

Acara berjalan begitu cepat, lagu “Darah Juang” menjadi pemantik kehangatan kopi lanang, persatu acara berlalu dengan berlari, sedang kami terus lebur. Pertanyaan demi pertanyaan lancar dan mengalir, hangat sekali, sedang kecepatan waktu tak bisa dibendung.



"Sudah jam 10 lebih, kau harus segera ke Arjosari agar bisa dapat Bis untuk ke Bungur, lalu melanjutkan perjalanan ke Mojokerto." Kata seorang kawan. Aku sedikit memelas:

"Sudahlah, kita santai dulu di sini, sampai jam 12 malam kita bisa baca puisi," kataku.
"Tidak bisa, kau harus ke Mojokerto, Mojokerto juga menunggu banyak kawan dan guru untuk berproses bersama kita."

Ending: kami bergerak, hampir tawa itu jadi air mata, tapi kini jadi sesuatu yang gumpal di dada dan mungkin akan jadi bara untuk tetap berkarya. Sebelum semua mata melihat punggung kami yang akan pergi, aku menoleh ke Istie Hasan. “Istie ketupat yang kami minta hangatkan, kamu bawa kan?” Tanyaku. “Ada Fen!” lalu kami melenggang dengan perasaan yang tak bisa kami gambarkan, sedang Surat dari Timur, Titik Temu dan Buku Yuli Nugrahani, “ Salah Satu Cabang Cemara “ semua itu adalah buku terbitan Komunitas Kampoeng Jerami, kami serahkan sebagai hadiah untuk Gubuk Tulis.

Terima Kasih. Istie Hasan. Dan, Kawan-kawan Gubuk TulisAku cinta semua perjalanan, proses dan dinamikanya.


Fendi Kachonk.